Bola
"Aish, kenapa wifi nya ada di sini, sih," gerutu Pamela seraya tetap fokus pada ponselnya. Sesekali ia melirik sekitar, memastikan keadaan tetap aman selama ia berdiam seorang diri di sana.
Tidak, sebenarnya tidak sendiri. Citra, Tiwi, serta Dini senantiasa menemani. Namun, mereka sibuk berhaha-hihi tanpa berniat membantu Pamela agar urusannya cepat selesai.
Tidak sepenuhnya salah, karena hendak menolongpun, tidak akan bisa. Pamela bergelut dengan ponsel demi memenangkan sebuah tiket untuk menonton konser Sheila on 7 bulan depan.
"Anjir, bakal dapet, nggak, ya?"
Citra ikut jongkok. Mengintip ponsel di genggaman Pamela seraya mencibir, "Orang tuh kalo mau war tiket, minimal siapin kuota, Neng. Biar nggak perlu numpang ke wifi sekolah."
Pamela mencebik, "Kalian, sih, pelit. Tinggal nyalain tethering, kelar. Bisa sambil selonjoran di kelas. Mana rame banget di sini."
Tiwi dan Dini menyusul. Mereka duduk di lantai teras ruang lab yang menghadap langsung dengan lapang upacara. Sekilas dilihat, suasana memang masih ramai meski sudah waktunya jam pulang.
"Bukannya pelit, lo, 'kan, tau sendiri, gue jarang isi kuota," Tiwi menimpali.
"Punya gue lobet." Dini menyahut.
Kini, mereka bertiga fokus pada layar ponsel yang dipegang Pamela. Ikut tegang karena terhitung sejak pagi, Pamela tidak merasa tenang karena hal ini.
Tiwi menghela napas berat. Pandangannya menerawang ke arah beberapa siswa yang sedang bermain bola. Sebuah kebiasaan buruk, lapangan upacara dijadikan lapang untuk bermain bola. Dan jika ditaksir, jarak mereka duduk saat ini, terlalu dekat dengan gawang yang mereka tandai dengan sepasang sepatu.
Merasa bosan, tidak. Tiwi justru tenggelam dalam riuh rendah para siswa dengan netra yang tak lepas mengikuti bola. Hingga benda bulat itu mengarah kepada—tidak, dalam waktu sekejap, Tiwi tersadar ketika Pamela menjerit dengan tangan yang menyentuh pelipisnya.
Untuk sepersekian detik, seiring bola yang menggelinding berhenti tepat di samping kiri kaki Pamela, mereka terdiam mencerna kejadian yang terlalu tiba-tiba.
Pelaku sama terkejutnya. Ia tak menyangka tendangannya akan melenceng hingga mengenai ... Pamela. Siswi yang terkenal sinis dengan apa pun yang mengusik dirinya.
"Ce, sana, ambil. Sekalian ucapin permintaan maaf. Ngeri banget gue kalo harus liat dia ngamuk."
Adalah peringat yang samar-samar Pamela dengar dari kejauhan.
Ace.
Pamela heran kenapa cowok itu serta merta menyalahgunakan lapangan upacara.
Saat ini, atensinya tak lagi mengarah ke smartphone di tangan. Ia mengikuti pergerakan Ace hingga cowok itu berhasil mengangkat bola hingga di pelukan.
Namun, hal tak terduga harus terjadi di depan mata.
Lidah Pamela mendadak kelu kala tangan Ace menyetuh pelipisnya tanpa sedikitpun rasa ragu. "Sakit, nggak?" tanyanya tanpa memutus pandang.
Pamela terdiam sejenak. Ia merasa seperti orang bodoh yang lupa bagaimana cara berbicara. Maka dari itu, gelengan kecil yang mampu Pamela berikan.
"Sorry banget, yaa." Ace mengelus lalu mengacak rambut Pamela pelan. Setelah itu, tanpa rasa bersalah—lagi, ia kembali menuju lapangan dan melanjutkan permainan yang sempat terhenti.
Meninggalkan Pamela yang masih mematung di tempatnya, sedang teman-temannya mulai berisik dengan segala macam ledekan hingga membuat Pamela tersadar dari kebingungannya.
"Demi apa Pamela? Kenapa pipi lo merah?"
Pamela sontak menyentuh pipi yang terasa hangat. Tidak, ini di luar kendalinya. Pamela seharusnya tidak seperti ini. "Apa, sih," elak Pamela akhirnya.
"Lo kalo salting, keliatan banget anjir!"
Pamela menunduk dalam. Ia menyumpah serapahi Ace yang bertindak di luar prediksinya. Hingga beberapa detik kemudian Pamela tersadar dengan hal yang membuatnya khawatir belakangan ...
"ANJIR! TIKETNYA!"
Lagi, Pamela kalah bertarung dengan ratusan atau bahkan ribuan orang yang sedang war juga di luar sana.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro