5
Serta merta Kimi melangkah lebar menuju kamar sebelahnya, kamar Varo. Mengetuk pintu bercat putih itu tanpa jeda.
"Apalagi?"
Kimi menyerbu masuk ke dalam kamar, matanya sudah menyalak marah. Tak lupa dia menutup pintu dan menguncinya agar tak ada yang tahu dan dengar.
"Lo kan udah janji buat tutup mulut. Tapi kenapa lo bilang sama Bang Elang? Kenapa harus Bang Elang sih? Perjanjian kita batal! Gue nggak mau jadi pacar bohongan lo lagi!"
"Udah? Keluar lo!"
"Sumpah ya, baru kali ini gue nyesel kenal sama orang. Itu lo!" seru Kimi.
"Keluar gue bilang!" bentak Varo tak kalah keras.
"Gue belum selesai ngomong."
"Ngomong di luar jangan di kamar gue."
Varo mendorong paksa Kimi keluar. Membuka pintu kamar yang terkunci. Menarik cewek itu ke halaman rumah.
"Kenapa lo ngomong sama Bang Elang?"
"Ngomong apa?"
"Ngomong soal wattpad gue. Dia kasih gue coklat karena pembaca gue udah banyak." Kimi mengangkat kotak coklat berpita silver.
"Kepedean lo. Nggak ada untungnya buat gue."
"Tapi Bang Elang tahu, nih buktinya! Itu pasti dari lo. Dari siapa lagi coba?" Kimi kembali mengangkat coklat dari Elang.
"Dia abang lo. Dia tahu wajarlah. Dan itu bukan dari gue."
"Pembohong!"
"Terserah."
Varo balik badan, mengabaikan Kimi.
"Gue nggak mau jadi pacar lo lagi!"
"Nggak masalah," balas Varo tanpa menoleh. "Mungkin bentar lagi orang tua lo tahu."
"Elvaro Jaasir!"
Langkah Varo berhenti, balik badan, menatap Kimi. "Ya? Lo manggil gue?"
Kimi meremas tangan menahan emosi. Haruskah dia mengganti hobinya biar terlihat keren di mata orangtuanya? Kimi mengambil napas panjang berulang kali menahan diri dan menahan agar tak menangis, meskipun matanya telah berkaca-kaca.
Menjadi bayangan memang menyakitkan. Kimi ingin jadi pemeran utama di keluarganya meskipun dia bukan anak kandung papanya. Kimi ingin terus berusaha tapi tak tahu harus bagaimana? Usahanya selama ini masih saja kalah dengan kakaknya.
"Lo boleh ambisius, tapi buka mata lo. Lo boleh punya prinsip, tapi buka hati lo. Di saat orang-orang nggak peduli sama lo, Bang Elang perhatian sama lo. Paham?" ucap Varo sebelum benar-benar meninggalkan Kimi sendiri.
Seolah baru saja ada petir yang menyambar, Kimi mematung. Terkejut tapi sulit untuk mengakui. Tak ada yang memperhatikannya di rumah, kecuali saat dia menjadi juara. Itu pun tak sesuai ekspektasi. Tak seperti saat Elang menjadi juara. Semua memberi selamat bahkan merayakannya. Mamanya pun membuatkan masakan spesial. Tapi itu tak berlaku saat dia menjadi juara. apalagi saat dia tak menjadi apa-apa. Mungkin dia akan terlupakan seiring waktu.
***
Perpustakaan yang luas dengan dinding putih polos, rak berwarna-warni jadi tempat favorit Kimi dan Trisha menghabiskan waktu istirahat. Mereka berdua duduk saling berhadapan dengan buku masing-masing. Hime yang duduk di samping Trisha sibuk melihat cover dance dari salah satu channel youtube kesukaannya.
Mereka bertiga meski berbeda tapi tetap satu dan perpustakaan jadi markasnya. Kimi dan Trisha belajar akademis dengan buku tebalnya, Hime belajar dengan melihat teknik-teknik dance terbaru di ponselnya. Mereka sama-sama rajin demi impian masing-masing.
Sementara Varo yang selalu menempel pada Kimi, duduk di sebelah Kimi dengan earphone menyumbat kedua telinganya. Mendengarkan lagu dari The Chainsmokers yang memutar acak.
"Kalau lo bosen ke kantin aja."
"Hm?" Varo melepas sebelah earphone-nya.
"Gue bakal lama. Gue harus belajar karena bulan depan gue ikut olimpiade."
"It's Ok."
"Yakin?"
"Ya."
"Lo nggak mau ikut belajar?"
"Jam istirahat," jawab Varo singkat.
"Nggak ada larangan jam istirahat belajar."
"Nggak ada aturan jam istirahat belajar," balas Varo lalu bangkit menuju balkon perpustakaan. Berdiri di sana meski matahari cukup menyengat.
Awalnya Kimi mau mengabaikan tapi entah kenapa dia jadi ingin tahu lebih soal Varo. Cowok itu terbilang aneh. Kadang pendiam, kadang menyebalkan, kadang terlihat menawan saat mengerjakan soal dengan cepat dan benar. Dan tak jarang ucapan Varo memukul telak dirinya.
"Nggak lo samperin?" tanya Hime.
"Sana temenin ke kantin. Dia pasti laper," sambung Trisha dengan nada lemah lembut seperti biasanya.
Kimi mengembuskan napas berat. "Jadwal gue berantakan sejak ada dia," gerutu Kimi.
"Namanya aja dua hati jadi satu. Pasti bakal banyak perubahan. Bukan soal menang kalah tapi gimana ego kalian dileburkan jadi satu," ucap Trisha dan membuat Kimi serta Hime terperangah. Seorang Trisha membahas hati seolah dia pernah mengalaminya.
"Kenapa? Gue salah ngomong?" tanya Trisha.
"Bukan, aneh aja lo bahas hati," jawab Kimi.
"Lo lebih aneh bisa punya pacar. Lo bilang pacar merepotkan," balas Trisha. "Ngeluh terus tapi tetap aja lo perhatian sama Varo."
"Namanya juga cinta, suka bikin lupa daratan," ucap Hime dengan mata berbinar dan cekikikan.
"Itu mah lo yang bucin sama Azof," balas Kimi. Lalu mereka bertiga tertawa pelan, sadar mereka tengah berada di perpustakaan.
"Habis gimana dong. Gue ...," Kimi tak jadi melanjutkan keluhannya. Menelan lagi rahasia yang hampir dia ungkap.
"Gue apa?" tanya Hime. "Gue terlalu cinta kan maksud lo?"
"Ish .... Ya udah, gue samperin Varo dulu. Gue pasti bisa kok nyelesain baca buku ini nanti malam." Kimi mengangkat buku tebal yang dia pegang.
"Santai aja, kali ini kan lombanya kita kelompok. Ada anak kelas X juga," ucap Trisha.
"Lo tahu sendiri gue nggak bisa santai soal beginian," balas Kimi dan Trisha hanya tersenyum memaklumi. Mereka memang sama-sama pintar tapi Kimi terlihat jelas terobsesi untuk jadi juara dalam segala hal. Seolah menjadi yang terbaik adalah tuntutan paling utama dan tak bisa ditawar.
Kimi mendekati Varo, menyenggol lengan cowok itu. Tapi Varo tak bergeming. Kimi memperhatikan Varo dari samping, sempat terpesona oleh hidung mancung yang tak bisa dikompromi.
"Apa?" Tiba-tiba saja Varo menoleh dan membuat Kimi kelabakan memutuskan pandangan.
"Ayo ke kantin!" ajak Kimi.
"Males."
"Lo nggak laper?"
"Belajar aja sana."
Kimi menyodorkan ponselnya. Ponsel yang baru dia sadari berubah background layarnya. Jadi berwarna putih polos dengan tulisan yang lagi-lagi menyindirnya.
Manajemen waktu.
Jam istirahat: istirahat, makan
Jam belajar: belajar
Jam tidur: tidur
Jam istirahat buat belajar, lo sebaiknya ngulang SD atau TK lagi.
Varo melirik sekilas lalu meraih tangan Kimi agar mengikutinya. Kasak-kusuk soal mereka di sekolah jelas sudah tersebar. Gosip soal Kimi si kutu buku punya pacar sudah jadi pembicaraan tiap sudut sekolah. Hal aneh dan sangat tidak masuk akal tapi kenyataan terjadi. Meski masih banyak yang meragukan tapi Varo yang tiap saat ada di dekat Kimi seolah menepis sedikit keraguan banyak orang.
"Kenapa ke sini?" Kimi heran karena mereka kini berada di kelas bukan di kantin.
"Gue mau istirahat."
"Terus ngapain ngajak gue?"
"Biar gue bisa tidur enak tanpa diganggu."
"Siapa juga yang mau ganggu?"
Varo menggerakkan dagunya, mengisyaratkan Kimi untuk melihat ke arah mejanya yang sudah penuh kotak coklat dan amplop.
Kimi melongo, heran dengan kelakuan cewek zaman sekarang. Dia bahkan hampir tak percaya dengan apa yang dilihat. Dalam beberapa hari Varo mampu menyedot perhatian cewek-cewek di sekolahnya. Dan lebih herannya, kenapa cewek zaman sekarang begitu agresif? Emansipasi wanita macam apa? Kimi bergidik ngeri. Dia mungkin penjunjung tinggi emansipasi wanita, tapi untuk hal seperti itu Kimi jelas tak akan melakukannya. Gengsi lebih tepatnya. Baginya perempuan harus jual mahal agar tak diremehkan.
"Nih."
"Susu?" Kimi mengerutkan kening, menerima susu strawberry dari Varo.
"Gue mau tidur." Varo duduk di kursinya lalu menyandarkan diri ke meja tanpa berniat menjelaskan alasannya memberikan susu. Matanya menutup rapat dengan napas teratur.
"Lo ngeselin tapi cakep kalau lagi tidur," ucap Kimi dalam hati. Kimi bisa melihat dengan jelas bulu mata panjang Varo.
Kimi menggeleng pelan, tersadar sudah berpikiran ngaco. Tangannya menutup bibir yang tengah menahan senyuman hanya dengan melihat dari dekat wajah Varo yang tengah memejamkan mata. Kimi mengambil buku pelajaran untuk mengalihkan pandangan tapi dia kembalikan mengingat sekarang masih jam istirahat.
Dia berniat akan memulai menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin tapi secara tepat agar dia terhindar dari stress. Akhir-akhir ini dia sering susah tidur dan semakin gila belajar hingga berat badannya menurun drastis.
Kimi bosan kembali menoleh, memperhatikan Varo sekali lagi. Betapa bebas dan santainya hidup seperti Varo. Terkadang Kimi menginginkan hidup seperti itu tapi di sisi lain dia tak ingin bersantai di saat muda lalu berjuang di hari tua. Dia ingin mengisi masa mudanya dengan prestasi sehingga nanti saat dewasa dan menjadi tua dia bisa menikmati hasil dari perjuangannya.
"Ngapain lo senyum-senyum ngeliatin gue?" Mata Varo terbuka, tanpa mengubah posisinya.
"Eh, enggak kok." Kimi dilanda salah tingkah, asal mengambil buku lalu pura-pura membaca.
"Buku lo kebalik," ucap Varo lagi sembari menegakkan badan, mereganggakn otot-otot tangan, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi.
Rasanya malu luar biasa, seperti maling yang ketahuan mencuri. Kimi hanya bisa mengumpat dalam hati pada dirinya sendiri dan menyembunyikan wajahnya dari Varo. Baru kali ini dia merasa teramat bodoh dalam hidupnya. Sangat memalukan.
***
Cerita ini kolaborasi dengan cerita AsriAci judulnya Ineffable.
Love, ai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro