Chapter 15 - Monster Stormi
Sabetan pedang Sagi mengoyak tubuh si monster. Cairan berkoloid merah membasahi rumput yang sudah berlumpur pertarungan.
Walau tubuhnya sudah ditebas berkali-kali, monster tersebut kembali bangkit dan menyerang lebih beringas dari sebelumnya.
Hujan masih terus mengguyur, petir pun menggelegar mengiringi pertarungan.
Saat dilihat dari dekat, wajah mereka menyerupai singa yang telah bermutasi. Badannya sebesar seperti serigala jantan dan ukuran ekornya yang memanjang seperti cambuk yang siap menusuk siapapun.
Sagi terpaksa mundur beberapa langkah hingga memberi jarak yang cukup berarti untuk mengambil napas sejenak. Izar turut mengikuti setelah menebas monster yang hampir menusuknya dengan ujung ekornya yang terlihat beracun.
"Mereka tidak bisa dibunuh." Izar memberitahu. Walau nyatanya, Sagi juga tahu hal tersebut.
"Monster ini berbeda dan kuat." Sagi menimpali. "Tidak mempan dengan pedang ini." Sagi membalikkan bilah pedang dari kiri ke kanan.
Izar mendadak menyambar seekor monster yang ingin maju menyerang Sagi. Gerakannya begitu cepat, tetapi ia justru menerima bahwa lengannya telah ditusuk oleh ujung ekor yang rucing. Racun pun sekonyong-konyong menyerap ke dalam lapisan jaringan.
"Izar!" Fisika memekik histeris. Tetapi Sagi mencegah Fisika untuk mendekat dan tetap berada jauh di belakang.
"Tetap di situ!" titah Sagi dengan ekspresi tidak ingin dibantah. Sambil menjaga Izar yang terluka, Sagi terus melayangkan tebasan untuk kumpulan monster yang sepertinya tidak ingin pergi sampai semua mangsanya binasa.
Fisika mencoba berpikir sambil mengamati setiap pergerakan yang ada. Jika mereka bisa bertahan dengan tubuh yang berkali-kali ditebas. Itu artinya, membunuh dengan cara biasa tidak akan berhasil.
"Baginda!" teriak Fisika di sela-sela gerumuh hujan dan petir. "Mungkin kita bisa membunuhnya dengan sihir!"
"Pedangku ini mengalir sihir!" seru Sagi dengan nada tersinggung.
"Ahh," komentar Fisika. Ia pun kembali berpikir. "Jika seperti itu, itu artinya kita harus mencari bagian tubuh mereka yang sensitif dan terlindung."
Wajah Izar telah memucat. Rintihan kesakitannya direndam oleh hujan yang terus mengguyur.
Sagi sudah mencoba menebas setiap tubuh si monster. Mulai dari bagian leher untuk memenggal, badan serta kaki. Semuanya tidak cukup untuk membuat lawan terkapar. Padahal tanah berlumpur sudah bercampur dengan amis darah.
Lalu terbesit dalam pikiran Sagi. Sesuatu yang selama ini belum tersentuh olehnya.
"EKOR!" teriak Fisika dan Sagi bersamaan.
Sagi melirik sekilas ke arah Fisika dengan tersenyum tipis. Ia mendesak maju ke depan agar Izar tidak lagi menjadi sasaran. Dibuatnya semua fokus monster hanya tertuju padanya seorang.
Dengan menghentakkan kaki di atas tanah berlumpur sebagai pijakan. Sagi mencoba untuk menebas ekor beracun si monster dari melompat di atas udara. Menyadari bahwa organ vital mereka ingin di serang. Para monster itu melolong dengan suara yang mirip gemuruh petir namun dengan suara gelombang yang sangat panjang.
Kilat menyambar di tengah-tengah pertarungan. Ia telah menyambar sebuah batang pohon di tepi sungai hingga ambruk. Para monster sekonyong-konyong disambar dengan petir yang memekakkan telinga.
Fisika sampai menutup mata dan merunduk saking takutnya ia kena sambaran. Begitu petir menghilang, para monster kembali jauh lebih agresif. Seolah hujan dan petir yang menjalar adalah kekuatannya.
Mereka mengaum dan menyerang Sagi membabi-buta. Beberapa bekas cakaran telah mengenai tubuh sang Kaisar. Kendati demikian, Sagi tidak berhenti menurunkan ritme ayunan pedangnya hingga lolongan pilu pun terdengar.
Dalam sekali tebasan, dua monster yang ekornya dipotong mendadak tergeletak tidak bernyawa. Fisika yang melihat Sagi berhasil menaklukkan monster. Bersorak senang dengan lompatan penuh semangat, sedangkan monster yang tersisa empat mulai mewaspadai Sagi.
Mereka hanya mengeram. Lalu beranjak mundur ke dalam kelebatan hutan di sekitar. Monster yang terbunuh perlahan-lahan mengeluarkan suara mendesis.
"Izar! Apa lo bisa jalan?" Sagi berusaha memapah. Pedang di tangan kanannya mendadak hilang. Fisika sedikit takjub dengan hal ini. Benaknya bertanya-tanya bagaimana Sagi bisa memunculkan dan menghilangkan benda tersebut.
"Biar gue bantu." Fisika pun turut melingkarkan lengan tangan kiri Izar ke pundaknya. Mereka berjalan menelusuri tapak sebuah petak kecil dipinggir sungai.
Jalan tersebut licin oleh lumpur dan dedaunan kering yang basah. Air meluap-luap hampir mencapai ketinggian bukit di sekitarnya.
Izar terkulai lemas dan Fisika tidak tahu bagaimana caranya menemukan pemukiman di tempat tersebut. Namun, setelah menempuh perjalanan dalam tubuh yang basah kuyup. Anehnya mereka bertiga tidak terlihat menggigil.
Setelah menerenuni sebuah bukit. Di kejauhan tampak sebuah gerbang batu adensit berwarna putih tulang dengan dua menara pengawas di kanan dan kiri pintu masuk.
Ada juga sebuah jembatan batu bata yang membentang panjang menghubungkan bukit tempat Fisika berada dan sebuah pemukiman kota.
Angin masih bertiup kencang. Walaupun intesitas hujan perlahan mereda. Semakin mendekati pintu, tampak dua orang pria yang menggunakan seragam militer berbentuk baju jirah lengkap dengan mata tombak yang sangat tajam dan mereka berdua menggunakan penutup kepala yang berbentuk helm.
Saat melihat Izar yang terkulai lemas, kedua penjaga gerbang tersebut segera berlari menghampiri.
"Apa yang terjadi?" tanya seorang dari mereka.
"Dia terkena tusukan dari monster yang di dekat sungai," jawab Fisika sambil berusaha menunjuk ke arah bukit di belakang.
"Stormi? Kalian bertemu Stormi?"
Fisika dan Sagi saling menatap. Entah benar nama monster tersebut.
"Monster itu bernama Stormi?" tanya Fisika. "Mereka terlihat mirip singa dan serigala.
"Seharusnya kalian bertiga tidak berkeliaran saat hujan sedang turun." Rekan sang prajurit turut menimpali. "Stormi aktif keluar saat hujan seperti ini. Mereka cukup agresif dan sulit dikalahkan."
"Aku membunuhnya," ungkap Sagi. Kedua prajurit terperangah.
"Eh, benarkah?" Satu orang ini bertanya dengan mata terbelalak. "Lalu mana bangkainya? Kenapa kalian tidak membawanya?"
Kening Fisika mengerut.
"Kenapa kami mesti membawanya? Teman kami keracunan ekornya." Fisika menunjuk Izar yang terkulai. "Izinkan kami mencari tabib."
"Baiklah, berikan tanda pengenal kalian."
"Hilang saat pertarungan melawan Stormi," ujar Sagi. Dia berpikir lebih baik masuk ke dalam kota sesegera mungkin. Berbicara lebih lama akan membuat Izar sulit diselamatkan. Pengobatan menetralisir oleh mana belum terlalu optimal menyelamatkan Izar, jika jenis racun yang digunakan tidak ketahui.
Awalnya, kedua penjaga itu agak ragu mengizinkan Fisika dan Sagi untuk lewat. Akan tetapi, melihat kondisi Izar yang tampak memprihatinkan. Membuat keduanya mengizinkan mereka untuk lewat dan juga memberitahu Fisika dan Sagi tentang tabib yang bisa membantu.
"Ck," desis Sagi saking kesalnya menahan emosi. "Prajurit bodoh."
Kota di dalam gerbang memiliki rumah-rumah bertulang kayu khas abad pertengahan. Biasanya bertingkah sampai tiga atau lima lantai ke atas. Atapnya memiliki genting berwarna merah bata mendominasi. Terdengar pula suara denting besi dipukul-pukul dari kejauhan.
Jika Izar baik-baik saja. Fisika mungkin akan bersorak senang melihat kota fantasi yang selama ini ia impikikan.
"Baginda, mohon bersabar," seru Fisika menenangkan.
Mereka berbelok ke jalanan sebelah kiri sesuai petunjuk penjaga gerbang. Rumah bagian kiri urutan nomor tiga adalah tempat yang mereka tuju.
"Izar sekarat." Sagi mengeluh.
Sebuah rumah pandai besi mereka lewati. Ada seorang pria berbadan kekar dengan rambut dan kumis serta janggut cokelat yang tumbuh hingga dagu sedang memukul-mukul sebilah celurit.
"Baginda tahu tidak? Persamaan Baginda dengan RADAR?" tanya Fisika tepat saat ia melihat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Hocus And Pocus.
"Maksudmu Radio Detection and Ranging?"
"Yap. Baginda tahu persamaan Baginda dengan itu?"
Sekarang, ia dan Fisika tepat berdiri di depan toko. Melalui jendela kayu persegi empat dengan membentuk kotak-kotak pada pilarnya. Terlihat deretan botol-botol kaca yang tertata rapi dengan cairan berwarna-warni di etalase.
Sagi menatap Fisika penasaran.
"Gue tidak tahu," jawab Sagi sambil mendorong pintu dengan tangannya yang bebas. Fisika pun membalas.
"Jika RADAR memantulkan gelombang mikro. Maka Baginda memantulkan gelombang cenat-cenut cinta."
Fisika terkikik geli sendiri. Mungkin gombalannya bersifat garing atau aneh di telinga. Namun semata-mata dia melakukan itu hanya untuk mengalihkan perhatian Sagi.
Sang Kaisar yang seumur hidup tidak pernah mendengar jenis gombalan rayuan. Hanya mengerutkan kening. Bibirnya yang bergerak untuk berucap. Telah didahului Fisika yang berseru pada seorang tabib pria tua yang keluar dari konter memperhatikan Izar dengan khawatir.
"Ada apa dengan pasien ini?"
___///_/_____/____/____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro