4
"Jangan apa?" tanya Varo sembari meletakkan baksonya ke meja, tatapannya tetap lurus pada Kimi.
"Nothing," jawab Kimi yang sudah menetralkan ekspresinya.
Varo pun duduk di hadapan Kimi menikmati baksonya. Tak acuh pada keberadaan Abizar di samping Kimi.
"Lo tumben makan di jam istirahat pertama?" tanya Abizar pada Kimi.
"Pengen."
"Nggak mungkin lo ngelanggar aturan lo sendiri."
"Brisik," celetuk Varo yang merasa terganggu. Apalagi melihat Kimi yang berkali-kali meletakkan sumpit tak jadi menyuap mie karena terus ditanya.
Keduanya terlibat adu tatap, seolah tatapan mereka saling menusuk. Abizar yang biasa terlihat manis pun mengeraskan rahang.
"Terus aja kalian begitu. Gue udah kenyang mau balik kelas," ucap Kimi.
"Nggak bisa. Habisin mie lo!" ucap Varo.
"Gue kenyang."
"Habisin!"
Kimi memutar bola matanya, kesal. Abizar sendiri terheran-heran dengan perubahan Kimi yang sangat drastis. Kimi menuruti perintah Varo tanpa membantah, menghabiskan makanannya dengan cepat.
"Gue selesai, balik dulu," ucap Kimi setelah menyelesaikan makanannya.
Varo mengembalikan ponsel Kimi tanpa bicara, hanya mengulurkan ponsel putih itu dengan tatapan fokus pada gelas es tehnya yang berembun.
Kimi menerima ponselnya dan meninggalkan Varo sendirian di kantin. Lagipula cowok berhidung mancung itu tak keberatan terbukti dengan diam saja saat dia pergi. Kimi keluar kantin bersama Abizar. Berjalan beriringan dengan saling diam.
"Lo nggak mau jelasin sesuatu?" tanya Abizar.
"Belum," jawab Kimi.
Mereka kembali diam menatap ke depan.
"Kapan gue boleh tanya?" Abizar bertanya lagi.
"Nanti."
Abizar menoleh, memperhatikan lebih intens cewek berambut hitam di sampingnya. Cewek yang dia kenal sejak kecil. Cewek yang berusaha melakukan semua hal yang dilakukan cowok khususnya yang dilakukan Elang. Tangan Abizar refleks terulus mengusap puncak kepala Kimi.
"Ish... Abi! Gue nggak suka diusap kepalanya. Berapa kali sih gue harus bilang?"
"Itu tanda gue sayang sama lo, bukan ngeremehin lo. Berapa kali sih gue harus bilang?"
"Tetep aja gue nggak suka. Usap aja tuh kepala Hime," ucap Kimi seraya menunjuk Hime yang tengah tertawa lepas bersama teman-teman di depan kelas."
"Nggak siap gue dibunuh Azof pakai tatapannya."
"Apa bedanya sama Varo?"
"Karena gue yakin Varo itu bukan cowok lo. Dia cocoknya jadi saingan lo. Gue bener kan?"
"Maksud lo?" Kimi berhenti melangkah, menoleh pada Abizar. Tapi cowok penggemar Sheila on 7 itu hanya menaikkan bahunya.
"Ck, dasar cowok. Semua cowok itu saingan gue, termasuk lo!"
"Oke. Saingan yang saling berteman? Terdengar menarik," balas Abizar, lalu tersenyum lebar.
"Serah."
"Gimana kalau kita taruhan? Kalau bulan ini rata-rata nilainya tinggian gue, gue mau lo jawab pertanyaan gue tanpa batas."
"Kalau gue yang menang?"
"Lo boleh minta apa aja dari gue."
"Oke, gue minta lo jangan banyak tanya dan simpenin novel yang baru gue beli di rumah lo! Oh ya, dan gue pakai nama sama alamat lo buat beli novel baru."
"Biasanya juga gitu," balas Abizar. Bukan hal baru lagi buatnya jadi tempat penitipan koleksi novel Kimi yang menggunung. Hanya saja Kimi kini semakin jarang ada waktu untuk membaca di rumahnya karena terlalu terobsesi memiliki nilai tinggi.
Kimi memang tengah merasakan tekanan yang cukup besar, di mana kakaknya baru saja memenangkan lomba robotik. Hobi kakaknya keren dilihat dari sudut mana pun tak seperti hobinya, menulis. Tak ada yang bisa membanggakan orang tuanya dari menulis. Kimi mengembuskan napas berat mengingat hobinya mulai terlantar.
***
Beberapa hari berlalu. Hari yang indah perlahan berubah. Keberadaan Varo di sekitar Kimi membuat cewek berbintang Aries itu harus berusaha lebih keras lagi untuk berkonsentrasi. Varo sering membuatnya harus melewatkan belajar hanya untuk melakukan hal sepele. Seperti makan tanpa memegang buku atau ponsel, lalu menemaninya naik motor keliling komplek setiap sore di mana dia seharusnya mengerjaan soal-soal latihan atau sekadar membaca santai di sore hari. Seperti sore ini Kimi menghabiskan sore di atas motor Varo.
"Kita perlu bicara," ucap Kimi setelah dia turun dari motor besar Varo. Sementara Varo melenggang masuk rumah.
"Varo," seru Kimi seraya menarik lengan Varo.
"Apa?"
"Lo nggak bisa gini terus, gue juga punya kegiatan. Gue nggak mau nilai gue turun."
"Oke."
"Oke gimana?" tanya Kimi.
"Oke kita bicarakan. Harusnya lo ngomong ini dari kemarin. Kenapa lo diem? Takut sama bokap lo?"
"Apaan sih?"
"Mau lo apa?"
"Gue nggak mau motoran lagi tiap sore."
"Alasannya?"
"Gue mau belajar. Waktu adalah ilmu. Gue nggak mau ketinggalan."
"Lo sehari belajar berapa jam?"
"Belajar ya tiap waktu," jawab Kimi. "Ini prinsip gue. Belajar dan jadi sukses itu pilihan gue. Kalau lo mau maen-maen jangan ajak gue. Gue nggak mau jadi pecundang."
"Lo punya prinsip tapi lo tetep pecundang di mata gue. Kalau lo punya prinsip, lo nggak perlu takut sama bokap lo."
Kimi terdiam.
"Lo cuma butuh bicara. Kalau lo butuh pertolongan, lo ngomong. Jangan selalu berjuang sendiri," ucap Varo.
"Gue nggak butuh pertolongan."
"Lanjutin aja hidup lo yang begini. Jangan harap lo bisa kayak Barbara. Kalau ngobrol sama orangtua lo aja lo nggak bisa."
Varo kembali meninggalkan Kimi yang terdiam. Bahu Kimi melorot pasrah. Bagaimana bisa dia bicara? Apa pandangan orangtuanya tentang hobinya? Hobi yang jelas-jelas tak membanggakan. Sementara dia ingin selalu terlihat membanggakan lalu merasa diakui. Bahkan kini Kimi tak mampu melanjutkan hobinya karena waktunya semua dia gunakan untuk belajar.
Kimi mengejar Varo dan mengetuk kamar cowok itu. Bagaimana pun dia harus berani melakukan perubahan. Jika hanya berprestasi di sekolah, maka dia akan selalu kalah dari kakaknya. Kraena kakaknya berprestasi di segala bidang.
"Apa?" Varo menyenderkan diri di pintu.
"Bantu gue. Gue kan udah bantu lo di sekolah."
"Bantuan apa?"
"Gue pengen nulis."
"Gue nggak bisa nulis."
"Gue butuh lo buat nemenin gue nulis."
"Nemenin di kamar lo? Ogah."
"Bukan, kita keluar. Jadi sambil menyelam minum air. Lo gue temenin motoran, terus kita mampir di cafe ujung komplek, gue nulis. Gimana?"
"Ok."
"Deal!" seru Kimi girang.
"Ya udah, ngapain lo masih di depan kamar gue?"
"Sebagai bonus karena lo udah baik, gue bakal ngajarin lo belajar."
"Nggak perlu," ucap Varo lalu menutup pintu kamarnya. Kimi melongo, kesal tanpa sadar mengumpat, dan melayangkan tinjuan ke arah pintu.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Elang yang baru saja pulang kuliah.
"Nggak pa-pa," jawab Kimi lalu masuk ke kamarnya.
Tapi ketukan pintu dan panggilan Elang membuatnya terpaksa membuka pintu kamar. Elang menyodorkan sekotak coklat berpita silver.
"Buat kamu."
Kimi hanya diam, menerima kotak itu.
"Selamat ya, pembacamu udah 1M," ucap Elang dengan senyum lebar. Tapi tidak dengan Kimi. Matanya melebar, jantungnya nyaris berhenti. Bahkan hingga Elang pergi, Kimi masih terdiam di tempat. Otaknya langsung menyebut nama Elvaro Jaasir.
***
Love, ai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro