Kos Sultan 4.2
“Helo, guys! Gue sama Satsuki nemu warung pe-”
Riko mematung. Ryouta, Daiki, Atsushi, Kazunari, dan Junpei melepas jersey atas masing-masing. Memperlihatkan tubuh bagian atas mereka. Atsushi, Kazunari, sama Junpei sih badannya biasa-biasa saja.
Beda dengan Ryouta dan Daiki yang berotot juga perut mereka kotak-kotak.
“PAKE BAJU LO PADA SONO!” Riko membanting pintu hingga tertutup. Kelima pemuda yang lagi mendinginkan tubuh itu menatapnya cengo, begitu pula Vorpal Swords yang lain.
“Huhu gue malu amat. Junpei walaupun badannya nggak berotot entah kenapa seksi gitu.” Kedua tangan Riko menutup wajah meronanya, Satsuki yang terbiasa melihat pemandangan shirtless mengusap punggung Riko, memintanya menguatkan diri.
Mas Junpei seksi dari mananya ya?
“Kak Riko kenapa ssu ka?” Kaus kuning berlengan buntung yang Ryouta bawa dari kos melapisi tubuh atletisnya.
“Gak tahu. Panas banget cuk.” Kazunari menimpali. Berbaring di lantai.
“Halah tanding bentar doang,” cibir Atsushi mengunyah roti yang dibuat Junpei.
“Udah lu makan aja. Anjir lah.” Junpei merebut kotak rotinya dari Atsushi. Takut rotinya ludes sendiri dimakan Atsushi sendirian.
“Pelit.”
Daiki mengipasi diri, tubuhnya banjir keringat. “Di mana nih makan-makannya?” tanya Daiki.
“Kok makan-makan nanodayo?” Shintarou membuka jersey. Kipas angin elektrik kecil dipegang tangan kanannya mendinginkan tubuh.
“Shin-chaaaan mau make!” Kazunari berdiri dan mendekati Shintarou.
“Nggak boleh.” Shintarou menghindar dan terjadilah aksi rebutan kipas.
“Nggak afdol menang tanding nggak makan-makan,” jawab Atsushi. Sekotak camilannya habis. Taiga dan Daiki turut merampas camilannya tadi.
“Terserah kalian makan di mana. Biar gue traktir.” Seijuurou berujar, ia memangku sebuah buku tebal dan jemarinya memain-mainkan pena.
Di mana pun Seijuurou sibuk mengurus perusahaannya.
“Udah, Sei. Lo rajin amat dah,” larang Daiki.
“Biarin. Gue rajin buat mikirin masa depan. Bukan kayak lo yang masa depannya suram kebanyakan baca majalah laknat,” tutur Seijuurou pedas.
Daiki mendelik. Teman-temannya tertawa.
“Mamam noh, Mai-chan!”
“Bacot lu, macan!”
“Macan? Mama cantik?” Kazunari menaikkan sebelah alis.
“Mama cantik anjay.” Junpei dan Kousuke ngakak.
“Taiga nggak cocok jadi mama cantik, mukanya nggak sedap dipandang gitu.” Tetsuya berkomentar.
“Taiga mah banci.” Daiki menambah ledekkan.
“Kamu temannya.”
“Idih.”
Cowok-cowok itu ngakak, saling menistakan satu sama lain tanpa ada yang tersinggung pun bermaksud menyinggung.
“Nah, makan di mana nih ssu? Pizza hut? KFC? Mc Donald? Pizza domino? Solaria? Restoran sushi? Richeese Factory?”
Ryouta menyebut tempat-tempat makan hits dan berkelas di Julikarta. Menghentikan bacotan-bacotan nirfaedah rekan-rekannya.
“Boleh juga. Gue jarang makan di tempat-tempat mahal.” Daiki menyahut setuju.
“Maji Burger.” Taiga menyebut restoran langganannya membeli burger.
“Burger King. Lebih enak dari Majiba,” tolak Daiki.
“Milkshake terenak ada di Majiba,” ujar Tetsuya.
“Makan roti gue aja udah,” serobot Junpei.
“Ga. Nggak kenyang.” Atsushi menggeleng.
“Warung Mpok Emi aja nanodayo. Enak, murah, higienis.”
Seijuurou menutup buku. “Fix di warung Mpok Emi. Nggak ada penolakan.” Bukunya ia simpan di dalam tas.
“Tapi Sei-”
“Nggak ada tapi-tapian. Gue mutlak.” Seijuurou menyandang tas selempang di bahu kanan. Sembari menelepon seseorang. Mungkin ayahanda atau orang penting lain.
Diikuti rekan-rekannya. Daiki merutuk. Gagal makan enak yang gratis deh. Ia menyalahkan saran Shintarou.
Sebelum pulang, Vorpal Swords dikerubungi wartawan-wartawan channel swasta, terutama di bidang olahraga. Yah, urusan yang panjang.
***
“Akhirnya bebas juga ssu.”
“Eh, Sei. Warung Mpok Emi banyak bapak-bapak, pindah aja kuy,” saran Daiki.
“Kita makan di lapangan. Pesen apa yang kalian mau.”
“Biar saya yang traktir,” ujar Kagetora.
“Nggak apa-apa, Pak. Biar saya.”
Kagetora terkekeh, manik kecokelatannya memindai satu persatu anggota Vorpal Swords. “Ya udah. Seijuurou traktir makan di sini, ntar kalau ada yang mau belanja lewat Go-Food biar saya yang bayar.”
“Saya mau nongkrong di warung, panggil kalau mau jajan sesuatu ya.” Jempol Kagetora menunjuk warung.
Seijuurou mengangguk setuju. Kagetora pergi ke warung, ikut bapak-bapak ronda malam minum kopi dan main domino. Tepat di warung Mpok Emi ada pos ronda malam, wajar petugas ronda pada nongkrong di warung sederhana itu.
Seperginya Kagetora, Daiki bersorak. Kedua tangan mengepal dan meninju udara di atas kepala. “Yeay, nggak perlu nahan jiwa toxic!”
“Goblok.” Taiga mengumpat lirih.
“Nggak ada akhlak.” Tetsuya menggeleng.
Atsushi pergi duluan ke warung, diikuti teman-temannya yang memikirkan makanan apa yang dipesan.
Taiga dan Atsushi bersemangat memesan makanan. Shintarou mengomeli kedua pemuda itu, selalu saja seenaknya setiap ditraktir.
Daiki sedikit ogah-ogahan ikut teman-temannya memesan makanan. Maunya makan di tempat hits, dapatnya makan di warung biasa. Cih! Shintarou sih yang salah.
Menunggu pesanan makanan datang, Vorpal Swords duduk di lapangan. Tidak memakai alas apa-apa.
“Lapangan kita buluk amat dah.” Daiki memandang ke sekeliling lapangan.
Teman-temannya mengangguk setuju. Beberapa bagian semen lapangan retak, tiang ring yang berkarat, lingkungan bersampah, pun tembok yang membatasi lapangan dan warung Mpok Emi kusam dan cat terkelupas.
“Besok kita kerja bakti hias lapangan gimana?” Ryouta memberi saran.
“Nggak bisa. Kita besok wawancara,” tolak Seijuurou menggeleng. Ia baru menerima e-mail dari beberapa stasiun televisi yang meminta izin wawancara.
“Terus kapan dong?” tanya Taiga.
“Kapan kita luang aja. Atau nggak kapan Kompleks Beringin kerja bakti. Lapangan ini 'kan bukan punya Vorpal Swords aja, tapi juga punya Kompleks Beringin,” jawab Junpei bijak.
Remaja-remaja itu mengangguk-angguk.
“Btw kalian minggu kemarin nggak wawancara?” Seijuurou bertanya retoris.
Teman-temannya menyengir. “Si Shin-chan PMS. Bukannya wawancara eh malah ngejambak rambut gue,” Kazunari mengadu.
Shintarou mendelik tajam.
“Biasanya abis tanding mau kita kalah atau menang tetap wawancara. Biar wartawan dan jurnalis fokusnya nggak ke yang menang aja. Ada juga wartawan yang mau wawancara kita.”
“Mau diwawancara kek mau dijadiin berita kek. Tetap nggak ada artinya kalau kalah,” balas Atsushi.
“Penting. Pengingat buat kita jangan pantang menyerah. Mau berlapang dada menerima kenyataan. Memotivasi orang lain. Ada aja manfaatnya. Orang bisa belajar dari kesalahan kita.
“Orang jadi kenal sama kita. Misalnya kita tanding dan menang. Orang-orang mikir, 'wah, dia kemarin kalah tapi nggak menyerah. Keren.'. Nah gitu.”
Vorpal Swords saling berpandang terkejut. Di luar nalar sosok pemuja kemenangan seperti Akashi Seijuurou berkata sisi positif kekalahan.
Sebelumnya Oreshi maupun Bokushi benci kalah. Kepribadian Seijuurou berubah. Apa ini kepribadian ke-3?
“Kamu kepribadian baru?” Tetsuya menunjuk Seijuurou.
“Gue nggak punya kepribadian baru.” Seijuurou terkekeh.
“Eh?”
Jawaban Seijuurou membuatnya dipelototi rekan-rekannya.
“Aku nggak nyangka kamu bakal mandang positif kekalahan,” ucap Tetsuya. Mengingat dulu Seijuurou sangat murka KiseDai dikalahkan Jabberwock.
“Mungkin gara-gara kepribadian gue sempurna dan jiwa gue sehat? Makanya bisa mikir jernih dan luas gini.”
“Maksudnya? Kepribadian sempurna? Lo punya satu kepribadian doang, gitu? Nggak ada lagi Oreshi sama Bokushi?”
Seijuurou mengangguk membenarkan kesimpulan Taiga.
“Gimana ceritanya, Sei? Jelasin dong.” Riko mengernyit bingung.
Seijuurou tersenyum kecil. Ia menjelaskan bahwa Bokushi dan Oreshi bersatu untuk menyempurnakan kemampuan Emperor Eye-nya. Selain itu juga menyatukan ingatan dan kepribadian sehingga terbentuk pribadi Akashi Seijuurou yang utuh, tak terpecah menjadi dua kepribadian yang berbeda.
“Kok bisa gitu? Setahu gue DID nggak mudah disembuhkan nanodayo.”
“Makanya gue mau konsul, nanyain gue beneran udah sehat atau halu doang.”
“Menurut gue sih Bokushi sama Oreshi beneran nyatu deh. Pas tanding tadi 'kan gue liat lo makai kemampuan dua kepribadian lo bersamaan.” Daiki mengemukakan teorinya. Ia mengambil roti coklat dari kotak Junpei.
“Iya. Kamu sekarang kelihatan kayak gabungan Oreshi sama Bokushi. Kelihatan tegas dan santai di waktu yang sama.” Tetsuya ikut berpendapat.
“Kita belum tahu Seijuurou beneran sehat atau nggak. Makanya perlu konsul lagi.” Junpei menengahi.
Ponsel di tas Seijuurou bergetar, pemuda itu membuka tasnya dan meminta izin berpisah sebentar.
Anak Mpok Emi membawakan pesanan mereka. Seorang gadis manis, berambut perak, dan berkacamata.
Rico Brenenza nama gadis itu. Setelah menaruh semua pesanan, ia tersenyum kalem dan pamit kembali ke warungnya.
Cakep euy. Daiki dan Kousuke kompak memuji wajah ayu cewek itu.
“Mau gimanapun juga makanan warung Mpok Emi is the best!” Kazunari mengangkat tinggi-tinggi garpunya yang menggulung mi rebus. Titik-titik kuahnya jatuh ke mangkuk.
“Hilih.” Daiki mencibir Kazunari.
Seijuurou bergabung kembali bersama rekan-rekannya. Makan malam bersama diselingi obrolan ringan dan hangat. Seijuurou rasanya tidak mau kembali ke rumah mewahnya.
Ia selalu kesepian di sana. Ayah yang terlalu garang. Pembantu-pembantu yang bersikap kaku padanya. Di sini hangat, tak sedingin rumahnya.
Taiga juga merasa begitu. Sejak di Kos Sultan, ia tak lagi sendirian. Semuanya hangat. Entah apapun status sosialnya, mereka berbaur. Tak saling membedakan.
Ejekan-ejekan kecil, saling memaki tanpa ada rasa tersinggung, dan menolong satu sama lain mempererat hubungan persahabatan semua penghuni kos. Termasuk dengan kos-kosan lain.
“Bentar, tim cheers pada ke mana dah?” Kazunari angkat bicara setelah dua menit jeda obrolan.
“Oh tadi kata Teteh Reo mereka balik ke kos aja. Nggak mau ganggu kita.” Tetsuya menjawab. Kazunari manggut-manggut.
“Untung Jean sama gengnya nggak minta traktiran nanodayo.” Shintarou menyahut.
“Halah palingan ntar mereka tiba-tiba nongol minta traktiran.”
“Lo hapal banget kebiasaan mereka, Daiki,” celetuk Seijuurou.
“Iyalah, itu 'kan kerjaan Daiki. Minta traktiran terus.”
“Mulut lo, Tet.”
Tidak aneh Vorpal Swords saling cari ribut satu sama lain. Pertengkaran dan ejek-ejekan dianggap bercanda saja, tak lebih dari itu.
Berbeda dari pertandingan sebelumnya, Vorpal Swords tampil ceria. Wajah dingin, sorot kemarahan, dan tangan terkepal semuanya musnah. Digantikan wajah ceria, sorot hangat, dan tangan yang kadang menonjok pelan sang rekan.
“Btw gue mau jujur ssu.”
Wajah serius Ryouta menjeda tawa ceria teman-temannya. Jarang Ryouta yang petakilan berekspresi serius.
“Jadi gini....”
“Lo nge-prank gue tonjok.” Taiga menginterupsi.
“Nggak ssu.” Ryouta menggeleng. “Gue bakal pergi ke Amerika.”
“Lah ngapain?” Riko terpekik kaget.
“Gue diterima di salah satu maskapai Amerika.”
Teman-temannya kompak menyorakkan, “Hah?”
Bermacam-macam reaksi diperlihatkan. Taiga tersedak, Satsuki mengulurkan sebotol air aqua dengan wajah kaget yang tak jauh berbeda dari teman-temannya.
“Sejak kapan lo masuk sekolah penerbangan?” Taiga termangap-mangap.
Bisa-bisanya cowok petakilan dan manja seperti Ryouta jadi pilot. Ia pikir cowok modelan Ryouta takut ketinggian. Tipe-tipe orang yang naik eskalator doang mewek.
“Sebelum masuk Kos Sultan.”
Ryouta melanjutkan.
“Gue datang dua bulan lebih cepat dari lo, Taiga-cchi, tepatnya abis lulus Sekolah Penerbangan. Kakak nyaranin gue kerja di maskapai luar negeri aja, gajinya lebih gede.
“Gue terima-terima aja dan ngelamar kerja di maskapai Amerika. Sambil nunggu diterima, gue belum keluar dari dunia hiburan.”
“Lo 'kan model, public figure. Ngapain tinggal di kos-kosan biasa?” Taiga mengernyit.
Ryouta sedikit menggigil mengingat alasannya pindah ke Kos Sultan. Teriakan-teriakan cempreng yang menghantuinya setiap hari menggema di kepalanya. Gedoran pintu. Bayangan-bayangan penggemar yang mengejarnya, sampai nekat menyusup ke apartemennya.
Menakutkan.
“Dulu gue tinggal di apartemen, tapi gara-gara fangirl yang sering ganggu, gue mutusin buat pindah ke Kos Sultan. Lokasinya lumayan tertutup, karena di kompleks perumahan.
“Gue pulang-pergi kerja harus pakai penyamaran. Untung banget fangirl nggak ngedeteksi. Manajer berusaha menyembunyikan tempat tinggal gue di mana.
“Rabu depan paling lambat gue harus ke Amerika. Harus kerja di sana. Besok gue nulis surat pengunduran diri ke agensi.”
Selesai Ryouta bercerita, Seijuurou melanjutkan. “Sebentar lagi gue juga harus balik ke mansion. Ayahanda nyuruh tadi, dia udah tahu Bokushi dan Oreshi bersatu.”
Seijuurou sedikit menjeda perkataannya.
“Kalian sebenarnya tahu nggak kenapa gue tinggal di Kos Sultan?”
Semuanya kompak menggeleng. Terbawa suasana serius mendengar cerita Ryouta. Tak lagi membuka mulut dan menjadi pendengar seutuhnya.
“Sisi Bokushi ngamuk-ngamuk dan ngacak-ngacakin barang di rumah. Barang-barang antik kesayangan ayahanda sebagian besar rusak. Gue diterapi.
“Abis terapi, Oreshi ngegantiin sisi Bokushi. Ayahanda kenal Pak Erwin, gue dititipin ke Kos Sultan biar nggak stres sama kerjaan. Biar ketemu orang banyak dan bersosialisasi.
“Kerja gue nggak sebanyak sebelumnya dikasih ayahanda. Nyegah Bokushi nggak muncul. Kadang-kadang Bokushi suka muncul dan gue nggak nyadar.”
Ah.
Di balik Akashi Seijuurou yang sempurna. Berbakat di segala bidang. Jiwanya terganggu dan rapuh. Jika sang ibunda tak meninggalkannya duluan, ayahandanya takkan bersikap terlalu keras, ia juga tidak mengidap DID.
Hidupnya bahagia.
“Menurut gue aja tugas lo sekarang udah banyak banget. Apalagi dulu. Parah parah.” Daiki menyela dan menggeleng-geleng.
“Laki-laki di keluarga Akashi dituntut workaholic. Tugas yang sekarang tuh hitungannya dikit banget di keluarga gue. Walaupun nggak kuliah, ayahanda ngajarin gimana caranya mengurus perusahaan sejak kecil.”
“Lo kok bisa punya kepribadian ganda, Sei?” Taiga sebagai penghuni baru, tak mengetahui terlalu banyak latar belakang teman-teman satu kosnya.
“Pas ibunda meninggal, ayahanda jadi keras banget ke gue. Namanya remaja pengen bebas lah. Gue berusaha memberontak tetap nggak bisa.
“Gue ngerasa percuma aja berontak dan mendam rasa emosi sendirian. Baru muncul kepribadian Bokushi yang nggak mau ditundukkan dan mendominasi. Muncul gara-gara banyak banget racun di jiwa gue.”
Seijuurou mengambil napas sejenak. Taiga dan Riko sebagai orang baru mengangguk paham. Rekan-rekannya yang lain sudah mengetahui rahasia umum ini sejak dulu.
“Kapan kamu balik ke mansion, Sei?”
“Hari Senin gue wajib pulang. Gantiin posisi ayahanda jadi direktur utama.”
Bersambung...
Kalau ada info yang salah tolong dikoreksi ya T_T. Aku nggak tau pihak kalah dalam pertandingan basket diwawancara atau nggak. Susah cari infonya T_T. Btw aku gas terus Kos Sultan sampai tamat. Tiap minggu bisa update 2 chapters. Kudu ngebut. Mau aku masukkin ke wattys2020.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro