Chapter 21- Arus Listrik
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Kakek Abam saat Izar telah meminum ramuan berasa pahit pekat dengan cairan berwarna cokelat tua.
"Lebih baik dari kemarin," jawab Izar pendek. Dia masih murung, karena dipaksa berbaring tanpa berbuat apa-apa. Apa jadinya, jika Ibu Suri mengetahui hal ini. Dia sedang berbaring santai dan penguasa negara sedang bersusah payah mencari Flower Winter.
"Racun Stormi sangat kuat." Kakek Abam menjelaskan. "Sebagian besar racunnya telah kutarik keluar, namun sisanya telah bercampur dengan mana mu, anak muda."
Mata Kakek Abam tampak prihatin menatap Izar.
"Lebih baik kau mengatakan ini pada kedua rekanmu. Akan ada reaksi dikemudian hari yang bisa berakibat fatal pada tubuhmu. Jika dalam seminggu kau mampu mengatasi gejala dari efek samping racun tersebut, aku akan memberimu ramuan penangkal dan cara meramunya."
Izar hanya terdiam dengan seribu bahasa. Dia tidak menyesal terkait racun tersebut. Jika dia tidak bergerak cepat, maka justru Sagi-lah yang akan berbaring di sana
.
.
.
Sagi dan Fisika sekarang sedang berdiri di depan sebuah resto cepat saji setelah menyantap makan siang. Fisika beruntung, karena Sagi mau berbaik hati mentraktirnya makan. Tetapi Fisika agak menyesal karena di tempat tersebut tidak ada naga.
"Sekarang bagaimana, Baginda?" tanya Fisika. "Kita perlu petunjuk untuk mencari Flower Winter."
"Ke sana!" Sagi menunjuk ke arah sebuah bangku panjang di bawah tiang lampu minyak.
Fisika menurut mengikuti langkah Sagi dari belakang. Ia agak bingung, apa yang harus di lakukan dengan duduk di tempat seperti itu.
"Lo siap?" tanya Sagi memastikan. Namun Fisika hanya menghedikkan bahu.
"Entahlah Baginda. Gue gak tahu, asal mekanismenya gak sama kayak buka gerbang mana."
"Gue jamin gak akan sakit." Sagi meyakinkan. "Akan gue lakukan dengan lembut. Tapi gue perlu persetujuan lo. Apa lo beneran siap? Berbagi mana dalam penyatuan akan membuat kedua pihak saling terikat. Jika ada Izar, barangkali kita bertiga akan jadi saling terikat satu sama lain."
Fisika menarik napas pelan. Agaknya ia ragu dengan rencana ini. Tetapi dia berusaha yakin. Dia sendiri yang memaksa Sagi untuk diizinkan tetap ikut sebagai bagian dari tim.
"Gue siap, Baginda." Fisika berseru mantap.
Maka dengan segera, Sagi meraih kedua telapak tangan Fisika dan mengenggamnya kuat sembari memejamkan mata.
Fisika tidak berniat meniru Sagi. Dia lebih ingin bisa menatap lebih lama wajah sang Kaisar. Bulu mata Sagi terlihat lebat dan lentik dan itu membuat Fisika agak iri. Pasti menyenangkan memiliki bulu mata lentik seperti itu. Dia jadi tidak perlu repot-repot menggunakan penjepit bulu mata.
Sagi benar, bahkan saat pria itu membuka mata. Fisika tidak merasakan apapun, seolah memang tidak terjadi apapun.
"Gue telah menyerap sebagian mana lo dan sebaliknya, lo juga menyerap mana milik gue," ujar Sagi tenang. "Sekarang, coba lo bayangkan bentuk Flower Winter."
Fisika menfokuskan diri membayangkan benda tersebut dalam pikirannya. Samar-samar, ia seperti merasakan gelombang aneh yang memiliki daya tarik-menarik antara dirinya dan gelombang tersebut.
"Gue ... gue bisa merasakannya, Baginda." Fisika menatap Sagi dengan mata berbinar cerah.
"Gue juga," balas Sagi. "Benda itu seperti sedang berpindah tempat. Coba lo rasakan, di mana pusat gelombang paling kuat."
Fisika mencobanya lagi dan dia seperti dikagetkan oleh alam bawah sadarnya. Sekonyong-konyong, ia menoleh tidak percaya pada Sagi.
"Migel," seru Fisika tidak percaya. "Jejak Flower Winter paling kuat ada di bocah tersebut."
"Kerja bagus." Sagi menepuk pucuk kepala Fisika dengan tersenyum bangga. "Gue juga melihat hal yang sama dengan lo. Tapi Fisika, bagaimana lo tahu wajah bocah tersebut adalah anak bernama Migel? Mana tidak mungkin bisa memberikan informasi seperti itu."
"Memang tidak, Baginda," kata Fisika dengan sebuah seringai. "Gue tadi bertemu dengannya di lobi penginapan. Dia anak pengantar koran."
.
.
.
Rebecca agak merasa canggung saat melihat Sagi dan Fisika kembali muncul di penginapan. Rebecca beranggapan, kedua pasangan ini tampaknya telah berbaikan.
"Rebecca. Gue ... maksudnya, aku perlu tahu. Apa kau tahu di mana kami bisa bertemu Migel?" tanya Fisika dengan badan sedikit dicondongkan ke depan.
"Eh, Migel?" tanya Rebecca. "Dia bisa ditemui di kantor Koran Bern. Temui saja Sir Yohan. Dia penanggung jawab untuk kurir anak-anak jalanan."
Sagi menoleh menatap Fisika dan memberikan isyarat agar mereka pergi ke tempat itu.
"Apa Nyonya baik-baik saja?"
Pertanyaan Rebecca membuat Fisika dan Sagi berpaling bersamaan. Alis Sagi bertaut bingung antara Fisika dan Rebecca bergantian.
"Tuan," seru Rebecca memberitahu Sagi."Kepala Nyonya tadi membentur dinding akibat ulah Migel. Aku mohon, Tuan. Anda mau memaafkan Migel jika nanti bertemu."
Mulut Fisika terbuka lebar. Barangkali, ia bisa memerangkap seekor lalat yang sedang terbang. Fisika rasa, itu informasi yang tidak penting untuk diketahui Sagi.
Namun nyatanya, Sagi malah menarik lengan Fisika agar ia bisa berdiri jauh lebih dekat dengannya. Tangan Sagi bergerak memeriksa kepala Fisika dengan cermat dan benar saja, ia mendapatkan luka dengan darah yang telah mengering di sela-sela rambut hitam Fisika.
"Lo terluka," seru Sagi.
Fisika berniat mendorong dada Sagi agar pria itu menjauh. Mendadak, ia merasakan sentuhan dingin yang menjalar di kepalanya. Yap benar sekali, Sagi sedang mengobati Fisika dengan media mana yang ia alirkan dari dalam dirinya sendiri.
Dalam bidang sihir medis, ini adalah teknik penyembuhan dasar untuk penyihir terlatih dan Fisika seharusnya merasa beruntung, bisa memiliki rekan penyihir seperti Aerglo Sagitarius.
"Udah beres."
Luka di kepala Fisika telah lenyap tanpa bekas. Sagi telah mundur selangkah. Ia kemudian berpaling menatap Rebecca dan bertanya di mana letak kantor koran Bern.
Setelahnya, ia menarik Fisika yang masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Singkatnya, ia masih salting dengan peristiwa barusan.
.
.
.
Di pusat pembangkit sihir listrik kota Bern. Seorang pemuda yang tadi menolong Fisika tengah menatap Flower Winter yang berada dalam sebuah tabung khusus berbentuk seperti pipa yang terbuat dari kaca transparan.
"Ini artefak sihir yang sangat luar biasa, Yang Mulia."
Seorang penyihir veteran dengan jas laboratorium putih panjang berdiri di sisi kirinya.
"Kekuatannya bahkan lebih besar dari sekedar penyokong generator. Ini bisa lebih dari itu. Jika Yang Mulia berkenan, hamba bisa melakukan eksperimen untuk menelitinya lebih dalam."
Garren, selaku Pangeran Mahkota dunia tersebut. Secara kebetulan sedang menghadiri festival di kota Bern. Tidak terpikirkan olehnya menemukan benda berkekuatan magis seperti Flower Winter yang berada dalam botol minum yang ia temukan tergeletak di jalan raya.
Gareen punya perasaan yang kuat. Ada energi besar nan misterius yang terpancar di sana.
"Masukkan benda tersebut dalam wadah khusus yang keberadaanya tidak bisa dideteksi dari luar. Akan kubawa benda ini ke ibukota."
Gareen memerintah dengan penuh ancaman. Kalimatnya ini ditegaskan untuk semua pihak yang terlibat di sana dan mengetahui artefak sihir tersebut. Besar kemungkinan, akan ada banyak pergerakan dari tiap oknum dan kelompok-kelompok misterius yang juga menginginkan benda tersebut.
.
.
.
Di lain pihak, Sir Yohan yang ditemui oleh Sagi dan Fisika menatap kedua pasangan tersebut dengan tatapan heran. Lagaknya dengan cerutu yang digigit di sudut mulut serta kumis cokelat tebal yang menghias wajahnya, serta-merta membuatnya jadi sangat menakutkan di mata Fisika. Berkali-kali, Fisika batuk akibat asap cerutu tersebut.
"Aku tidak bisa memberikan informasi keberadaan bocah itu, jika kalian berdua tidak mau menjelaskan alasan kalian menginginkan Migel." Sir Yohan berkata tegas sambil menarik cerutunya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara.
Fisika kembali terbatuk, ia memegang ujur kaos linen Sagi dengan kuat. Tempat kerja Sir Yohan penuh dengan brangkas penuh lembaran arsip laporan. Semuanya disusun asal jadi. Lemari dibalik meja kerjanya juga demikian. Beberapa map yang seharusnya disimpan berdasarkan abjab, malah diletakkan tidak karuan.
"Lo tunggu di luar." Sagi memberitahu Fisika dari samping. Tetapi Fisika malah menolak.
"Gue mau di sini," tegas Fisika. "Baginda ngarang aja alasannya. Gak usah pedulikan gue."
Fisika salah besar, Sagi malah menarik tangan Fisika lalu membuka pintu. Kemudian dia mendorong punggung Fisika hingga menjauh dari ruangan Sir Yohan. Mata cokelat Fisika terbelalak menatap sikap Sagi.
"Lo lupa Fisika? Kita berdua telah berbagi mana. Kalau lo sakit, gue juga bisa merasakannya. Sekarang tunggu di situ dengan tenang."
Pintu kemudian ditutup dengan kuat oleh Sagi. Fisika berkedip tidak percaya. Ada gejolak aneh seperti gelombang laut yang menerjang relung hati Fisika. Dia lagi-lagi, merasa salah tingkah memikirkan satu hal yang pasti. Tetapi, ia menggeleng kuat-kuat. Bagi Fisika itu mustahil, tetapi jika itu mustahil. Toh, Fisika tidak bisa mencegah hal tersebut. Ia pasti terlalu banyak halu kalau membayangkan bisa jadian dengan orang seperti Sagi.
Cukuplah bagi Fisika untuk halu pada cogan fiksi. Cogan seperti Sagi jika berada didekatnya, terlihat sangat tidak kontraks. Ibarat batu aki mengharapkan sejajar dengan batu permata. Memikirkan itu, Fisika merasa miris dan malu sendiri.
.
.
.
"Tuan," seru Sir Yohan. "Tampaknya Anda tidak ingin Nyonya mengetahui sesuatu." Dia terkekeh sambil menarik cerutunya lagi.
"Anda butuh berapa banyak? Apa ini cukup?"
Sagi mengeluarkan satu kantong uang berukuran kecil. Ia membuka ikatannya dan menunjukkan puluhan batu permata delima pada Sir Yohan.
"Transaksi," jelas Sagi. "Beritahu kami di mana Migel bisa ditemukan. Maka semua permata ini akan jadi milik Anda."
Sir Yohan saking kagetnya melihat batu mulia di atas meja kerjanya. Seketika saja terbatuk-batuk oleh asap cerutunya sendiri. Matanya berbinar serakah.
"Aneh, seorang pria kaya raya datang mencari bocah yatim piatu lalu rela menukarkan setumpuk permata demi bocah kampungan seperti itu."
Tampaknya Sagi agak sensitif mendengar cibiran Sir Yohan pada Migel. Walau Sagi belum mengenal Migel dengan baik, ada baiknya. Sir Yohan tidak memandang seorang anak manusia sebelah mata.
Pedang berbilah hitam dan merah dikedua sisinya, telah Sagi acungkan tepat di leher Sir Yohan secara tiba-tiba. Bergerak sedikit saja, benda itu bisa membuat pembuluh darah pria tua tersebut bisa pecah.
"Aku hanya membutuhkan jawaban Ya dan Tidak. Jadi, di mana kami bisa menemukan Migel? Atau Anda ingin permata ini berada di tangan orang lain yang cukup pintar dari Anda?"
.
.
.
Pusat Pelayanan Anak-Anak Terlantar, itulah tempat yang sedang dituju oleh Sagi dan Fisika sekarang.
Sepanjang perjalanan, Fisika masih penasaran bagaimana cara Sagi mendapatkan informasi tersebut, sedangkan dalam pikiran Fisika. Sir Yohan tampak mirip dengan tokoh antagonis yang serakah dan pelit.
"Baginda?" Fisika mendadak terkejut melihat Sagi bertumpu di atas trotoar jalan. Orang-orang yang kebetulan melintas, menatap keduanya dengan terheran-heran.
"Baginda gak papa?" Fisika bertanya cemas. Sagi tampak sangat kesakitan dengan meremas tunik bagian dada. Ada percikan listrik yang mendadak menguar dari tubuh Sagi dan hal tersebut berdampak bagi Fisika pula.
Wanita itu juga mengalami gejala serupa, tetapi ia berhasil menyembunyikan gejala dan rasa sakit tersebut dengan baik.
"Gue gak papa." Sagi mengakui, wajahnya perlahan memucat dan peluh di sekitar pelipis meluncur turun dari kulitnya yang sangat halus.
"Arus listrik, arus listrik yang menjadi bagian dari elemen gue tuk mengendalikannya mengalami masalah."
Fisika lagi-lagi gagal paham dengan penjelasan Sagi. Dia agak bingung dengan elemen listrik yang menjadi kekuatan sihir Sagi. Dia ingat, bagaimana Sagi menggunakan kekuatan tersebut saat mereka di paralel 2728.
Sagi bersusah payah untuk bangkit. Dia menoleh dan menatap Fisika dengan kedua tangan meremas bahu wanita tersebut. Sorot mata Sagi, menelusuri setiap inci tubuh wanita di hadapannya dengan teliti.
"Gue punya sihir untuk mengendalikan petir dan energi listrik." Sagi mengutarakan hal tersebut pada Fisika.
"Lo tahu bagaimana hukum fisika bisa menjadi elemen kekuatan kinerja energi sihir?"
Fisika menggeleng tidak tahu, ia agak meringgis karena cengkraman Sagi terlalu kuat pada bahunya.
"Prinsip elemen sihir pada dasarnya bekerja dengan hukum fisika dengan beberapa penyesuaian. Elemen listrik atau bahasa fisikanya arus listrik. Didefinisikan sebagai aliran muatan listrik melalui sebuah konduktor dan konduktor dalam dunia sihir adalah mana."
Sagi menunjuk dadanya sendiri.
"Arus ini bergerak dari potensial
tinggi ke potensial rendah, dari kutub positif ke kutub negatif, dari anoda ke katoda. Arah arus listrik ini berlawanan arah dengan arus elektron."
Fisika tidak bisa menyimak arah pembicaraan Sagi. Matanya mulai berkunang. Ada sensasi kejut yang menyiksa seluruh sarafnya. Tetapi Sagi tidak mengetahui hal tersebut dan terus menjelaskan tentang hukum arus listrik pada Fisika.
"Muatan listrik dapat berpindah apabila terjadi beda potensial. Beda potensial dihasilkan oleh sumber listrik. Misalnya baterai atau
akumulator. Setiap sumber listrik selalu mempunyai dua
kutub, yaitu kutub positif (+) dan kutub negatif (-). Fisika? Lo gak papa?"
Fisika hanya bisa menggeleng pelan dan dia akhirnya pingsan dalam dekapan Sagi. Tubuh Fisika berubah sangat panas, berbanding terbalik dengan tubuh Sagi yang sedingin es kutub.
"BIGBOS!!!"
Berdiri di kejauhahan, Izar dengan tubuh yang terlihat jauh lebih bugar dari biasanya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat mendalam. Binar matanya terbelalak menatap Fisika yang pingsan dalam dekapan Sagi.
"Sudah gue duga," lirih Izar dengan kedua tangan terkepal kuat. "Meninggalkan mereka berdua, akan membawa nasib buruk."
___/_/_/____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro