1. Perjalanan ke Magelang
"Hei, Anton," gerutu Natalie. "Apa kau tidak pernah dengar teknologi yang bernama pesawat terbang? Atau, setidak-tidaknya, kereta dengan kursi empuk? Kau ini baru muncul dari abad kesembilan atau apa?"
Anton menghela napas. Anton dan aku berbagi tugas dalam mengurusi liburan lima hari empat malam kami: aku mengurusi destinasi wisata dan akomodasi, sementara Anton membereskan transportasi. Bodohnya, Anton lupa membeli tiket pesawat dan sekarang kami terpaksa naik kereta malam dengan kursi keras; sangat, sangat tidak mungkin bagi kami untuk tidur.
"Maaf, Natalie." Anton menggaruk kepalanya (yang jelas tidak gatal).
"Dasar pikun," hina Natalie sambil menyilangkan tangannya.
"Hus, diamlah," desisku pelan. Wina, entah bagaimana, berhasil tidur. Ia menyandarkan kepalanya pada bahuku.
"Iya, deh, maniak cinta," ejek Natalie. "Memang kalau sudah jatuh cinta, logika pun tiada artinya."
"Dik, tunggu saja sampai kau punya pacar," balasku. "Nanti kau juga paham."
"Mau coba sekarang?" tawar Anton. Natalie mendengus mendengar rayuan Anton yang, harus kuakui, semakin lama semakin memuakkan.
"Tidak, terima kasih," kata Natalie sambil memalingkan mukanya yang sedikit merah.
Perjalanan yang cukup edan itu berlanjut selama delapan jam. Kami turun dengan badan lemas, tetapi hati bersemangat.
"Hore, liburan!" ujar Natalie setengah berteriak, mengejutkan kucing yang lewat. Ia segera mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambil sebatang. Asap yang mengepul mengotori kebersihan udara Magelang.
"Ayo, check in ke hotel dulu," kataku sambil membuka-buka dokumen rencana liburan. "Anton, kamu sudah sewa mobil belum?"
"Sudah," balas Anton santai, "tinggal ambil."
Terima kasih, Tuhan. Setidaknya Anton tidak lupa tentang itu. Akan konyol kalau kami terpaksa naik kuda atau jalan kaki.
Kami sedang berjalan dengan menyeret koper-koper beroda kami ke hotel ketika kabut tebal muncul, entah dari mana. "Aneh," gumam Wina sambil menunjuk ke arah kepulan kabut itu.
"Kita masuk suatu gedung dulu," kataku. "Tampaknya kabut itu sedang menuju ke arah sini."
"Ah, santai," ujar Natalie, "paling kabut fogging."
"Justru kalau begitu, kita harus masuk ke dalam," ujarku agak ngeyel. "Kabut fogging itu bahaya."
Firasatku tidak enak.
Kami memasuki minimarket terdekat. Kabut yang mengepul segera memenuhi udara di luar minimarket. "Nampak ada yang tak beres," ujarku. Anton mengangguk, mengiyakan. Wina segera menggengam tanganku erat.
"Apa sih yang tidak beres?" tanya Natalie sebal, "kalian ini tidak pernah lihat fogging atau apa? Hidupnya di hutan, ya?"
"Natalie, kita tinggal di rumah yang sama."
"Asap fogging tidak menjalar ke mana-mana," bisik Anton agak lemah, "ini justru lebih mirip asap kebakaran." Aku mengangguk. Pintu minimarket yang kuat menahan sebaran asap (atau kabut, atau apalah itu).
"Kita tunggu saja kalau begitu," kataku agak pasrah. Mau bagaimana lagi?
Kudengar langkah kaki seorang kasir berjalan mendekati kami. "Ah, maaf Kak. Kami izin berteduh di sini."
Janggalnya, wanita kasir bergigi agak tajam itu tidak menjawab. Ia terus berjalan pelan. Di tangannya terdapat secungkil linggis. "Er, Kak?"
Dalam diam, wanita itu melompat. Aku secara refleks menaikkan lengan. "Hei!" teriak Natalie seraya menendang wanita itu di perut, "kau sudah gila, ya! Terry, kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa," ujarku dalam syok. Wina diam-diam berjalan ke belakangku. Anton mengepalkan kedua tangannya.
"Edan! Aku merasa seperti menendang silikon!" ujar Natalie seraya memegangi kakinya. Wanita yang sempat ambruk itu bangkit dengan sangat cepat. Ia membuang linggisnya dan menarik sebilah pedang dari sarungnya.
Bahaya!
Aku maju terlebih dahulu, meluncurkan pukulan ke dagunya. Natalie mencengkram lengannya, memaksanya untuk melepaskan pedang panjangnya.
Gila! Keras sekali tubuhnya! Apa dia manusia?
Anton menghantam wajahnya dengan linggis yang ia pungut dari lantai. Wanita itu rubuh ke tanah, tidak bergerak lagi. Lebih janggalnya lagi, setelah kuperhatikan, terdapat sejenis kristal ungu di dahinya. Kristal ungu itu sudah hancur dihantam Anton.
Aku sebagai ketua klub olahraga cabang anggar mengambil pedang panjang beserta sarungnya.
Ini bukan pedang sembarangan. Buatannya halus sekali. Kalau kami kena sabetan pedang ini, bisa langsung habis nyawa kami. Tidak mungkin minimarket antah-berantah seperti ini menyimpan senjata seberbahaya ini.
Apa, sih, yang terjadi di sini?
"Apa-apaan tadi?" tanya Natalie. Kami menatap kasir yang terbaring di tanah itu. Lebih anehnya lagi, ia nampak tidak mengeluarkan darah.
"Jadi, makhluk apa dia?" gumam Anton.
"Manusia, tentu saja," jawab Wina agak gemetar.
Aku mengelus-elus pipi wanita itu. Dingin dan keras; kalau bukan karena wajahnya yang jelas manusia dan kulitnya yang berambut, aku pasti mengira ia adalah sebuah manekin.
Apa mungkin ia sejenis robot?
Kenapa juga ia menyerang kami? Apa ada hubungannya dengan kabut di luar? Di mana orang-orang lain?
"Jadi ingat Silent Hill," bisik Wina, si maniak gim horor (yang penakut di dunia nyata).
"Wina, kita ada di Magelang, bukan Pennsylvania," kata Natalie mencibir. "Orang ini paling hanya ... err ...." Natalie menggaruk kepala, kehilangan kata-kata.
"Ini serius," desisku tajam. "Wanita ini bukan manusia. Tidak ada manusia yang badannya sekeras ini."
Semuanya terdiam. Anton mengucurkan keringat sementara Wina menjebloskan kuku-kukunya ke dalam daging lenganku. Bahkan Natalie yang tukang tawuran saat SMA pun menatapku serius.
"Jadi, dia itu apa?" tanya Natalie.
"Robot, mungkin?" kataku. "Jujur, aku tidak tahu."
"Kristal ungu ini aneh juga," ujar Wina. "Aku tidak pernah lihat yang seperti ini."
Hmm ... tadi tampaknya ia tumbang setelah kristal ini dirusak. Adakah hubungannya dengan badannya yang keras?
"Jadi bagaimana, Terry?" tanya Anton. "Kita harus berbuat apa?"
"Coba telepon pemadam kebakaran atau polisi," ujarku memberi instruksi.
"Oke."
Aku, ditemani Wina, mengawasi kabut yang terus berusaha menyusup masuk ke dalam. Natalie dan Anton memencet-mencet tombol di telepon genggam. "Tidak bisa," gumam Natalie, "tidak ada sinyal."
Tidak ada sinyal? Ini Magelang, bukan hutan rimba antah berantah!
"Terry! Di belakangmu!" jerit Anton. Aku memutar badan dan kulihat dua orang pria dengan kristal ungu di dahi mereka. Dengan kapak, mereka memecahkan kaca pintu. Aku segera menghujamkan pedangku ke arah dahi salah satunya. Ia tumbang seketika.
Kemudian kabut tebal menduduki ruangan. Aku tidak bisa melihat apa-apa. "Wina, mundurlah ke belakangku," ujarku. "Natalie! Anton! Jangan panik!"
Tidak ada jawaban. Sial, malah aku yang jadi panik.
"Kalian di mana?" pekik Wina.
Tidak ada jawaban.
"Wina, mundurlah. Terus panggil Natalie dan Anton," kataku memberi perintah. Aku mengenggam pedang panjangku dengan erat.
Dua menit kemudian, kabut itu lenyap dengan sendirinya. Wina dan aku menghembuskan napas lega.
Namun, bersama kabut, Natalie dan Anton juga hilang.
Sialan! Ke mana mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro