12
"Siapa yang mau ninggalin kamu, Kimi?"
"Maksudmu Papa?"
Kimi kembali kaget, Gandra sudah ada di ambang pintu yang entah sejak kapan terbuka.
Gandra mendekat dan mengusap kepala Kimi. Anaknya yang satu ini memang unik. Gandra sangat memahami Kimi meski mereka jarang bicara karena kesibukannya. Dia juga selalu meminta Elang untuk mendekati Kimi, agar gadis yang memiliki ambisi tinggi itu mau melihat ke sekeliling bahwa banyak yang menyayangi. Bahkan ketika atasannya meminta pertolongannya untuk mengawasi Varo, yang dia pikirkan adalah Kimi. Apakah putrinya bisa beradaptasi dengan orang asing baru atau justru semakin tertekan?
"Papa boleh tanya?"
Kimi mengangguk, kaku. Ada perasaan takut karena ini pertama kalinya Gandra duduk di sebelahnya seolah ingin mengajaknya bicara serius. Biasanya Gandra hanya mengajak bicara seperlunya atau saat makan bersama.
"Siapa papa buat kamu?"
Kimi menoleh memberanikan diri melihat ekspresi Gandra, tapi yang dia lihat tetaplah ekspresi datar seperti biasanya. Kimi pun bungkam. Dia kembali menunduk dan menggigit bibir.
"Papa memang nggak pandai bicara tapi Papa sayang kamu."
"Dengar sendiri kan, Kimi?" Sang Mama bicara.
"Tanpa kamu jadi juara kamu tetap anaknya Papa dan nggak akan mengubah apapun. Kamu hanya perlu jadi juara untuk dirimu sendiri bukan orang lain."
Kimi mengangguk tak berani mengangkat wajahnya karena air mata sudah siap meluncur sekali kedip. Setelah sekian lama akhirnya dia merasa disayang. Komunikasi membuat segalanya terang. Karena perbuatan saja terkadang tak disadari ketika tak ada ucapan.
"Pa...." ucap Kimi dengan bibir bergetar.
"Ya?"
"Sejak Papa bilang mau nikah sama mama, Kimi seneng banget. Baru bayangin aja udah bikin Kimi ingin lompat-lompat waktu itu. Akhirnya Kimi punya papa lagi, akhirnya mama punya temen lagi. Tapi rasa seneng Kimi jadi sama besarnya dengan rasa takut. Kimi takut banget. Nggak siap buat sedih dan kecewa."
Kimi mengusap pipinya perlahan.
"Kimi tahu rasanya ditinggal pergi ayah meski dulu Kimi masih kecil. Rasanya nggak punya ayah itu...." Ucapan Kimi menggantung, dia tak bisa menggambarkan dengan kata-kata rasanya tak memiliki seorang ayah dan ditinggalkan begitu saja. Air mata meluncur dengan mulus di pipinya.
Gandra memeluk Kimi, sesatu yang belum pernah dia lakukan karena selama ini Kimi terlihat menjaga jarak dengannya. Dia berpikir Kimi tak menyukainya tapi ternyata mereka hanya sama-sama tak bisa mengungkapkan isi hati.
"Terima kasih sudah bahagia memiliki Papa. Papa lebih bahagia lagi punya anak seperti kamu." Gandra mengusap air mata Kimi.
"Maaf ya Papa nggak ngertiin kamu selama bertahun-tahun? Mulai sekarang jadilah Kimi yang bahagia memiliki Papa tanpa rasa takut. Janji?"
Kimi mengangguk. Belajar percaya dan akan melakukan segala hal demi tak ditinggalkan siapapun.
"Sekarang mandi, kita makan bersama. Oh ya, kalau kamu mau main bilang Papa. Nanti Papa tambahin uang sakumu. Tapi jangan bilang Elang. Ini hanya rahasia Papa dengan putrinya."
"Ehem, Mama di sini lho, Pa."
Gandra dan Kimi saling melirik lalu tersenyum lebar. Ada kelegaan luar biasa di hati Kimi. Harapannya akan memiliki keluarga utuh untuk selamanya semakin besar. Apalagi ketika papa dan mamanya memeluk erat. Sesuatu yang dulu hanya sebuah impian kini jadi kenyataan. Ketika satu isi hati terucap, ada banyak sebab untuk hati bahagia tanpa rasa takut lagi.
***
Kimi gusar di atas motor Ducati Scrambler Sixty2 yang berbadan ramping milik Abizar. Hatinya tak tenang karena sejak pagi belum bertemu Varo. Apalagi setelah makan malam semalam Varo mengatakan akan segera pindah dan pagi ini dia tak menemukan Varo di meja makan untuk sarapan. Ingin bertanya tapi dia tak mau membuat keluarganya curiga.
"Hei, lo nggak mau turun?"
"Hah?"
"Lo mau sampai kapan di atas motor? Udah sampe nih."
Kagetlah Kimi melihat sekeliling di mana motor berjejer rapi. Dia sudah sampai di sekolah yang terkenal elit yang isinya anak pejabat. Padahal masih banyak anak dari kalangan biasa yang sekolah di sekolahnya karena berpreatasi.
"Lo kenapa sih dari tadi ngelamun? Gue ajak ngomong nggak nyambung mulu."
"Nggak pa-pa. Cuma inget tugas aja."
"Oh ya, ngomong-ngomong soal tugas, gue lihat tugas lo dong. Kan sama tuh."
"Nggak mau. Lupa lo kita lagi saingan?"
"Ah, kenapa kemarin gue harus saingan sama lo sih?" gerutu Abizar, menyesal.
Kimi hanya melirik sekilas tak menanggapi. Saat matanya melihat sosok Varo masuk ke dalam kelas, dia langsung lari menyusul Varo. Dia ingin menanyakan banyak hal.
"Varo...." panggil Kimi berulang kali tapi Varo bergeming. Kimi pun menarik Varo hingga cowok jangkung itu urung duduk.
"Jangan pura-pura nggak denger deh." Kimi menarik earphone yang tak menancap pada ponsel. Kimi sangat tahu hal itu. Kebiasaan Varo untuk menghindari percakapan dengan orang-orang sekitar.
"Apa?"
"Gue mau tanya dan gue punya cerita."
"Gue nggak mau denger cerita."
"Lo harus denger."
Tangan kanan Varo terangkat mengisyaratkan Kimi untuk diam sembari mendaratkan bokongnya ke kursi.
"Gue nggak mau putus!" Kimi kaget sendiri dengan ucapannya. Apalagi dia bicara cukup keras hingga teman-teman di dekatnya melongo tak percaya termasuk Varo yang langsung menoleh padanya.
"Maksud gue ...." Kimi tak mampu melanjutkan perkataannya melihat ke sekeliling, banyak mata mengarah padanya. Sungguh rasanya kehabisan muka terlihat seperti cewek lemah yang memohon untuk balikan.
"Lo ngprank pagi-pagi? Nggak lucu," ucap Varo, santai tapi sangat menyelamatkan Kimi dari tatapan teman-temannya.
Varo menarik tangan Kimi agar segera duduk tanpa beranjak dari posisinya. Kelas yang semula mendadak sepi kembali riuh.
"Gue nggak ngprank," bisik Kimi setelah beberapa saat jantungnya telah kembali berdetak normal tapi Varo hanya menatapnya datar.
Elvaro Jaasir
Gue gak ngprank!!!!
Gue gak mau putus!!!!
Ketik Kimi ketika tak ada reaksi pada Varo.
Elvaro Jaasir
Iya
Membaca pesan balasan, mata Kimi melebar tak percaya. Hanya 3 huruf tanpa ada emoticon atau kalimat lain setelah dia menulis penuh emosi.
Elvaro Jaasir
Gitu doang?
Mau lo apa?
Gak mau apa2
Lo gak ngomong mana gue tahu
Serah
Marah lo?
Sama pacar gak boleh marah
Seketika Kimi menoleh ke belakang, memicingkan mata, memberika aura siap meledak sekali disentil. Sementara bibir Varo terangkat sebelah.
Rasanya mendadak menyesal mengatakan bahwa dia tak mau putus. Tapi Kimi memilih membalas senyum Varo tak mau kalah. Dia tak akan diam ditinggal begitu saja tanpa sebab. Apalagi Varo masih ada di dekatnya. Dia tak mau diabaikan atau pun ditinggalkan siapapun lagi.
"Lo bakal jadi pacar gue seumur hidup!" ucap Kimi, pelan tapi penuh penekanan.
"Dengan senang hati."
"Lo nggak bisa ke mana-mana."
"Ya."
"Lo harus di deket gue terus."
"Siap."
"Nggak usah pasang muka gitu. Lo pikir lucu?"
"Gila! Pagi-pagi gue denger beginian berasa lagi baca novel. Ini lucu banget tahu, Kimi. Dan juga sweet, kalian menggemaskan," celetuk Hime yang entah sejak kapan duduk di samping Kimi.
***
Maaf ya aku lama update
Moga kalian masih menanti Elvaro dan Kimi
Love, ainunufus
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro