Chapter 20- Bunyi
Arak-arakan pun tiba, semua peserta festival perburuan berjalan berkeliling kota dengan menunggang kuda masing-masing.
Orang-orang bersorak, meneriaki jagoan mereka serta mulai memasang taruhan untuk menentukan juara dan Fisika, masih tidak menemukan Sagi di mana pun ia memandang.
"Maaf." Fisika melepas paksa rengkuhan si pria asing yang baru ia kenal. Fisika berinisiatif mencari Sagi dengan cara lain. Dia tidak tertarik memandang kumpulan pria yang sedang memamerkan senyum mereka seperti model pasta gigi populer.
"Nona!"
Pria itu berusaha mencegah Fisika untuk pergi. Belum pernah ia ditinggalkan seorang wanita begitu saja. Tetapi Fisika tidak mempedulikannya. Lebih baik bersama Sagi daripada orang tidak dikenal.
"SAGI!" Fisika berteriak sekencang mungkin.
Sagi menoleh di antara lautan manusia yang berdesak-desakan. Suara Fisika merambat begitu nyaring di pendengarannya.
Ujung bibir Sagi tertarik tipis. Dia seperti menemukan oasis di tengah panasnya gurun. Mendadak, senyum Sagi menghilang saat mendapati seorang pria tengah mengejar Fisika dari belakang.
Tidak perlu menunggu waktu lama. Sagi berusaha menerobos kerumunan dengan segera. Orang-orang mulai mengumpat oleh dorongan Sagi yang meminta membuka jalan dengan memaksa.
Tangan kanan Fisika terulur untuk mencapai Sagi. Sedikit lagi, maka ia bisa kembali bersama sang Kaisar. Akan tetapi, tepat sebelum Sagi meraih jemari Fisika bahkan menyentuhnya. Tubuh wanita tersebut terdorong ke belakang dan tangan Sagi hanya meraih udara kosong.
"TIDAK!" Sagi memekik tidak terima. Aneh, mereka baru terpisah beberapa jam. Tetapi terlihat seperti saling merindukan dalam waktu yang cukup lama.
"Hey!" Fisika memberontak pada pria yang tadi menolongnya. "Lepaskan! Itu temanku!" Fisika menunjuk ke arah Sagi.
Si pria menoleh menatap Sagi yang kini malah menarik lengan Fisika dengan kuat, lalu mendorongnya untuk berdiri di samping kirinya dengan satu tangan bersikap melindungi.
Fisika sendiri masih tercengang dengan kehadiran Sagi yang tiba-tiba menariknya mendekat. Dia mengerjab beberapa kali memandang wajah Sagi yang terlihat dari samping.
"Dia rekanku." Sagi menginterupsi. Tetapi mata ink-nya yang berkilat seperti berkata, apa yang kau lakukan padanya tadi?
"Oh, maaf, Bung. Aku tidak sengaja."
Lalu pria itu memutar badan dan berjalan pergi begitu saja. Sagi masih mewaspadainya sampai pria tersebut benar-benar lenyap dari pandangan mata. Setelah itu, Sagi mau menoleh menatap Fisika.
"Kenapa lo berkuyuran sendirian?" cerca Sagi langsung.
Fisika agak tergucang dengan pertanyaan Sagi. Dia ingin menjawab, namun suara terompet mulai terdengar saling sahut-sahutan. Dengan terpaksa, Sagi menggengam telapak tangan Fisika dan membawanya kembali ke penginapan.
.
.
.
"Lo bisa terinjak di sana!" Sagi melanjutkan amarahnya setelah ia dan Fisika berada di lobi penginapan matahari.
"Kan gue udah bilang. Gue mencari Baginda. Baginda hilang setelah sarapan pagi. Kenapa Baginda gak bangunin gue aja? Ntar gue pasti bangun kok."
Sagi memutar bola malas. Lalu ia menyeringai sambil melipat kedua tangan di depan dada dan menatap Fisika dengan nada mencibir.
"Berkali-kali gue memanggil lo. Tapi lo sama sekali gak bangun, Fisika. Lo tidur terlalu pulas. Bahkan gue yakin, jika sedang gempa bumi lo gak bakal bangun juga."
Rona merah muda seketikan berpendar di wajah Fisika. Wanita itu merasa malu dan salah tingkah menatap Sagi. Tangan kanannya bergerak menggaruk pipinya yang tidak gatal.
"Em, itu Baginda. Sebenarnya gue, eh apa ya? Begini, tapi bukan gitu sih."
Fisika terlihat kegalapan membalas peryataan sikap Sagi. Dirinya sendirilah yang salah karena tidak bangun saat dipanggil. Fisika pun menarik napas panjang, kemudian menghembuskan napas perlahan-lahan dari mulut.
"Gue minta maaf soal itu, Baginda." Fisika menunduk pasrah. "Kalau Baginda mau marah, gue pasrah dech. Gue memang salah, karena tidur kayak kebo."
Sagi tersenyum geli mendengar kata kebo. Tetapi senyum tersebut tidak ia tunjukkan pada Fisika. Barangkali, nanti Fisika akan candu dengan kemanisan yang ia lihat dan segala sesuatu yang berlebihan. Sangat tidak baik bagi kesehatan jantung.
Rebecca yang menjadi saksi pemandangan tersebut, hanya bisa tersenyum sendiri dengan sikap malu-malu kucing dibalik meja resepsionis.
"Gue punya ide untuk menangkap Flower Winter dengan sistem RADAR."
Wajah Sagi kembali serius. Tetapi Fisika malah salting mendengar kata RADAR. Pikirnya, Baginda tidak mungkin mau berbalas gombalan. Mengingat materi fisika yang satu ini dia gunakan merayu Sagi tempo hari.
"R- RADAR?" seru Fisika dengan wajah semakin memerah bagai kepiting rebus. Bahkan tanpa Fisika sangka, Sagi malah meletakkan punggung tangannya pada dahi Fisika.
"Lo sakit? Wajah lo memerah."
Fisika buru-buru berjalan mundur hingga tangan Sagi terlepas dari dahinya.
"Gak papa, kok. Baginda salah paham saja." Fisika mengakui dengan suara gemetar dan jantung berdetak hebat. Sulit sekali, untuk tidak terpana dan salting di hadapan Kaisar satu ini.
"Ide apa yang Baginda maksud?" Fisika berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Gue perlu menarik mana lo untuk bercampur dengan punya gue. Gue pikir, ini cara terbaik menangkap gelombang elektromagnetik Flower Winter yang terlihat samar. Satu-satunya hal yang bisa gue duga adalah seseorang sudah menemukan benda tersebut dan menyembunyikannya."
Fisika pura-pura berpikir. Nyatanya tidak ada yang ia pikirkan selain sosok Sagi dalam kepalanya.
"Ba- Baginda, gue mau tanya sesuatu. Bagaimana cara Baginda bisa dengan jelas mendengar panggilan gue tadi? Jika Baginda bisa mendengarnya, bukankah Baginda pasti bisa mendetekti Flower Winter dengan baik?"
Sagi memilih berjalan mendekati Fisika. Langkah tersebut, membuat kaki Fisika refleks berjalan mundur hingga ia terjatuh pada kursi di belakangnya.
"Ba- Baginda?" seru Fisika dengan suara bergetar.
"Suara lo cukup bising. Jadi kedengaran menggangu di telinga gue."
Wajah Fisika kian memerah dan Sagi mulai menyadari sesuatu. Walau samar, ia bisa mendengar bagaimana detak jantung Fisika berdetak dengan sangat keras dan kuat.
"Gue gak ngerti." Fisika mengakui, sekaligus merasa tersinggung dengan pernyataan Sagi.
"Dengerin Fis, lo tahu gak sih? Syarat terciptanya bunyi?" tanya Sagi dan Fisika menggeleng tidak tahu.
"Syarat terciptanya bunyi ada empat syarat. Yaitu sumber bunyi, medium untuk merambatnya bunyi, bunyi yang terjangkau oleh telinga pendengar dan rentang frekuensi bunyi yang bisa diterima oleh pendengar. Sampai sini lo paham?" tanya Sagi. Fisika kembali mengganguk dan Sagi melanjutkan sesi pelajarannya.
"Sumber bunyi adalah benda yang bergetar seperti gitar. Di mana ketika senar dipetik akan menghasilkan getar yang berubah menjadi bunyi. Bunyi dari sebuah sumber tidak asal bisa terdengar oleh telinga. Ada sesuatu yang membawa getaran tersebut sampai ke telinga. Sesuatu itu adalah medium."
Sagi menjeda penjelasannya. Raut wajah Fisika tampak sangat aneh. Tetapi Sagi tetap memutuskan untuk lanjut berceramah.
"Dengar Fisika, medium merambatnya bunyi adalah molekul udara yang berfungsi sebagai zat perantara di mana bunyi tersebut merambat. Selama gelombang bunyi bisa merambat melalui udara, pasti akan terdengar oleh telinga. Di sini, pendengar harus berjarak dengan sumber bunyi atau daerah jangkauan bunyi."
"Berarti suara teriakan gue masih menjangkau jarak Baginda dengan gue? Makanya Baginda bisa dengar suara gue tadi, 'kan?" sela Fisika dengan bola mata cokelat yang melebar.
"Binggo!" seru Sagi. "Frekuensi bunyi yang ditimbulkan harus sama dengan frekuensi alat suatu bunyi. Yaitu Telinga dimana ia bisa mendengar dari frekuensi 20Hz sampai 20.000 Hz. Alhasil, suara lo masih terjangkau di kuping gue."
Sagi pun menutup ceramahnya. Tetapi Fisika merasa ada yang mengganjal. Kepalanya sedang menunduk dengan sebuah pertanyaan.
"Gue masih kurang paham Baginda. Mengapa jangkauan suara gue bisa sampai dengan tepat ke Baginda? Padahal di sana sangat berisik."
Sekarang Fisika mendongak dan ia tersentak memandang Sagi yang sedang menutupi sebagian wajah dengan punggung tangan kanannya. Lirikan matanya menoleh ke samping. Tetapi jelas, ada semburat merah jambu mewarnai wajah Sagi.
"Itu," seru Sagi dengan suara baritonnya yang serak. "Gue mengalami fenomena fisika kuantum yang disebut fenomena kuantum entanglement."
Memori di dalam kepala fisika seperti mengeluarkan asap. Dia belum tamat memahami konsep fisika dasar yang dibawa oleh Isaac Newton. Sekarang, Sagi malah membahas soal teori fisika kuantum yang dipelopori oleh Mac Planck.
Dibanding itu, Migel yang sedang bersembunyi jauh dari penginapan matahari sedang panik dan cemas. Botol air minum yang ia simpan di dalam tas korannya telah menghilang.
Entah benda tersebut jatuh atau diambil orang. Migel hanya bisa berharap Flower Winter yang ia percaya sebagai bola es sihir, tidak ditemukan oleh orang lain.
__/_/_/_____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro