Kos Sultan 4.3
Senyap.
Semua anggota Vorpal Swords tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Guys ... ngomong dong ... jangan tegang gini....” Riko membuka suara.
“Tahu nih Ryouta bercandanya kebangetan. Halu banget jadi pilot,” cibir Taiga menepuk punggung Ryouta.
“Gue serius, Taiga-cchi....”
“Emang beneran, gue orang pertama yang tahu. Rabu kemaren, abis latihan Ryouta dapat e-mail dari Amerika.”
Ryouta mengangguk membenarkan pernyataan Daiki.
“Ya jangan galau-galau gini dong. Kita 'kan punya hape masing-masing bisa kontak lagi lah.” Junpei tersenyum, mendorong kacamata ke belakang.
Udara malam yang berembus, dinginnya menyayat kulit. Sebenarnya suhu udara tidaklah sedingin ini, hati yang mendadak pilu adalah penyebabnya.
Dua orang sahabat. Rekan setim yang sama-sama berjuang.
Baru kali ini Taiga merasa kehilangan. Seakan ada lubang kosong menganga di hatinya. Lebar dan dalam. Gelap.
“Biasanya kalau berpisah, susah buat jaga hubungan biar nggak putus. Ada hape rasanya nggak guna. Pisah ya artinya hubungan bakal putus juga.” Satsuki bersuara. Nadanya bergetar dan lirih, kepalanya menunduk.
Ryouta berdiri dan duduk di sebelah mengusap rambutnya. Seijuurou berpindah duduk ke sebelah gadis itu, mengusap punggungnya yang bergetar.
“Nanti kita bakal sibuk sama urusan masing-masing. Mustahil bakal say hi. Terus ketemu orang baru, teman lama dilupain.”
Netra merah muda Satsuki berkilat, cahaya lampu lapangan terpantul jelas di genangan air matanya. “Satsuki. Ini emang berat. Tapi....”
Seijuurou mengangkat tangan dari punggung Satsuki. Ia menatap satu persatu teman-temannya yang memandangi Satsuki. Tak ada kata terucap atau isakan yang keluar. Dasar laki-laki, mereka terlalu gengsi mengutarakan isi hati.
“Kita nggak bisa bareng-bareng mulu kayak sekarang. Apalagi kita udah dewasa, bukan bocah SD. Kehidupan dan masa depan jadi prioritas, bukan persahabatan.”
“Kalau gitu abis Mas Ryouta dan Mas Sei pergi, kita nggak sahabatan lagi?” Satsuki meninggikan suara, memotong ucapan Seijuurou.
Seijuurou menggeleng. “Bukan gitu, Satsuki. Kita memprioritaskan pekerjaan. Di umur segede ini, kita harus nentuin prioritas.
“Prioritas Mas sama Ryouta sekarang kerja, bukan persahabatan. Kalau milih persahabatan, kita stay di sini dan nggak kerja. Nggak dapat uang. Gimana masa depan kita nanti kalau nggak kerja?
“Kita masih sahabatan, tapi ngumpul-ngumpul gini bukan lagi prioritas....”
“Sampai nanti pas udah nikah, berkeluarga. Circle persahabatan benar-benar kecil. Kita mentingin keluarga. Cepat atau lambat kita bakalan kehilangan sahabat yang dulu selalu bersama. Semakin nambah umur, prioritas harus berubah,” sambung Tetsuya.
Bergiliran Atsushi sampai Kousuke mengangguk. Menyetujui apa yang dikatakan Seijuurou dan Tetsuya. Satsuki semakin terisak, ia masih gadis remaja yang beremosi labil.
Di usianya sekarang, persahabatan adalah nomor satu. Ia belum menerima kehidupan dewasa. Persis sesuai perkataan Seijuurou dan Tetsuya.
Riko memeluk Satsuki. Ryouta mengangkat tangan dari surai merah muda gadis itu. Membiarkan Satsuki meluapkan kesedihan dan kehilangannya.
“Kita semua juga sedih, Satsuki. Walaupun gue baru kenal kalian, rasanya ... kita punya ikatan batin yang kuat. Sebagai sahabat ya, bukan pasangan hidup. Jijay gue punya pasangan kayak kalian,” ujar Taiga. Kalimat terakhirnya sedikit memancing kekesalan teman-temannya.
“Serius, bego.” Daiki mengumpat. Pemuda berwajah sangar itu berhati lembut, ia baru saja terharu dan mau menangis eh mood mellow-nya dirusak Taiga.
“Selagi masih belum berkeluarga, mas sempetin kok buat nelpon kalian ssu.” Ryouta menghibur.
“Cuma nggak sering. Kita fokus kerja.” Seijuurou menegaskan.
Kousuke diam-diam tertohok. Seijuurou dan Ryouta yang lebih muda darinya, punya pekerjaan yang mapan. Bukan bermain-main seperti mahasiswa seumuran mereka, kedua pemuda itu memilih fokus bekerja.
Terpaksa melepas kehidupan bersenang-senang bersama sahabat. Meninggalkan sahabat dan rekan yang dianggap keluarga. Cepat dewasa dari remaja-remaja akhir lain.
“Gue tertohok. Kalian berdua fokus kerja, lah gue kuliah main-main. Pantesan sampai sekarang nggak wisuda.” Kousuke tertawa miris.
Junpei di sebelahnya menepuk keras punggung Kousuke. “Ya iyalah, bego. Makanya fokus belajar!” hardik Junpei.
Kousuke menertawakan miris dirinya. Hyuuga Junpei, pemuda itu putus kuliah. Keluarganya kurang mampu. Kousuke ingat sekali Teppei pernah bercerita dulu rumah Junpei sangat sederhana.
Dibangun dari kayu, diatapi daun rumbia, dan berlantaikan semen. Ukuran rumahnya sebesar dua kamar Kos Sultan. Junpei yang sangat menyukai hukum, terpaksa kuliah ekonomi.
Ia mendapat bidikmisi di fakultas ekonomi, bukan hukum. Sayang, di tengah mengecap bangku perkuliahan rumah Junpei dan satu keluarganya terbakar. Ia satu-satunya yang selamat di keluarganya .
Rumah sebelah Junpei terbakar, apinya menjalar sampai dua rumah di kiri-kanannya. Salah satu kasus kebakaran hebat di Kota Julikarta.
Teppei membawanya ke Kos Sultan. Junpei mengundurkan diri dari dunia perkuliahan dan kerja serabutan. Hidupnya benar-benar menyedihkan jikalau Kousuke ingat.
Untung penghuni Kos Sultan berbaik hati seperti memberinya barang. Awal-awal tinggal di Kos Sultan, Teppei yang membayar sewa kamarnya. Yep, karena mereka berada di kamar yang sama.
Junpei bekerja serabutan sana-sini. Mengumpulkan uang. Menabung. Berharap menjadi pengusaha. Cita-citanya belum luntur, asanya terlalu tinggi. Junpei ambisius.
Untung Teppei si Hati Baja tak pernah meminta imbalan atas sewa kamarnya.
Sampai Junpei menjadi penjual roti keliling. Ia didukung dan dibantu para penghuni Kos Sultan, pun penghuni rumah-rumah lain Kompleks Beringin.
Tambah ambisiuslah Junpei.
“Seandainya gue seambisius dan setegar lo, Pei,” ujar Kousuke. Geleng-geleng keheranan. Manusia tegar itu ajaib dan spesial. Mereka kuat.
Hidup Kousuke terlalu ringan. Ia dikuliahkan orangtuanya. Keluarganya lengkap. Rumahnya normal. Hidupnya datar. Mungkinkah karena itu Kousuke tak mendapat motivasi?
“Susun prioritas. Jadi dewasa artinya lo harus pilah yang mana benar-benar prioritas dan tujuan demi masa depan lo,” ujar Junpei.
“Setuju!” Seijuurou menjentikkan jari. Tak sengaja menguping percakapan dua pemuda itu.
“Kalian bijak amat sih ngomongnya.” Kazunari berceletuk.
“Kita bukan elu ye yang alergi serius,” cibir Shintarou.
Kazunari memegangi dadanya dan pura-pura pingsan. Kalimat Shintarou menusuk hati.
“Ini kenyataan nanodayo. Kita harus nerima, Satsuki. Semakin dewasa kita, kita bakal ninggalin dan ditinggal orang. Nggak ada yang abadi di dunia ini, termasuk persahabatan.”
Satsuki terceramahi oleh perkataan bijak sahabat-sahabatnya. “Sei-chin, Tet-chin, Taiga-chin, sama Shin-chin bener kok. Kita juga sedih, tapi umur nambah terus. Nggak mungkin kita main-main terus, kita harus fokus kerja. Fokus kuliah,” bujuk Atsushi.
Mengejutkan. Pemuda pemalas dan santai seperti Atsushi mengucapkan kalimat-kalimat bijak. Atsushi sadar, ia harus berpikir dewasa dan bijak.
Ia akan berusaha menghapus sifat borosnya. Sifat buruk akan sulit diubah semakin bertambahnya umur. Atsushi tak mau menyesal di masa depannya.
“Niatnya tadi aku ngasih kamu perhatian, eh sekarang aku malah intropeksi. Aku masih banyak main-mainnya. Kayak beli gundam yang sama sekali nggak perlu.” Tetsuya mengucapkan pikiran yang baru muncul di kepalanya.
“Gue apalagi mah. Sibuk nongkrong sana-sini. Prioritas utama gue bukan sesuatu yang penting.”
Tangis Satsuki tak kunjung mereda. Dadanya naik turun, roknya dibasahi air mata yang meluncur deras. Sakit.
Persahabatan tak ada yang abadi. Ikatan kuat di antara mereka perlahan akan hilang. Saling melupakan satu sama lain. Sibuk mengurus kehidupan masing-masing.
Hari ini takkan terulang lagi di masa depan. Satsuki takut kehilangan. Ia terlalu memeluk erat momen-momen bersama para sahabatnya.
Ia pengin ikatan mereka diabadikan. Tapi dalam bentuk apa? Video? Foto? Tidak. Setiap bertemu, mereka asyik mengobrol dan bercanda satu sama lain sampai lupa mengabadikan momen dalam ponsel masing-masing.
Suatu hari nanti di masa depan, Satsuki ingin mengenang kembali masa-masa remajanya. Bukan dalam bentuk ingatan di kepalanya saja. Namun, sesuatu yang lebih nyata.
“Satsuki nggak pengen ngelupain momen-momen kita bareng gini. Gimana cara mengabadikannya? Kita jarang foto-foto sama bikin video bareng.” Satsuki bertanya.
Riko mengulurkan air minum, diterima Satsuki. Gadis itu perlahan tenang. Air matanya surut. Ah, bekas ia baru menangis tersisa. Matanya merah dan wajahnya dicorengi bekas air mata yang kering.
Satsuki harus menerima. Meski tak suka, mereka akan terus tumbuh dewasa. Berubah dan berkembang. Pergi dan sibuk di dunia masing-masing.
Saat hari itu datang, biarkanlah Satsuki mengenang dan meresapi memori indah. Satsuki harus siap menghadapi kehidupan orang dewasa nantinya.
Ia bersyukur diceramahi dan dibuka pikirannya oleh teman-temannya. Kadang mereka menyebalkan, kadang bijak. Ah, Satsuki benar-benar belum rela melepas sahabat-sahabatnya.
“Dalam bentuk seni, kamu bisa. Menulis novel. Kenangan kamu bersama kita tetap abadi. Atau nggak melukis, menggambar, atau menciptakan lagu.” Senyuman Tetsuya menular ke wajah ayu Satsuki.
Kedua matanya melebar girang. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas.
“Makasih, Mas Tetsu!” Satsuki memeluk erat Tetsuya.
Menciptakan lagu. Satsuki akan mencobanya.
Seni adalah pekerjaan yang mengabadikan setiap momen penting manusia. Ia akan kekal selamanya, di zaman apapun. Dinikmati ratusan generasi.
“Gimana kalau besok aja kita hiasin lapangannya? Mumpung bareng-bareng gini. Nggak usah pas kerja bakti.”
“Boleh boleh!”
Saran Seijuurou mendapat respons positif.
“Besok paling lambat bangun jam delapan.”
Malam itu, sebuah mobil tahu bulat lewat. Penjual tahu bulat itu memutar lagu See You Again yang dinyanyikan Wiz Khalifa bersama Charlie Puth.
Kok bisa pas gini ya?
Bersambung...
Kos Sultan nggak lagi update setiap Sabtu. Tiap selesai satu chapter langsung publish.
Funfact: di depan rumahku ada mobil tahu bulat yang muter lagu See You Again, makanya aku tambahin ke sini xixi. Soalnya keinget Kos Sultan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro