Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kos Sultan 1.4

“Yo.”

“Lama amat kamu mandinya, kayak cewek.” Tetsuya membalas sapaan Taiga yang merupakan orang terakhir selesai mandi.

“Biarin, tolong geser sana.” Taiga mengibas-ngibas tangan, memberi gestur geser. Tetsuya yang duduk di paling ujung kursi, menyuruh Daiki, Ryouta, Atsushi, dan Shintarou bergeser memberi tempat untuk Taiga.

Pemuda berambut merah itu duduk di sebelah Tetsuya dan mengembangkan majalah olahraga yang baru ia beli pada petugas gym.

“Idih cemen bacanya majalah olahraga doang,” cibir Daiki yang santai memangku majalah dewasanya. Ryouta di sebelah Daiki senyum-senyum melihat majalah bergambar dirinya sendiri.

“Gue emang keren ssu. Salah nggak sih mencintai diri sendiri?” bisik Ryouta terkikik membuka setiap halaman bergambar dirinya.

“Bodo.” Taiga membalas cibiran Daiki.

Di pukul satu siang, KiseDai bersama Eto dan Satsuki ngadem di restoran gymnasium.

Eto dan Satsuki duduk di bangku yang sama, meja besi menjadi pembatas antara bangku mereka dengan bangku Taiga, Tetsuya, Daiki, Ryouta, Atsushi, dan Shintarou. Dempet-dempetan dah keenam pemuda itu seperti di dalam angkot.

“Taiga duduk bareng sama mereka aja gimana nanodayo?” usul Shintarou, menunjuk ke Eto dan Satsuki yang asyik cekikikan di depan mereka.

“Hah, males. Tetsuya aja sana, Satsuki 'kan pacarnya,” tolak Taiga.

“Enak aja.” Tetsuya menepuk punggung Taiga keras.

“Oi!”

Satsuki yang mendengar penolakan tak langsung Tetsuya, menutup mulutnya sedih. “Mas Tetsu nolak aku,” rengeknya. Air mata gadis itu menumpuk, bersiap jatuh. Eto menepuk-nepuk bahunya menenangkan.

Tetsuya yang tak tega, menghela napas dan duduk di sebelah Satsuki. “Yeay! Sayang Mas Tetsu!”

Ekspresi gadis berambut merah muda itu menjadi ceria, ia berseru senang memeluk Tetsuya yang duduk di sebelahnya. Pindahnya Tetsuya bukan berarti bangku menjadi lapang. Justru semakin sempit karena Daiki dan Taiga yang duduknya ngangkang.

“Makin sempit aja nanodayo. Kalian pindah aja sana!” suruh Shintarou terganggu.

“Gak mau,” tolak Daiki dan Taiga kompak.

Seijuurou yang baru ditelepon ayahandanya, menghampiri teman-temannya. Menghentikan perdebatan dua lawan satu antara Daiki dan Taiga melawan Shintarou.

“Kalian mau pesan apa? Biar gue traktir,” tawar Seijuurou.

“Uwoh. Asik!” seru Daiki mengepalkan tangan. Taiga mesem-mesem sok ganteng ke Seijuurou.

“Kismin,” desis Shintarou.

“Shin-chin jangan sok-sok nolak gitu,” celetuk Atsushi mengeluarkan permen coklat dari saku celana.

“Gue punya duit nanodayo. Nggak kayak kalian semua,” elak Shintarou.

“Gak apa-apa, Shin. Gue traktir kalian semua,” ucap Seijuurou duduk di sebelah Tetsuya, “tapi lo yang mesanin ya.”

“Ya udah nanodayo.”

Tsundere ssu.”

Mendelik ke Ryouta, pemuda berambut hijau lumut itu berdiri di sebelah meja, ia mengeluarkan sebuah buku catatan dan pena, Shintarou selalu siap sedia membawa alat menulis. Ia mencatat semua pesanan teman-temannya.

“Shin-chin. Gue dua kotak chicken pop, empat piring nasi, lauknya chicken katsu dua piring, ayam lada hit-”

“Taiga, giliran lo sekarang nanodayo.”

Taiga menyeringai. “Asique! Gue pesan dua puluh cheeseburger jumbo, lima kebab, empat piring tempura udang, tiga gel-”

“Udah udah nanodayo. Taiga, Atsushi, kalian ini gimana sih nanodayo? Mentang-mentang ditraktir nggak boleh gitu lah,” tegur Shintarou. Matanya menajam di balik bingkai bening persegi yang ia kenakan.

“Shin-chin nggak asik, kapan lagi Sei-chin traktir kita kayak gini?” rajuk Atsushi menggembungkan pipi. Tangan Ryouta yang menusuk-nusuk pipinya ia tepis.

“Ho'oh,” timpal Taiga mengompori.

“Shintarou benar juga, Atsushi, Taiga. Bukannya gue pelit, ini restoran. Di mana makanan kalian diletakin? Mejanya nggak muat. Kecuali kalau di rumah bebas aja sih.” Seijuurou ikut menegur.

“Cih. Kalau Sei-chin bilang gitu ya udah deh, gue nurut aja. Terserah Sei-chin aja pesanin gue apa,” balas Atsushi mengalah.

“Ck. Ya udah, gue dua cheeseburger jumbo, sepiring nasi goreng spesial, sama satu coca cola aja,” ujar Taiga.

“Samain aja pesanan gue sama Atsushi.” Selain Tatsuya, Seijuurou adalah orang yang selalu memesankan makanan Atsushi supaya pemuda berambut ungu itu tidak kebablasan membeli banyak makanan di restoran.

Atsushi menuruti saja karena dia menghormati dan mematuhi Seijuurou. Bisa dibilang Seijuurou dan Tatsuya adalah kedua pawang Atsushi. Tentu Seijuurou lebih tegas dari Tatsuya karena ia tak mau tunduk pada perkataan orang lain.

“Oke nanodayo.”

Selesai membacakan ulang pesanan teman-temannya untuk memastikan tiada kesalahan, Shintarou berbalik menuju meja pemesanan. Di balik punggungnya, Atsushi misuh-misuh. Taiga mengumpati dirinya.

“Pakyu, lumut,” umpat Taiga karena tak dapat memesan banyak makanan.

Shintarou kembali selepas memesan makanan, ia duduk di sebelah Seijuurou. Malas harus bersempitan duduk dengan Taiga yang ngangkang.

“Eh abis ini kita ke mana? Jangan langsung pulang ya, bosen banget harus ke kos, nggak bisa ngapa-ngapain,” celetuk Eto.

“Lho? Bukannya deadline novel Mbak Eto makin dekat?” tanya Satsuki

“Capeeek. Pengen jalan-jalan,” jawab Eto mendongakkan kepala ke langit-langit besi hitam restoran.

“Kita jalan-jalan ke mal aja ssu!” usul Ryouta.

“Nggak asik ah. Mending ke pantai,” tolak Daiki.

I know what you mean,” sinis Shintarou.

Remaja-remaja itu diam, memikirkan sekiranya mana tempat jalan-jalan yang cocok untuk hari Minggu ini. Mall terlalu sering dikunjungi, mau ke pantai juga di sana panas terik membuat kepala sakit.

Satsuki menjentikkan jarinya. “Katanya ada lokasi air terjun di pinggir kota, gimana kalau kita ke sana?” usul Satsuki.

“Capek anjir nenteng-nenteng tas ntar kita jalan ke pinggir kota,” tolak Taiga.

"Bilangin aja lu gak pandai renang," cibir Daiki.

“Lo aja berenang di kolam bayi aja kelelep berani amat ngatain gue yang pernah berenang di Samudra Hindia.”

“Emangnya gue percaya?”

Abaikan Daiki dan Taiga yang adu bacot.

“Halah, nggak capek kok, 'kan kita naik angkot,” Eto tersenyum ke pelayan yang membawakan pesanannya, “terima kasih.”

“Naik mobil Seijuurou aja.”

“Heh, nggak sopan. Gue lagi makan nih,” tegur Eto mendelik ke Daiki yang berceletuk sambil mengupil.

“Nggak deh, kasihan supir gue,” tolak Seijuurou.

“Gue males banget.” Atsushi menumpu dagu di atas meja.

“Males atau takut kelelep?” ledek Taiga.

“Emangnya gue itu Tai-chin yang badannya berat?” balas Atsushi.

“Lah, lo dibilang tai. Wekaweka.” Daiki ngakak.

“Apaan sih lu?”

“Udah udah, nggak usah debat. Kita naik angkot ke sana. Biar supir gue yang bawain baju ganti nanti.”

Remaja-remaja itu menyelesaikan makan siang mereka dan menunggu angkot di trotoar. Ryouta berkali-kali merengek gelisah dan mengipasi diri. Tentu Daiki sering menghardiknya. Hingga berhentilah sebuah angkot merah berhenti di depan mereka.

Tanpa banyak cingcong, langsung saja mereka menaikinya.

“Buset! Rasa naik mobil Fast and Furious!” Daiki terdorong ke depan seiring angkot yang mengebut. Pekikannya diredam musik angkot yang berdentum keras.

Satsuki memekik kecil memeluk lengan Tetsuya. Penumpang di dalam angkot itu acap kali terdorong ke depan atau ke belakang sesuka hati supir. Siang itu KiseDai dan dua bidadari mereka penumpang yang tersisa. Penumpang sebelum mereka telah turun.

“Bantu gue ssu!” Ryouta terjatuh dan berguling di lantai angkot.

“Huahaha! Kocak!” Taiga menertawakan.

Daiki dan Eto ikut tertawa. Seijuurou dan Shintarou duduk tenang, mempertahankan posisi duduk mereka yang sering goyah karena kecepatan angkot yang sering berubah. “Ih, malah diketawain ssu,” rajuk Ryouta berdiri untuk kembali ke kursi.

Baru mau mendaratkan bokongnya, ia kembali jatuh karena supir angkot menambah kecepatan mobil. Akhirnya Ryouta memilih duduk di lantai dan sesekali oleng ke lantai, biarlah Taiga dan Daiki menertawakannya.

***

“Kapan kita sampai, Daiki-cchi?" rengek Ryouta berjalan lemas.

“Baru 500 meter jalan udah capek aja lu,” ketus Daiki mendorong Ryouta agar cepat berjalan. Mereka tadi turun di sebuah desa yang terletak di pinggir Kota Julikarta. Dari desa itulah mereka berjalan 500 meter dan sedikit mendaki sekitar sepuluh meter.

“Bentar lagi kita sampai kok,” ujar Satsuki di depan bersama Eto yang memotret pepohonan di sekeliling.

Daun-daun melindungi mereka dari sinar matahari. Aroma tajam khas tumbuhan basah dan lumpur menenangkan pikiran Seijuurou yang sering sekali kalut oleh tugas-tugasnya sebagai wakil direktur. Sebentar lagi posisi sang ayahanda akan turun padanya.

Perjalanan menuju air terjun menurut Seijuurou sekalian melatih ketahanan fisik teman-temannya dan mengenal alam. Mereka seakan rekreasi ke sebuah kebun monyet yang besar, karena terlihat hewan-hewan primata itu berlarian dan melompat satu batang ke batang lainnya. Ada juga yang lari melihat remaja-remaja bertubuh tinggi besar itu.

Pohon-pohon di sini rimbun, tidak seperti Kota Julikarta yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Monyet-monyet pasti kesulitan jika habitat mereka dirusak. Jangan sampai alam lestari di sini diusik tangan manusia.

“Huwaah!” Ryouta yang mengeluh jauhnya perjalanan mereka, tergelincir karena menginjak daun basah yang menempel pada lumpur.

“Huwahahaha! Jatuhnya model terkenal Kise Ryouta!” Daiki merekam Ryouta yang membersihkan lumpur di celana dan sebagian kausnya.

“Lu eek kok di depan? Bukan di belakang?” Tawa Taiga terdengar menggelegar.

“Diam kalian semua ssu!” Ryouta menggetok kepala Taiga dan Daiki. Hasilnya mereka saling pukul-pukulan kepala dan sering tergelincir di lumpur.

“Satsuki!”

Gadis berambut merah muda yang tertawa ceria dengan Eto itu, menoleh ke belakang kala dipanggil seseorang.

“Arumi! Jangan lari-lari! Alamak, kena ulek dah gue sama bapaknya.”

Arumi berlari kecil, tubuhnya terlihat lebih mungil dari Eto sekalipun. “Lo di sini? Nggak sama mama lo?” tanya cewek berpipi bulat itu.

“Nggak. Mama sib-”

“Woah, kamu imut banget ssu! Kenalin namaku-”

Kepala Ryouta dipetok Daiki dari belakang. “Jangan dengerin nih buaya kuning. Kayak biasanya lo dikawal mulu sama mereka bertiga ya,” ujar Daiki melirik ke pemuda yang menggandeng tangan Arumi posesif. Dua pemuda lainnya bertengkar di belakang.

Abaikan saja mereka.

“Haha iya. Yuk, kita naik bareng-bareng, Satsuki,” ajak Arumi tersenyum ceria, mata ungu bulatnya berbinar polos. Ryouta berseru gemas, baru saja mau menggombal lagi ia sudah ditendang oleh salah seorang bodyguard Arumi yang berambut pink.

Hakuji namanya atau akrab disapa Akaza biar gaul.

Kasihan Ryouta baru libur sehari sudah bonyok. Makanya jangan banyak ulah, bos.

“I-iya.” Satsuki membalas canggung, ia berjalan lima langkah di belakang Arumi dengan Eto di sebelahnya.

“Teman lo? Daiki kayaknya kenal sama dia,” bisik Seijuurou. Garis bibir Satsuki yang melengkung ke atas, jadi mengerut dan wajah manisnya menyuram.

“Iya. Dai-chan sering antar jemput aku dulu ke sekolah makanya kenal juga sama Arumi. Dia itu sainganku di sekolah. Terus kami pernah suka cowok yang sama,” jawab Satsuki menunduk. Suaranya memelan.

“Jadi gitu ya. Pantesan lo kelihatan nggak nyaman ada dia.” Seijuurou tak lagi berkomentar apa-apa.

Eto mengusap punggung Satsuki menyemangati gadis itu.

“Makasih,” ucap Satsuki tersenyum kecil.

“Emang enggak mudah berdamai sama saingan cinta kita.” Satsuki mengangguk. Ia takut Arumi melihat Tetsuya dan jadi menyukai pemuda itu.

Satsuki takut ia kembali merasakan patah hati terhebat yang disebabkan orang yang ia anggap sahabat sendiri.

Air terjun yang menjadi tujuan telah terlihat di depan mata. Nyanyian lembut air yang jatuh dari pegunungan ke sungai di bawahnya meredakan keresahan Satsuki karena adanya Arumi.

“Satsuki suka?” tanya Tetsuya tersenyum lembut ke Satsuki.

Wajah gadis itu merona, ia mengangguk senang dan matanya berbinar kagum. Dinginnya suhu sekitar dan suara lembut air melatari hati Satsuki yang berbunga-bunga diperhatikan Tetsuya.

Apa masih ada harapan ia mendapatkan hati pemuda itu? Ia jadi berharap.

“OYA! OYA! OYA! KOLAM RENANG GRATIS ASIQUE!”

“Oya oya oya di Haikyuu keleus.”

Daiki, Ryouta, dan Taiga berlari kencang ke sungai. Mereka melepas kaus masing-masing dan menceburkan diri ke sungai yang tak terlalu besar itu. Mengabaikan Shintarou yang memarahi mereka.

“BAYAR DULU WOI! KALIAN GOBLOK NANODAYO!” teriak Shintarou sampai urat-urat lehernya jelas terbentuk.

“Biarin aja, Shintarou. Kayaknya mereka beneran butuh refreshing,” hibur Seijuurou tersenyum, ia membayar tiket masuk. Ibu-ibu yang menyambutnya di pembayaran tiket, terpana oleh senyum sejuta watt Seijuurou.

Diam-diam ibu-ibu itu memanggil anak gadisnya untuk melihat kedatangan pemuda-pemuda tampan dari pusat Kota Julikarta.

Siapa tahu ada yang berminat dengan anaknya.

Bersambung...
Tolong author note-nya dibaca walaupun panjang, hwhw.

Sorry karena diriku menyelipkan romance di sini. Saia akhir-akhir ini sering baca teenfic. Hwhwhw. Maaf juga kemarin aku nggak sempat update 3 chapter lagi, keburu tengah malam :'. Hikd, aku nggak mau janji-janji lagi deh kalau nggak terwujud kayak kemarin :'. Aku usahakan sekarang update 6 chapter, kalau nggak bisa, besok aku update 6 :'

Oh iya Arumi sebenarnya bisa dibilang bukan OC-ku sih. Dia anak Kibutsuji Muzan. Karena nggak ada namanya secara official, aku kasih aja namanya Arumi.

Hehe.

Oh ya, chapter 0.7 mau aku unpublish terus republish lagi. Mau ganti bantal dakimakura-nya si Hide. Kan waktu itu bantalnya bergambar Inosuke, aku ganti jadi karakter lain. Soalnya mereka dalam universe yang sama sih.

Walaupun karakter KnY cuma cameo aja di sini. Hwhwhw

Terima kasih untuk kamu yang berjuang membaca ceritaku dan memberi jejak sampai sini :)

You're the real nice person!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro