1
Langit yang cerah, udara pagi yang segar meskipun tak sesegar udara di pegunungan tapi Kimi menikmatinya seolah dia berada di Puncak Eurad Pingping yang ada di Lembang. Kimi Humeera, cewek berambut panjang dengan pakaian olahraga menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan di halaman rumah. Dia melakukan gerakan pemanasan sebelum mulai untuk lari pagi.
Ini hari terakhir libur panjang kenaikan kelas. Dia akan lari memutari komplek perumahan. Membiasakan diri untuk bangun lebih pagi dan beraktifitas lebih banyak agar besok saat sekolah dimulai dia tak merasa kaget dengan rutinitas yang padat.
Kimi membuka pagar rumah, matanya melebar saat melihat seseorang berdiri di depan pintu. Dia melirik ke kanan dan ke kiri tapi hanya melihat sosok cowok tinggi berambut hitam, hidung mancung, dan mata sedikit sipit di hadapannya.
"Cari Bang Elang?" tanya Kimi langsung tanpa basa-basi. "Abang di dalam, masuk aja," ucap Kimi lagi, lalu melangkah keluar rumah.
"Lo Kimi?"
Kimi urung pergi, dia menghentikan langkah, dan menoleh ke belakang. Melihat cowok itu lagi dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Mirip seseorang tapi dia tetap merasa asing dengan cowok berkaos hitam di depannya. Dia yakin cowok berkulit putih itu bukan teman sekolahnya apalagi teman sekelas. Dia justru mengira cowok itu teman kakaknya yang kuliah semester 3.
"Lo siapa?" tanya Kimi.
"Varo. Elvaro," jawab Varo.
"Lo kenal gue?" Kali ini Kimi berdiri di hadapan Varo dengan tatapan tak terintimidasi meski tatapan Varo seolah ingin menelannya.
"Enggak," jawab Varo tanpa ekspresi.
"Lo tadi nyebut nama gue."
"Memang."
Kening Kimi mengerut seketika. Bingung dengan jawaban Varo. Tak mengenal tapi memanggil namanya.
"Terus lo ngapain manggil gue? Kenal aja enggak."
"Biar lo tahu gue bukan nyari abang lo tapi lo."
"Hah? Nyari gue? Maksud lo apa? Buruan jangan banyak basa-basi keburu panas, gue gagal joging."
"Kimi..."
Seruan suara pria dari dalam memanggil, Kimi buru-buru mendorong Varo menjauh dari pintu gerbang lalu menutup pintunya. Kimi Dia tak mau Gandra -papanya melihatnya bersama seorang cowok. Bisa kena marah dan citranya sebagai anak teladan hilang. Dia tak mau hal itu terjadi. Jangan sampai papanya salah paham mengira Varo adalah teman cowoknya bahkan mungkin mengira pacarnya.
"Ada apa, Pa?" Kimi berlari kecil, mendekat.
"Kamu bicara dengan siapa?"
"Nggak sama siapa-siapa kok, Pa. Aku lagi pemanasan aja sebelum joging. Papa mau joging juga, kok di luar?"
"Papa nunggu tamu."
"Tamu siapa, Pa pagi-pagi begini."
"Pagi, Om," sapa Varo yang tiba-tiba masuk.
Jantung Kimi seolah berhenti beberapa saat. Detik itu juga dia merasa tugu yang dia bangun setinggi Monas akan segera hancur. Kimi memejamkan matanya sembari mengumpat dalam hati.
"Pagi, Varo. Kamu sudah sampai? Kenapa nggak ngabarin Om dari semalam?"
Mata Kimi melirik Varo dan Gandra bergantian. Ternyata papanya kenal dengan cowok asing yang tahu namanya.
"Maaf, Om. Saya sampai sudah malam banget jadi baru ngabarin sekarang."
"Kamu tidur di mana semalam? Hotel? Barang-barangmu mana?" tanya Gandra.
"Di mobil, Om."
"Kamu tidur di mobil semalaman?"
"Ya udah, ayo masuk dulu," sambung Gandra yang mendapat jawaban anggukan dari Varo. Gandra merangkul Varo untuk masuk ke dalam rumah.
Sementara Kimi melongo di tempat. Selain bingung dia juga heran dengan tampang Varo yang katanya baru saja tidur di mobil. Dia merasa Varo terlalu keren untuk ukuran cowok yang baru bangun tidur di mobil. Dia saja tampangnya seperti singa betina jika baru bangun tidur. Rambut acak-acakan dan muka berminyak.
"Kimi, jangan cuma berdiri di situ. Ayo ikut masuk," ucap Gandra.
"Iya, Pa," balas Kimi yang tak pernah melawan orang tuanya. Mengikuti di belakang dengan rasa penasaran tinggi tentang Varo.
Mama dan kakaknya menyapa Varo saat Varo masuk ke dalam rumah. Seolah mereka sudah kelan sangat lama. Hanya Kimi yang tak mengenal cowok jangkung di samping papanya. Lagi-lagi dia merasa terasingkan di rumah sendiri. Kimi mendesah, memutar badan ingin ke kamarnya.
"Kamu mau ke mana, Kimi?" tanya Gandra.
"Kamar, Pa."
"Duduk saja di sini. Ada Varo kamu harus nemenin dia."
"Harus?" ulang Kimi.
"Iya, sini duduk." Hana -mamanya, menepuk sofa di sebelahnya.
"Dia Varo, dia anak bosnya papa di kantor."
Kimi mengangguk.
"Varo akan tinggal di sebelah rumah kita, tapi sementara tinggal di rumah kita sampai orang tuanya datang."
Kimi mengangguk lagi meski masih belum menemukan alasan dia harus nemenin cowok itu. Karena ada kakaknya, Elang yang berjenis kelamin sama, sama-sama cowok. Lalu kenapa harus dia yang menemani? Pikir Kimi.
"Varo akan sekolah di sekolahmu, dan sekelas sama kamu. Jadi kamu harus nemenin Varo sampai dia paham daerah sini. Mengerti?"
Ingin menolak tapi tak mungkin, Kimi pun mengangguk meski masih banyak pertanyaan di kepalanya. Kenapa harus dia bukan kakaknya? Sekai lagi pertanyaan itu muncul di kepalanya tapi tak mampu dikeluarkan lewat bibir tipisnya.
"Kamu harus ngajak dia keliling komplek, dan kasih tahu tempat-tempat yang mungkin ingin Varo kunjungi."
"Iya, Pa," jawab Kimi yang sebenarnya tak begitu paham Jakarta meski lahir di Jakarta. Kota metropolitan terlalu luas untuk dia yang anak rumahan.
Kimi melirik kakaknya. "Kenapa bukan Bang Elang, Pa? Dia lebih tahu jalanan Jakarta dibanding aku." Pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibir mungilnya.
"Biar kamu tahu Jakarta," jawab Elang. "Kamu cuma di dalam kamar terus. Nanti kamu jadi tua tiba-tiba, Papa jantungan."
"Aku di kamar belajar, Bang. Biar bisa bantu papa nantinya."
"Bantu papa itu kewajibanku. Kamu itu cewek."
"Sekarang zaman emansipasi wanita. Cewek bisa jadi pemimpin," balas Kimi.
"Sudah, sudah. Kalian siap-siap buat sarapan," ucap Gandra. "Barang-barangmu bawa masuk, kita sarapan, lalu kamu istirahat. Pasti capek perjalanan dari Bandung naik mobil sendirian," sambung Gandra pada Varo.
"Gue bantuin," ucap Elang.
"Gue bantuin juga. Cewek juga bisa angkat-angkat."
"Kamu bantuin mama sana nyiapin sarapan. Kodrat cewek itu masak bukan angkut-angkut," ucap Elang seraya mengajak rambut Kimi dan langsung ditepisnya. Kimi tak suka diusap kepalanya. Hal itu seolah dia anak kecil yang lemah. Kimi jelas tak menyukainya. Dia selalu beranggapan bahwa dia itu bukan mahkluk lemah.
"Cewek bukan tukang masak, Bang. Sekarang cewek bisa ngelakuin apa saja asal dia mampu. Termasuk angkut-angkut."
"Jadi lo lebih suka jadi tukang angkut-angkut dibanding jadi tukang masak?" celetuk Varo.
Seketika Kimi bungkam. Sementara Elang menahan tawa di sebelah Varo. Lirikan Kimi tajam setajam silet ke arah Elang dan Varo bergantian. Cowok memang musuh cewek, apalagi kalau sudah bersekutu. Cowok jadi mahkluk paling menyebalkan menurut Kimi.
Kimi melenggang pergi, menghentakkan kakinya menaikki tangga menuju kamarnya. Kamar bercat putih dengan dekorasi serba Spongebob. Karakter yang sangat Kimi sukai. Selain menggemaskan, Spongebob mengajarkan dia untuk jangan lelah berusaha agar menjadi orang yang sukses. Dengan ketekunan, Kimi yakin dia bisa menggapain impiannya menjadi cewek sukses dan tak akan dianggap sebelah mata lagi hanya karena dia cewek.
Kimi menghempaskan tubuhnya di atas kasur, tangan kanannya menarik boneka Spongebob di atas kepala lalu memeluknya. Meski mendengar suara berisik di sebelah kamar, Kimi tak pindah dari posisinya. Dia baru berpindah saat alarm ponselnya berbunyi dan menampilkan sebuah kalimat.
Waktu membaca
Kimi mematikan alarm lalu bangkit mengambil sebuah majalah. Alamarnya menunjukkan waktu untuknya membaca. Meski hanya membaca artikel berita di koran atau apapun, dia harus baca sesuai komitmennya. Karena itu dia mengambil sebuah majalah bisnis edisi minggu lalu milik papanya. Dia selalu menyempatkan beberapa waktu untuk membaca meski di hari Minggu. Dia tak mau ketinggalan wawasan lalu orang-orang akan memaklumi karena dia seorang cewek. Dia tak suka dimaklumi dalam hal ketertinggalan karena sebuah gender. Justru terlihat seperti merendahkan bagi Kimi.
"Kimi, bantuin mama tuh," seru Elang seraya mengetuk pintu kamar Kimi.
Kimi hanya memutar bola matanya. Bukan dia tak mau tapi dia kesal pada kakaknya yang selalu saja menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Padahal dia bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kakaknya, bukan sekadar melakukan pekerjaan rumah yang khas dengan pekerjaan cewek.
***
Sarapan yang sangat tidak menyenangkan. Semua berpusat pada penghuni baru, Varo dan penghuni lama yang tak kehilangan pusat perhatian, Elang. Kimi mengerucutkan bibirnya kesal, menahan diri untuk tak berdecak. Elang selalu punya hal untuk dibanggakan. Walaupun itu hanya hal kecil.
"Habiskan makananmu, Kimi," ucap Gandra yang melihatnya berhenti menyendok makanan.
"Iya, Pa. Pasti. Habis masakan mama enak banget," ucap Kimi dengan senyum teramat lebar.
"Tiru makanya, jangan cuma bisa makan doang," ucap Elang.
"Ish, apaan sih Abang. Kimi itu mau jadi wanita karir yang sukses bukan juru masak."
"Ujung-ujungnya cewek kalau udah nikah ya di rumah, masak, ngurus anak," ucap Elang.
"Itu mah istri Abang aja nanti. Kimi mah beda."
"Jangan gitu, Sayang. Kalau udah nikah kamu ya wajib ngurus anak sama suami," ucap Hana.
"Iya, Ma. Tapi aku tetep mau jadi wanita karir dulu, belum mau nikah. Kimi nggak ada niatan nikah muda. Mau sukses dulu baru nikah. Cewek juga bisa sukses dikarir bukan cuma pakai daster ngurusin dapur, di rumah."
"Iya, iya, Sayang. Mama tahu."
"Mau nunjukin ke siapa? Memang lo Ibu Kartini?" celetuk Varo, diiringi tawa Elang yang tak bisa menahan diri.
Dua kali celetukan Varo menyentil egonya. Kimi menahan diri untuk tak mengumpat keras. Dia hanya tersenyum tipis dan kembali menyantap sarapannya yang terasa hambar.
***
Imaacih...
Love, ai
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro