Kos Sultan 1.7
Antek-antek Kousuke pun tiba.
Rio, Shinji, Rinnosuke, dan Shun tiba memenuhi panggilannya. Shun menggeser tubuh Taiga sampai ke tepi dinding dan mendudukkan diri di sofa. Begitu pula Shinji dan Rio berada di paling ujung. Rinnosuke duduk di samping Kousuke.
“Gue habisin nasi sama sodanya ya,” pinta Shun.
“Serah,” jawab Kousuke.
“Sumimasen sumimasen. Maaf kalau bertanya, harusnya kita bawa Taiga kembali ke kos 'kan? Sumimasen sumimasen,” ujar Rio.
“Hus. Mamam dulu. Mumpung gratis.”
Shun menyuapkan nasi goreng yang ditaburi ayam goreng suir ke mulut Rio. “Enak 'kan?”
Rio mengangguk patuh dan memainkan jarinya gugup. Ia melirik takut-takut teman-temannya. Mereka terlihat menikmati Taiga yang pingsan. Kasihan sekali Taiga harus pingsan dalam posisi duduk.
Dasar manusia-manusia psikopat.
Sudahlah ditakut-takuti Kousuke, makanannya dihabiskan, dan pas bangun nanti pasti tubuh Taiga pegal-pegal.
“Pelayan, tambah nasi gorengnya empat piring lagi ya! Sama sodanya empat gelas lagi!” pesan Shinji. Pelayan hanya patuh tanpa bertanya lebih lanjut.
Yang penting kafe bosnya laku.
“Dia diapain tadi, Mas?” tanya Shun.
“Tadi gue sama Taiga di perpustakaan hampir dibawa ke dunia lain.”
Kousuke menceritakan apa yang ia alami tadi bersama Taiga. Sebenarnya Kousuke pernah mengalami kejadian yang serupa berulang kali sebelumnya. “Dan gue bilang kalau gue salah satu roh halus. Dia percaya aja soalnya kaki gue nggak kelihatan.”
Kousuke mengakhiri ceritanya.
Shinji menengok ke bawah. Benar saja. Kaki Kousuke tidak terlihat.
“Padahal gue naikin kaki. Dianya yang nggak nyadar.”
Kousuke terkikik menurunkan kakinya yang tadi ia lipat di atas sofa. “Untung Mas pilih tempat duduknya di sofa, kalau di kursi mah Taiga udah jatuh kali pas pingsan,” ucap Shun.
“Iya. Sengaja hahaha.”
“Pesanannya datang.”
Pelayan membawa empat piring nasi goreng dan empat gelas soda yang baru. Ia mengangkat piring kotor dan gelas kotor di meja itu. “Ini masnya kenapa?” tanya pelayan perempuan itu. Ia mulai curiga.
Jangan-jangan mereka berlima ini sindikat penjual organ.
“Bobok. Biasalah mahasiswa kelelahan,” jawab Shinji yang jago ngibul.
“Oh....” Pelayan itu memaksakan senyum dan kembali ke dapur.
Orang-orang aneh.
“Kalian ada yang bawa duit?” tanya Kousuke menghabiskan cappucino dinginnya.
Kompak Shinji, Shun, dan Rinnosuke menggeleng. Mereka datang ke sini tanpa modal apa-apa.
“A-aku bawa uang sumimasen sumimasen. Tapi kayaknya nggak cukup untuk kita sumimasen sumimasen,” ucap Rio.
“Mas aja yang traktir. Sebagai bayaran,” sambung Shinji menyengir.
“Mudah amat lu bilang gitu ye. Duit gue juga nggak cukup,” tolak Kousuke.
Shun membuka tas Taiga dan ia menemukan dompet merah bergambar harimau di sana. “Wait ... that's illegal,” larang Shinji.
“Sekali-sekali.” Shun menempelkan telunjuk di bibir dan membuka dompet Taiga di bawah meja.
Terlihat selembar uang hijau dan selembar uang ungu. “Nggak cukup juga.”
Shun menggeleng.
“Ya udah. Siapa yang mau ambil duit gue ke kos, gue traktir terus dapat uang tip.”
Kompak Rinnosuke, Shun, dan Shinji berdiri. Rio juga dipaksa berdiri. Sudah berulang kali Rio memberontak tetap saja diabaikan. Pelanggan-pelanggan yang lain menatap mereka risih. Sebelum pelayan di kasir menelepon satpam, Shinji menemukan uang recehan di saku celananya dan ia taruh di meja kasir sebagai sogokan.
Keempat pemuda itu menaiki motor dan kembali ke Kos Sultan.
Sepuluh menit kemudian mereka datang kembali membawa celengan buaya Kousuke. “Nih, Mas.”
Shun menaruh celengan itu di atas meja besi. Pelanggan yang risih melaporkan keempat pemuda itu ke kasir.
Si kasir mengambil telepon dan menekan tombol nomor. Shun berdiri dan bersandar di meja kasir untuk membujuknya.
“Mbak tahu nggak apa yang lebih berkilauan dari bintang di langit? Yaitu dirimu yang tersenyum kepadaku.” Bersamaan kedip gantengnya, Shun menggombal. Ia pikir mbak kasir akan luluh padanya.
Shun di kampus dikenal sebagai buaya yang suka gombal sana gombal sini. Sudah banyak mahasiswi-mahasiswi yang termakan gombalannya. Sampai-sampai skripsi tidak ia kerjakan saking sibuknya dalam dunia buayanya.
“Eh kadal air, sejak kapan gue senyum ke lo?” geram mbak kasir menjauhkan badannya dari Shun.
Wajah terganggu mbak kasir itu tertutup rambut hitam panjangnya. Shun tidak tahu wanita itu terganggu lantaran wajahnya tertutup.
“Ini nomor telepon-”
“Halo, Bos. Ada orang gila di sini,” lapor mbak kasir.
“Tunggu!”
Shun mencondongkan tubuh ke balik meja kasir dan menjulurkan tangan, hendak merebut telepon yang digunakan mbak kasir. “Ih apaan sih? Menjauh! Gue jijik sama lo!”
Mengambil biwa di bawah meja kasir, wanita itu memukuli Shun dengan alat musik kesayangannya itu.
Sebagai cowok yang (sok) cool, Shun hanya meringis dan berhenti merebut telepon.
“Ya udah deh ya. Kapan-kapan aku datang ke sini lagi bawa cincin kawin kita.”
“PERGI!”
Pelanggan yang merasa terganggu segera berdiri dan membayar pesanan mereka di kasir. Mbak kasir terus mengumpat karena keributan barusan menyebabkan pelanggan tidak nyaman berada di kafe.
Habis sudah nanti dimarahi si bos.
Shun kembali ke sofa dan menyendok nasi secepatnya. Ia tahu sebentar lagi ia dan teman-temannya akan diusir, makanya ia ingin menikmati nasi goreng dan soda dingin itu sampai habis.
“Memangnya tadi ada apa? Ngebut banget makannya,” tanya Shinji.
“Nanti lo bakal tahu. Pokoknya gue pengen makan nasi goreng ini sampai titik butir nasi penghabisan.” Shun bersemangat mengepalkan tangannya. Ia juga menyedot cepat sodanya.
Ya elah. Baru saja tadi dihajar sama mbak-mbak kasir sudah semangat lagi.
Memang ya makanan is mood booster number one.
“Heh, Shinji. Ngapain lo bawa badannya ke sini? Gue minta isi organnya,” bisik Kousuke. Isi organ yang dimaksud Kousuke adalah uang, badannya adalah celengan.
“Badan siapa? Organ siapa?”
Muncul lah sosok bos kafe di belakang Kousuke.
“Halo, orang-orang aneh.” Pria yang memakai fedora putih bergaris hitam itu menepuk bahu Kousuke hingga terlonjak kecil.
Untung Shun sudah menikmati sampai habis nasi goreng jumbo spesial bersama segelas soda dinginnya. Shun santai-santai saja dibawa si bos ke ruangannya bersama keempat pemuda yang lain.
Kasihan Rio yang masih polos sampai menangis ingin pulang. Ingus Rio sudah melimpah, tetap saja si bos tidak kasihan dan tetap membawa Rio ke ruangannya bersama teman-teman Rio.
Taiga diantar pulang bersama barang-barangnya. Ia diduga sebagai korban dari kelima pemuda yang bersamanya.
Tetsuya yang menggendong Nigou di halaman sambil main ayunan dikejutkan Taiga diantar oleh sebuah mobil Pajero Sport. Syukur-syukur itu mobil Taiga, Tetsuya bisa nebeng hidup sama Taiga kalau gitu mah. Biasanya anak-anak sultan yang punya Pajero Sport.
“Lu yakin ini kos-kosannya Taiga?” tanya Akaza. Ia tak lupa sosok Taiga yang pernah bertemu dirinya di air terjun. Sempat sih mereka bertukar alamat kos tapi tetap saja Akaza bukanlah orang jenius, ia lupa-lupa ingat.
Akaza kaget disuruh mengantar pulang Taiga yang jadi korban teman-temannya.
“Yakin. Gue nggak pernah salah ingat alamat,” Douma menjawab.
“Kita turunin aja di sini. Nggak ada orang sih,” suruh Akaza.
“Jahat banget sih lu ngelantarin orang, Ja. Kelamaan jomblo. Lagian dia kenalan kita juga 'kan?” Douma bersikeras membawa Taiga ke dalam.
“Eh kampret. Lu nggak dengar suara ngoroknya? Nih orang tidur, bukan mati. Ntar dia bangun sendiri kok.”
“Iye iye. Santuy dong kayak si Tapioka.”
“Tomioka keleus.”
“Bodo amat. Gue susah inget nama cowok, nama cewek mah gampil. Panggil teman-temannya aja gimana ya?”
“Gak usah. Bodo amatin aja.”
“Yee ... Akaza jahat.”
Akhirnya Taiga diturunkan di depan pagar Kos Sultan bersama barang-barangnya, Douma mengikut apa yang dikatakan Akaza. Tetsuya yang melihat Taiga tergeletak seperti orang terjangkit virus corona, memanggil Daiki ke luar. Taiga pun digotong ke kamarnya oleh Daiki dan Shouichi.
“Lah Taiga ngapa yak?” tanya Shougo.
“Nggak tahu. Mungkin tadi jadi gembel kayak elu.”
Shuuzou menggantikan Daiki dan Shouichi menjawab pertanyaan Shougo. Terjadi kembali perkelahian antara kedua cowok itu.
“Tet, lo suruh Taiga diet ya,” ujar Shouichi selepas mengangkut Taiga.
“Kenapa?”
“Berat amat. Tangan gue mau putus,” sambung Daiki. Shouichi mengangguk membenarkan.
Katanya pingsan, kok ngoroknya kenceng? batin Tetsuya menatap ke Taiga yang terlelap dengan damainya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro