Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kos Sultan 1.8

Taiga terbangun. Langit-langit putih di atasnya sangat ia kenal. Duduk untuk meredakan rasa pusing, Taiga menatap telapak tangan besarnya. Ia meraba kaki, perut, tubuh, sampai kepalanya.

Masih utuh.

Di sebelahnya, terbentang kasur tipis dan sebuah ponsel terletak di atasnya. Taiga mengambil ponsel ber-cashing biru muda itu dan menelisik wajahnya.

Masih ganteng.

Oke.

Apa yang terjadi tadi malam? Taiga benar-benar lupa.

Bodo amatlah. Taiga berdiri dan mengambil handuknya yang tergantung di pegangan lemari. Ember yang terletak di sudut kamar juga ia ambil. Sudah jam berapa ya? Taiga kembali ke ranjangnya dan menghidupkan ponsel Tetsuya.

Jam sembilan pagi dan tiga jam lagi Taiga akan kuliah.

Kos sedikit lengang. Tentu. Masih di hari-hari kerja, banyak penghuni yang pergi kuliah ataupun kerja. Salah satunya Tetsuya yang kerja di penitipan anak baru berangkat kuliah sore nanti.

Oh iya. Tetsuya pergi tanpa membawa ponselnya. Tumben sekali Tetsuya melupakan benda sepenting handphone.

Sudah sedikit siang, antrean ke kamar mandi sepi. Taiga membersihkan diri dan berpakaian.

Di bawah terdengar ribut-ribut. Selalu begitu. Jika sepi, maka bukan Kos Sultan namanya. Dari jendela kamar, jalanan jadi rusuh karena rata-rata penghuni kos sedang membeli lontong keliling.

Beli lontong doang gaya macem tawuran.

Semakin dewasa bukannya semakin kalem, malah makin ribut mengalahkan ABG-ABG labil.

Taiga yang sedang malas memasak, mengambil piring dan sendok, juga uangnya. Makanan di dapur utama pasti sudah habis. Biasanya Reo dan Tatsuya yang memasak makanan bersama. Butuh waktu tiga puluh menit langsung masakan mereka dihabiskan.

Setiap harinya Kos Sultan iuran untuk membeli bahan-bahan memasak. Akashi Seijuurou tentu pendonasi paling besar.

Meski ada dapur utama, beberapa kamar di Kos Sultan membuat dapur pribadi mereka masing-masing.

Alasannya biar tidak rebutan makanan. Seperti Taiga yang rutin memasak di dapur mininya. Ia terlalu malas ikut-ikutan tawuran di ruang makan. Kadang-kadang penghuni kos yang terlalu rakus tawuran juga memperebutkan makanan yang ia masak.

“Mbok! Ini keripiknya kurang krenyes!”

“Mbok! Kuah kacangnya kurang satu tetes lagi!”

“Mbok! Kerupuknya nggak simetris!”

“Mbok! Ini bentuk lontongnya nggak kubus!”

Begitulah kericuhan di gerobak lontong keliling milik Mbok Popon. Si mbok masih sabar memotong lontong, mengambil kuah gulai, menggiling kuah kacang, meremas kerupuk, mengambil sayur lotek sesuai keinginan pelanggan yang suka pilih-pilih sayur, dan kesibukan lain yang ia lakukan seorang diri.

Sudah tahu Mbok Popon kalau marah itu menyeramkan, masih saja menguji kesabarannya dengan pekikan-pekikan tidak masuk akal.

“Mbok kayaknya capek. Mau saya bantu?” tawar Taiga.

Mbok Popon menatap pemuda itu tersenyum. “Nggak usah, Nak Taiga. Biar saya saja.”

Meski Mbok Popon menolak, Taiga mengambil piring-piring pelaku keributan yaitu Eto, Hide, Eren, dan Jean. Piring-piring itu ia taruh di gerobak.

“Lu pada tadi protesnya karena apa? Biar gue perbaiki. Kasihan Mbok Popon.” Taiga mengambil pisau di atas tumpukan sayur.

Eto, Hide, Eren, dan Jean menyampaikan kekurangan lontong yang sudah mereka suarakan ke Mbok Popon sejak tadi. Taiga memberi peyek baru untuk Eto, menambah setetes kuah kacang di piring Hide, menghancurkan kerupuk baru di atas lontong Eren, dan memperbaiki potongan lontong di piring Jean.

Barulah keempat tukang rusuh itu membayar makanan mereka.

“Makasih, Taiga-chan!” ucap Eto terkikik kembali ke kosnya

“Taiga-chan! Good name! Thank you, Taiga-chan!” seru Eren, Jean, dan Hide kompak.

Hide duduk di teras kos ditemani bantal dakimakura bergambar Astolfo. Jean dan Eren biasalah nongkrong di pohon mangga. Mereka meminta izin Junpei. Padahal orangnya mah sudah berangkat keliling kota dari pagi.

“Eto...,” geram Taiga melepas kepergian cewek berambut hijau itu.

“Ada yang mau pesan?” tanya Taiga ke orang-orang di sekelilingnya.

“Nih, Taiga.”

Kumpulan orang-orang yang sedang tawuran meminta pesanan mereka diambil, jadi terdiam karena wajah sangar Taiga. Mana alis cabangnya tertekuk gitu. Orang-orang berpikir Taiga marah dan sebentar lagi menunjukkan auman macannya.

Sebut saja Chihiro dan Shuuzou. Meski sama-sama penghuni Kos Sultan, mereka tidak terlalu dekat dengan Taiga jadi masih ada rasa segan. Shougo mah santai mengupil di sebelah Taiga.

Selebihnya ada dari kos ungu, kos hijau, sampai tetangga-tetangga lain terdiam menyaksikan seorang Kagami Taiga menyiapkan pesanan mereka.

Mbok Popon tersenyum dan mengelap keringat menggunakan handuk kecil yang tersampir di kedua bahunya. Memang penghuni kos-kosan yang ada di Kompleks Beringin ini beringas-beringas. Untung ada Taiga yang menjinakkan mereka.

Taiga secara cekatan memotong-motong sayur dan lontong sama besar. Iapun menuangkan kuah gulai ke piring secara sempurna, tidak kurang dan tidak lebih, tidak juga tumpah di mana-mana. Padahal gerakan Taiga sangat cepat. Kuah kacang yang ia racik lebih manis dan pedas dari kuah kacang buatan Mbok Popon itu sendiri.

Jika ada yang meminta cuma toge untuk sayur lotek, maka Taiga memasukkan toge ke piring tanpa ada terselip sayur-sayuran yang lain. Kerupuk atau peyek yang telah ia remukkan, hancur dalam bentuk estetik. Hampir keseluruhan potongan-potongan kerupuk atau peyek itu berbentuk simetris.

Sampai seluruh pelanggan kembali ke habitat masing-masing, barulah Taiga mengambilkan lontong untuknya.

“Taiga bantu-bantu gini pasti karena nggak bisa bayar 'kan?” tebak Mbok Popon.

“Enggak kok, Mbok. Taiga bawa uang kok. Sekali-kali aja pengen bantu.” Taiga menaruh selembar uang sepuluh ribu di atas gerobak. Sebenarnya harga lontong yang dijual Mbok Popon lima ribu rupiah dan harga peyeknya cuma seribu.

Namun, Taiga membeli lontong dalam porsi jumbo. Tentu harga yang ia bayar lebih banyak.

Biasanya kalau Taiga membantu Mbok Popon, pasti pemuda itu bermaksud menyenangkan hati Mbok Popon supaya lontongnya digratiskan.

Mbok Popon tersenyum lagi. “Terima kasih ya, Nak. Kapan-kapan Mbok bawa deh ketemu sama cucu Mbok. Kalau Taiga mau boleh kok kerja sama Mbok. Nggak usah aja kuliah,” tawar Mbok Popon.

“Ahaha, nanti Taiga pikir lagi, Mbok,” tolak Taiga canggung. Ada sebuah alasan mengapa Taiga sampai sekarang tidak kerja part time seperti kebanyakan teman-temannya.

“Mbok pergi dulu, Taiga,” pamit Mbok Popon.

“Iya. Makasih, Mbok. Hati-hati di jalan.”

Mbok Popon mendorong gerobak, Eren yang sedang bersantai bersama Jean di pohon mangga menyapa Taiga. “Kok Mbok Popon ngajak lu nemuin cucunya?” tanya Eren dari batang pohon.

“Entah. Mungkin gue disuruh jadi babu atau nggak jagain cucunya. Mending Tetsuya yang jago jaga anak.”

Taiga menduduki ayunan dan memperoleh cibiran dari kedua pemuda yang duduk di atas pohon tersebut.

Tuh nenek-nenek pengen jadiin lu suami cucunya, bego.

“Jean, lu tahu nggak di Fakultas Farmasi ada cewek cantik plus imut banget? Nggak salah namanya Nezuko. Punya kakak posesif banget anjir. Kemarin gue nyapa doang eh kakaknya nyundul gue pakai jidat batunya.”

“Mikasa lebih cantik.”

“Nggak nyesel tadi nalam gue mampir ke Anteiku. Disapa sama si Touka rasanya seneng banget. Kapan lagi coba tuh cewek jutek senyum ramah gitu ke gue?”

“Mikasa lebih jutek.”

“Hari Senin gue jemput Mikasa ke sekolahnya, gue liat ada cewek di sekolahnya. Imut. Badannya kecil. Rada gendut tapi gue suka. Rambut birunya pengen gue elus-elus.”

“Mikasa lebih imut.”

“Gue pernah main ke gym bareng Connie. Ketemu cewek. Gue sapa eh ditendang dong sampai kepental ke dinding. Tapi gue suka. Nggak hanya cantik, dia juga kuat. Eh lu tahu nggak tuh cewek siapa? Mbak Shinobu dari FK. Malesin banget si santuy Giyuu deket sama dia.”

“Mikasa lebih kuat. Bisa angkat galon bolak-balik dari lantai satu ke lantai dua.”

“Gue inget Sasha pernah masakin gue bento. Kapan ya Sasha nggak pelit ke gue gitu? Oh iya dia masakin gue gara-gara gue janji mau traktir dia boba. Sampai sekarang belum gue traktir-traktir juga. Kasihan. Makanannya enak, kapan-kapan gue ngibulin Sasha lagi.”

“Masakan Mikasa lebih enak.”

“MIKASA TEROOOOS! KATANYA NGGAK PANTES JADI COWOK MIKASA. PENGEN MOVE ON. GUE CERITAIN CEWEK-CEWEK LAIN LU MIKIRKNYA MIKASA! GUE BUNUH JUGA LU LAMA-LAMA!”

“LAH SANTUY! DESPACITO LAH! GUE NGGAK MINTA TERBURU-BURU KOK! HATI NGGAK BISA DIPAKSKAN!”

“EH ANYING LU MAKSA GUE SEMINGGU INI CARIIN CEWEK BARU!”

Astaga, kedua pemuda itu jadi saling mencekik. Piring lontong mereka yang belum kosong di pangkuan mereka bergerak ke arah mana mereka bergerak, hampir saja jatuh ke tanah. Jika mereka sudah kenyang, seharusnya menyedekahkan lontong itu ke orang yang membutuhkan.

Taiga contohnya yang menatapi lontong malang yang sudah tumpah-tumpah ke tanah. Tunggu piring saja yang jatuh berderai.

“Lu demen banget cari gara-gara, kud!” geram Eren mencekik leher Jean dari belakang dengan lengan kanannya. Habis sudah kedua piring di pangkuan mereka jatuh ke tanah. Pecah berderai seperti hatiku saat ditinggal doi.

Taiga menggeleng. Apa masalahnya kedua pemuda itu sampai bertengkar lagi untuk kesekian kalinya? Taiga tidak memahami apa yang mereka bicarakan sedari tadi. Pokoknya apapun tentang perempuan Taiga sama sekali tidak mengerti.

Eren Jaeger sebenarnya tak terlalu peduli pada perempuan. Dia tidak terlalu mudah dekat dengan perempuan. Cuma sesekali dia terkena virus buaya Reiner dan Jean. Kadang-kadang ia juga menyapa dan menggombali perempuan yang ia temui.

Atas desakan Jean, Eren jadi menggunakan jurus buayanya ke perempuan-perempuan sekitar yang sekiranya cocok untuk Jean. Sudah berusaha Eren menceritakan betapa menariknya perempuan-perempuan yang ia temui, justru Jean dengan kampretnya mengaku belum bisa move on dari Mikasa.

Nyatanya seminggu belakangan Jean merengek terus dicarikan cewek. Eh pas sudah dicarikan dia malah ingin menjaga perasaannya untuk Mikasa.

Eren jadi sebal. Marah. Ingin bunuh Jean saja.

Taiga berdiri dari ayunan dan melangkah ke dalam kos. “Ren, lo nyadar nggak kenapa akhir-akhir ini jarang para bocil maling mangga di mari?” tanya Jean menatap kepergian punggung tegap dan besar milik Taiga.

“Nggak, lu jangan ngalihin topik, bangsat,” umpat Eren mempererat cekikannya.

“Santuy! Santuy! Dilihat-lihat Taiga nyeremin ya. Sekali lihat aja kita tahu dia titisan garong,” sambung Jean.

“Lah iya iya.”

Eren melepas cekikannya. “Taiga saking seremnya sampai sekarang nggak mau dilirik cewek manapun,” ujar Eren.

“Lah? Bukan karena dia homo?” Jean mengompori.

“Serius lu?” Eren menimpali dengan mata yang membola.

“Wah, pantesan sama Tetsuya terus. Nggak bener nih.”

Eren menggelengkan kepalanya. Begitulah Jean dan Eren. Yang satu cowok semi buaya dan satu lagi buaya kelas teri tapi selalu ditolak Mikasa.

Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka individu yang berbeda, namun punya satu hobi yang sama.

Hobi ghibahin orang.

Tempat nongkrong favorit?

Pohon mangga Kos Sultan. Menumpang ngadem sekalian menebeng wifi.

Mereka sering bolos kuliah karena keasikan nongkrong di pohon mangga. Seperti hari ini.

Nigou sudah datang memakan lontong mereka yang berserakan di atas tanah. Seruan Armin mengingatkan mereka untuk kuliah tak diindahkan. Semuanya karena satu hal.

Ghibah itu asyik. Entah itu ghibahin cowok ataupun cewek. Manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Semuanya jadi bahan ghibah.

“Tadi malam gue lihat mobil Pajero Sport berhenti di depan kos ini. Lu tahu nggak bagian paling epiknya apa?”

Eren mendekatkan telinga dan Jean berbisik, “Taiga keluar dari sana. Lu tahu nggak artinya apa?”

“Taiga simpanan orang kaya,” simpul Eren dan Jean kompak.

“Pantesan Taiga nggak deket sama cewek manapun. Kasihan Mbok Popon gagal cariin suami cucunya,” gumam Eren geleng-geleng.

Di dalam kos Taiga bersin-bersin.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro