Chapter 12 - Gelombang elektromagnetik
Bunyi sirene terus berkumandang setelah aksi nekat Sagi beberapa waktu lalu. Izar yang disembunyikan di dalam mobil terbangun dengan wajah linglung. Lalu tersadar bahwa Sagi telah meninggalkannya.
Pria itu pun bergegas keluar dari dalam mobil. Matahari sudah perlahan-lahan merangkak naik. Izar tidak menduga, bahwa lokasi mobil mereka terpakir adalah lahan parkir sebuah rumah duka.
"Bigbos!" keluh Izar dalam-dalam. Ia pun menoleh ke kanan dan kiri jalan. Memastikan bahwa area tersebut memang lagi sepi. Izar mengelus dada lega. Lalu tersedak saking kagetnya melihat Sagi sedang berjalan membawa Fisika dalam dekapannya.
Tangan Izar terkepal kuat. Ia emosi, entah karena Fisika bisa saja terluka dan Sagi yang menggunakan hampir seluruh kekuatannya. Tidak ada yang tahu, tetapi pemandangan kontras yang ia saksikan sekarang membuatnya hampir kehilangan kata-kata.
"Fisika! Bigbos!" panggil Izar dengan berlari menghampiri. Dilihatnya Fisika yang perlahan membuka kelopak mata.
"Izar?" lirih Fisika. Lalu ia melirik ke arah Sagi. "Bisa turunin gue? Gue udah baikan kok."
Sagi menurut, diturunkan Fisika dengan sangat hati-hati. Izar yang ingin membuka mulut. Mendadak dicegah oleh Sagi yang lebih dulu berbicara.
"Kita pulang," titah Sagi. Ia pun meraih ponselnya dan menekan aplikasi AIR.
Fisika pun buru-buru meraba ponsel di dalam saku celananya. Lalu tersadar, bahwa ponselnya tidak ada di tempat.
"Ponsel gue!" pekik Fisika panik. Tanpa ponsel, gelombang yang tercipta hanya dua gelombang saja. Sedangkan mereka membutuhkan tiga gelombang untuk keluar masuk dunia paralel. "Bagaimana ini? Gara-gara gue. Semuanya jadi berantakan."
Pandangan Sagi mulai mengabur. Ia kehilangan kata-kata untuk berbicara.
"Mereka pasti menggeledah lo, saat lo dibawa pergi. Ini buruk." Izar mengigit kuku ibu jarinya. Dia juga bingung harus berbuat apa.
Ponsel Fisika satu-satunya benda yang mereka butuhkan. Jika benda itu menghilang mereka tidak bisa balik. Ponsel dari dunia paralel 2728 tidak akan bisa digunakan. Apalagi ponsel Fisika sudah dimodifikasi Izar sebelumnya.
"Ah! Tunggu sebentar!"
Lampu pijar di kepala Izar mendadak menyala. Ia mendapat ide, buru-buru ia mengetik pesan whatsapp kepada seseorang.
"Tunggu sebentar," ucapnya pada Fisika. "Bisa jadi ini berhasil."
"Lo gak berniat buat ngirim ponsel dari dunia sebelah lewat jalur dunia paralel pakai kurir, 'kan?" tebak Fisika tidak yakin. Tetapi jawaban yang diberikan Izar malah membuat Fisika tercengang.
"Tebakan lo benar sih." Izar mengakui. "Gue coba pesan sesuatu sama seseorang lewat chat. Tapi dia ngirimnya lewat sihir. Eheheh."
Ah, ya benar. Fisika lupa, ada sihir di Malakai. Tetapi bagaimana cara kerja sihir tersebut? Apakah memang dikirim seperti santet? Inilah yang Fisika ingin tahu.
"Izar," lirih Sagi. Tangannya berusaha menggapai. Tetapi Sagi malah ambruk dan dengan cepat Fisika menahan beban bobot tubuh Sagi.
"Sagi? Sagi? Lo baik-baik aja?" Fisika berseru panik. Izar bergerak cepat membantu Fisika membopong tubuh si Kaisar.
Keduanya pun sepakat membawa Sagi masuk ke dalam jok belakang. Wajah lelaki itu semakin memucat dan peluh di sekitar pelipisnya semakin banyak.
"Izar?" panggil Fisika. Dia mengigit bibir bawahnya dengan gelisah.
"Lo tenang dulu."
Izar pun meletakkan satu tangannya di atas dada Sagi. Ia memejamkan matanya sebentar dan sebuah cahaya kebiruan berpendar keluar dari telapak tangannya.
Mata cokelat Fisika menatap takjub. Ia membantin, semoga Sagi bisa diselamatkan. Pada akhirnya mereka bisa mendapatkan permata biru dan Fisika berhasil kembali. Tetapi ponselnya malah menghilang dan Sagi pingsan tak sadarkan diri.
"Gimana, Zar? Sagi aman? Apa gara-gara dia menyelamatkan gue? Gue akan melakukan apapun demi membalas semuanya."
Izar membuka kelopak matanya perlahan. Bersamaan dengan itu, denting notifikasi dari ponselnya berbunyi.
"Lo urus Bigbos sebentar. Gue urus soal masalah ponsel lo."
Fisika mengganguk takzim dengan titah Izar. Saat Izar menarik tubuh keluar dari jok belakang. Fisika berusaha menyeka peluh di pelilis Sagi dengan ujung jaket bagian lengan.
"Aerglo?" bisik Fisika dengan mata berkaca-kaca. "Makasih banget lo udah nyelamatin gue dan mengorbankan diri demi gue. Lo harusnya tahu, gue gak bisa balas semua perbuatan itu. Lo yang sekarang malah bikin gue gak tenang. Gue dan Izar harus apa?"
Fisika tidak bisa membendung kesedihannya. Dihapuskan air matanya sendiri. Lalu Izar kembali melongok dari pintu mobil.
"Fis, lo keluar sebentar."
Fisika pun menurut dan saat di luar mobil. Kelopak mata Sagi perlahan terbuka.
"Dengerin gue. Ponsel lo bakal balik ke sini. Tapi cara ini akan buat lo kesakitan. Waktu kita terbatas, jika sampai tengah hari kita belum balik ke dunia paralel f2 atau f1. Kita bertiga bakal terpental ke dunia paralel lain. Lo siap?"
Fisika mengganguk takzim.
"Gue siap," sahut Fisika mantap.
"Oke, gue bakal menarik dan membuka gerbang mana yang ada di dalam diri lo."
Fisika kembali mengganguk. Apapun yang Izar lakukan, dia akan menurut. Tidak ada pilihan lain selain bertahan hidup sebelum semuanya menjadi berantakan.
Tanpa di duga oleh Fisika. Izar mendorong dadanya denganya kuat. Fisika sempat terdorong beberapa langkah ke belakang.
Perlahan-lahan, ia merasakan ada sensasi nyeri yang menjalar di tiap tulang belakangnya. Ia pun jatuh tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Paru-paru Fisika seperti diremas bergitu kuat. Ada kata yang tak bisa diucapkan selain erangan kesakitan.
Sagi ingin berbicara dan mencegah Izar melakukanya. Membuka gerbang mana seseorang secara mendadak adalah hal terlarang di Malakai. Bagaimana pun kisahnya, Izar tidak seharusnya melakukan hal tersebut dan ini membuat Sagi tahu. Siapa sosok yang dihubungi Izar sebenarnya.
"Bertahanlah, Fisika." Izar masih mengarahkan telapak tangannya ke depan. Ada lingkaran dengan runne kuno yang berpendar mengelilingi lingkaran tersebut dengan tujuh warna pelangi.
Fisika terbatuk dengan darah yang muncrat dari mulutnya. Izar bahkan tidak tega melakukan ini. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Hanya ini yang bisa mereka lakukan demi mengembalikan ponsel Fisika.
Sesuatu mendadak jatuh dari langit membentur kepala Fisika. Itu adalah ponsel yang sebelumnya dihancurkan oleh para tentara militer dunia paralel 2728.
"Berhasil!" Izar berseru senang. Ia pun menarik kembali lingkaran sihir ke dalam udara dan lenyap seketika.
Lalu ia segera memberikan pengobatan mana dipunggung Fisika selayaknya ia tadi menolong Sagi.
"Lo wanita kuat. Gue yakin, lo bisa."
Fisika yang baru saja seakan selamat dari maut hanya bisa melirik sahabatnya. Dia masih belum bisa berbicara, bekas sesak dan sakit luar biasa tadi masih membekas dalam ingatannya. Pikiran Fisika mengabur dan semuanya berubah gelap.
.
.
.
"Jadi? Mereka berdua pingsan?" Seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Izar sedang berlutut dengan satu kaki di hadapannya dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Mannal?!" Ia membentak tidak suka. Mannal adalah sebutan yang digunakan di Malakai untuk rakyatnya yang berjenis kelamin laki-laki. Ini adalah bentuk kata formal tanpa menyebutkan nama.
"Maafkan saya Yang Mulia. Hamba pantas mendapatkan hukuman."
Si bocah mendecis dengan muka sebal. Jika bukan karena perintah ibunya. Dia ogah pergi melintasi dunia paralel ke Indonesia.
"Pergilah, Mannal. Akan kupanggil jika aku butuh sesuatu."
Izar mengganguk takzim. Ia pun bangkit dan berdiri meninggalkan si bocah yang berdiri di depan ruang sebuah kamar. Saat bocah itu berbalik dan membuka pintu. Ia meringgis kesakitan saat seseorang memukul kepalanya dengan kuat.
"Apa yang kau lakukan di sini, Elf?"
Mata ink Sagi memandang tajam keponakan tersayangnya. Ah, ralat keponakan yang paling sering membuat darah tinggi Aerglo bisa meledak.
"Hamba ke sini karena perintah Ibunda. Dasar adik laki-laki tidak berperi-kepamanman. Jika bukan karena Ibunda, hamba tidak akan datang ke sini. Dasar pria menyebalkan!"
Elf pun berlari menghampiri ranjang Fisika dan berdiri di sisi sebrang. Dijadikan tubuh Fisika yang sedang tertidur sebagai tameng pertahanan dari serangan Sagi berikutnya.
"Ke sini!" titah Sagi tegas. Tetapi Elf menggeleng.
"Baginda akan memukul kepala hamba. Apa Baginda lupa? Memukul kepala seseorang akan membuatnya menjadi bodoh."
Elf dengan berani menunjukkan wajah meremehkan ke arah sang paman. Sagi yang tidak ingin Fisika terbangun karena sikap Elf terpaksa berjalan menghampiri ranjang.
"Ke sini atau kubuat seluruh kamar bermainmu lenyap."
Diancam seperti itu, membuat Elf tidak berkutik. Tidak seorang pun boleh menggangu kamarnya tersebut. Tidak orang tuanya, atau pamannya yang pewaris tunggal Kekaisaran.
"Baiklah, hamba akan pulang. Tetapi." Elf tersenyum nakal. Dia malah menekan pipi Fisika dengan jari telunjuknya. "Baginda pasti jadi obat nyamuk, 'kan? Soalnya dia pasti pacar si Mannal. Ciee, yang jadi obat nyamuk. Dasar Baginda jomlo."
Dengan gesit, Elf menyelinap lewat bawah ranjang. Ia merangkah menghindari Sagi lalu beralih keluar dengan memerintahkan Izar membawanya pulang.
Mendengar keributan tersebut. Tidak mungkin malah membuat Fisika merasa terlelap. Ia membuka mata, agak syok mendapati tubuhnya berada sekarang. Lalu ditatapnya Sagi yang masih setia berdiri di tempatnya.
"Sagi?" panggil Fisika. "Kita di mana? Tubuh lo? Apa lo udah sehat? Makasih ya."
"Seharusnya lo mengkhawatirkan diri lo sendiri," ketus Sagi dengan tangan terlipat di dada. "Istirahatlah, setelah lo merasa baikan. Lo bisa pulang."
"Flower Winternya bagaimana? Dan apa kita sudah kembali?" Bertubi-tubi pertanyaan ingin Fisika lontarkan. Izar pasti bekerja keras membawa mereka berdua kembali pulang.
"Permata pertama berhasil di dapatkan. Sekarang kita di Karta. Lo tenang aja, lo bisa balik dan bayaranmu akan gue kasih sesuai perjanjian sebelumnya."
Mendengar bahwa ia akan diberhentikan. Sekonyong-konyong membuat Fisika terbangun dari atas ranjang.
"Gue masih ingin bekerja bareng Izar!" tegas Fisika. "Gue mohon, gue butuh pekerjaan ini."
"Dengan segala resikonya?" tanya balik Sagi skeptis dan Fisika mengganguk takzim. "Terlalu berat, lo hampir dibuat jadi pabrik reproduksi di sana. Gue punya cukup wewenang. Sekali gue bilang tidak, lo gak bisa menolak."
"Tapi gue bekerja karena Izar," sanggah Fisika. "Izar yang punya hak buat keputusan ini."
"Dan sayangnya Izar bergerak di bawah perintah gue. Di sini, yang jadi bos besar adalah gue. Bukan Izar."
"Apa karena lo seorang Kaisar?" ujar Fisika sinis. Seharusnya, Fisika tidak mengatakan ini. Izar sudah memperingatinya.
Binar mata Sagi berkedut. Tentu saja, ia terkejut mendengar kalimat itu terucap oleh bibir wanita yang baru saja ia selamatkan beberapa waktu lalu.
"Lo sebaiknya jaga mulut. Lebih baik lo pulang sekarang."
Sagi memilih berlalu pergi. Ia masih punya sedikit belas kasih. Tetapi Fisika dengan cepat turun dari ranjang dan menahan pergelangan tangan Sagi.
"Izinkan gue ikut! Apapun resikonya gue bakal terima. Setidaknya gue bisa bekerja bareng lo dan ---!"
Telunjuk tangan kanan Sagi terangkat ke udara.
"Lo gak punya hak manggil gue seperti itu setelah tahu siapa gue sebenarnya."
Fisika menelan salivanya dengan cepat.
"Bersikaplah sopan, Nona."
Setelah yakin membuat Fisika bungkam dengan menyaksikan wanita tersebut terbelalak. Sagi pun kembali meneruskan langkah kakinya.
"Izinkan gue tetap bekerja bareng Izar." Fisika kembali berusaha menyakinkan Sagi.
"Gue ... gue mau belajar fisika. Ah, ya! Gue ingat! Ini tentang gelombang elektromagnetik. Kecepatan perambatan gelombang elektromagnetik apakah dipengaruhi hukum gravitasi Newton?"
Sagi yang berdiri membelakangi Fisika memutar bola mata malas.
"Kecepatan perambatan gelombang elektromagnetik hanya bergantung pada permitivitas listrik dan permeabilitas di ruang hampa," seru Sagi seraya membalikkan badan menghadap Fisika.
"Kecepatan gelombang elektromagnetik besarnya 3 x 10 pangkat 8 m/s. Gelombang elektromagnetik memiliki cepat rambat sama dengan kecepatan cahaya di ruang hampa."
Dalam hati, Fisika tersenyum puas. Pria di hadapannya, ini pasti bisa dibujuk.
"Kenapa kita harus belajar tentang fisika? Bolehkah gue mempelajarinya bersama lo? Yeah, itu pasti akan membuat gue paham. Kalau lo mau menjelaskannya sebagaimana kejadian yang telah kita lewati bersama. Ah, benar juga. Soal aljabar yang tempo hari! Lo mau kasih soal lagi kan sama gue?"
Sagi terlihat bingung. Ditatapnya Fisika dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Lo yakin?" tanya Sagi memastikan.
"Yap! Gue yakin 1 juta persen. Izinkan gue tetap bekerja bareng Izar buat mengumpulkan Flower Winter dan di saat yang bersamaan lo bisa ajarin gue tentang fisika. Eh, tapi semua ilmu yang lo ajarin itu gratis? Atau ... gue harus potong gaji?"
Fisika benar-benar menyerah, jika trik ini gagal ia lakukan. Kalau dia pulang ke rumah dan mengatakan bahwa ia dipecat ibunya Izar, mamanya di rumah akan marah bukan main.
"Tidak, gue gak pernah meminta bayaran apa-apa soal ilmu yang gue punya. Tapi, gue punya satu syarat."
Pupil mata Fisika membulat sempurna. "Katakan."
"Panggil gue, Baginda mulai sekarang. Karena lo udah tahu siapa gue sebenarnya. Wajib buat lo mempelajari tata krama keluarga kekaisaran."
Tanpa pikir panjang, Fisika mengganguk takzim. Tanpa tahu, bahwa syarat yang ia terima jauh lebih sulit dari sekedar mempelajari ilmu yang membahas tentang alam semesta.
___/_/_/_/____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro