Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kos Sultan 0.3

Segar.

Taiga mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil. Ia menyisir rambutnya dan berkaca melalui kaca ponselnya.

“Udah cakep.”

Mengambil dompet dan kunci motor, Taiga keluar dari kamarnya. “Eh, lu mau ke mana ssu ka?” Ryouta mencegat.

“Belanja. Mau ikut?”

Plis, jawabannya tidak.

“Gue mau nitip nih. Belikan pelembap Adil dan Cinta sama Oskadon dong ssu,” pinta Ryouta memegangi punggungnya yang masih encok. Berdiri saja masih terbungkuk-bungkuk.

Pegel ssu, batin Ryouta.

“Duit?”

“Pakai duit lo aja ssu yo. Hehe.” Ryouta ngacir ke kamarnya. Taiga tidak sempat menolak.

Sosok pemuda jangkung bersurai hijau lumut menghampirinya menggantikan keberadaan Ryouta. “Lo penghuni baru nanodayo? Gue bertanya bukan berarti peduli nanodayo,” tanya si hijau lumut sambil menaikkan posisi kacamatanya.

“Erm ... iya. Gue Kagami Taiga.” Taiga tetap meladeni pemuda di depannya walaupun pengin cepat-cepat kabur dari kos sebelum orang yang minta titip kepadanya semakin banyak.

“Midorima Shintarou. Jangan salah sangka, gue nggak mau kenalan sama lo nanodayo. Ini cuma formalitas. Oh ya, gue boleh nitip obat tetes mata nggak nanodayo? Bukannya gue mau andelin lo tapi waktu gue dikit banget nanodayo,” pinta si lumut berkacamata panjang lebar.

Agak lama bagi Taiga memproses ucapan pemuda di depannya. Mulut mangapnya dilengkapi mata yang kosong melihat entah ke mana semakin menambah kesan goblok di wajah sangar Taiga.

“Halo.” Shintarou menjentikkan jarinya di depan Taiga, berusaha mengembalikan kesadaran sang pemuda Kagami.

Nanodayo. Nanodayo. Nanodayo.

“Lo ngerti apa yang gue bilang tadi nanodayo?” tanya Shintarou.

“Ngerti nanodayo,” jawab Taiga dengan logat yang sama seperti Shintarou.

“Oke nanodayo,” ujar Shintarou. Dia tidak sadar Taiga mengikuti logat bicaranya.

Shintarou memasuki kamarnya. Belum jadi pintu kamarnya tertutup, sosok pemuda lainnya muncul menyembulkan kepalanya dari balik pintu. “Woi! Salken ya, gue Takao Kazunari. Titip ketoprak dan bakwan di kedai Mpok Emi, ya! Thank you! I love you muah muah!” seru Kazunari dari kamarnya dan memberi flying kiss untuk Taiga.

Usai berseru demikian, ia menutup pintu kamarnya. Taiga terbengong-bengong di koridor. “What the?

Akhirnya Taiga sadar. Sudah empat orang nebeng uangnya, ia harus bergegas supaya uangnya tidak habis. Ingatkan dirinya untuk menagih uangnya kepada tiga orang pemuda barusan yang nongol tiba-tiba saja di depannya.

“Hei! Penghuni baru, nitip print tugas gue dong!” Sebuah flashdisk melayang dan mendarat di atas kepala merah Taiga.

“Nitip nanas muda juga!”

“Belikan lima bungkus keripik kentang, lima bungkus biskuit Waktubagus, dua botol Coca-Cola ukuran sedang, dan borong Yupi untuk gue ya.”

“Gue pesan mie tek-tek di pangkalan ojek!”

“Sate madura dua bungkus!”

“Gue tim sate padang. Belikan tiga bungkus!”

“Lo yang rambut merah belikan gue jambu merah di lampu merah ya. Kitakore!”

Kepala Taiga langsung pusing ketika satu persatu pintu kamar di lantai dua terbuka.

***

Taiga sudah mencatat semua pesanan para penghuni di kosannya beserta pengeluaran setiap pesanan. Ia akan menagih satu persatu kamar kecuali Junpei. Bukannya takut, Taiga merasa berterima kasih saja Junpei sudah memaksa Tetsuya yang keras kepala untuk bersih-bersih.

Setibanya di depan pintu masuk kos, Taiga diserbu oleh penghuni kos yang menggunakan jasa titipannya. “Helo, semuanya!”

Dikacangin.

Guys!”

Masih diabaikan. Taiga mulai panas melihat Wei Liu dan kakak tidak sedarahnya—Himuro Tatsuya—colek-colekan kuah sate tanpa memedulikan panggilannya, serasa dunia milik berdua!

Kalau colek-colekan krim kue mah Taiga santai saja, tapi ini kuah sate! Dasar aneh! Taiga prihatin melihat kakaknya ketularan abnormal penghuni kos ini. Ada najis-najis gimana gitu melihat Tatsuya ketawa-ketawi bareng cowok. Kalau cewek mah Taiga sujud syukur, kakaknya bisa mengakhiri masa berlaku jonesnya.

“WOI! WAIFU LU DUA DIMENSI!”

Seketika ruang keluarga di kos itu hening. “Jadi, gue Kagami Taiga, meminta bayaran atas jasa yang kalian gunakan,” ujar Taiga, tidak lupa dengan senyuman mautnya.

Semua orang kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Bahkan Tatsuya mengabaikan Taiga.

Sakit.

Taiga merajuk, ia pergi ke kamarnya. Diam-diam ia mengeluarkan rendang yang ia bawa dari rumahnya di kampung halaman.

Masakan emak memang terbaik.

Sengaja Taiga sembunyikan di tempat tersembunyi. Di mana tempatnya yang lebih spesifik? Rahasia.

Diam-diam Taiga makan di dapurnya—Tetsuya sengaja menyediakan dapur kecil agar tidak repot-repot memasak di dapur utama ketika tengah malam. Daging rendang yang empuk dicampur nasi hangat dari rice cooker menghilangkan segala tekanan yang dihadapi Taiga hari ini. Manis pedas rempah menyerap ke daging rendangnya memberi sensasi lidah menari-nari dan keringat mengalir dari pelipis.

Taiga baru ingat ia tidak punya kipas di kamarnya. Pantas saja ia berkeringat.

Taiga baru akan lanjut ke piring kedua, pintu kamarnya didobrak dan sekumpulan pemuda berdesak-desakan di pintu kamarnya.

SIA MAH HIRUP TEH CULAMETAN MET MET, CULAMETAN MET MET.”

SIGA NA MAH KALAU ADA MAKANAN DI MEJA MANGGA LEGLEG KUSIA, TERORET TERORET.”

“Berisik lu pada,” ketus Junpei ke Shun dan Koutarou yang bersuara di kanan juga kiri telinganya. Biarlah berisik, kalau ada makanan gratis dan juga enak siapa pun rela melakukan apa saja.

“Rendang woi! Rendang!”

“Serbuuuu!”

“Makanan gratis coy!”

“Berkah di akhir bulan!”

“Selama masih ada yang gratis, kenapa enggak?”

“Kalian kayak ada pembagian sembako aja nanodayo.”

“Jangan tsundere dong, Shin-chan.”

Kalau kamarnya tidak terletak di lantai dua, dijamin pasti Taiga kabur bersama rendangnya keluar dari kos.

***

“Huah ... kenyang ssu!”

Suara sendawa bersahut-sahutan di kamar Taiga. Pemuda-pemuda tampan di kamar si tunggal Kagami saling menertawakan suara sendawa masing-masing. Taiga meratapi kotak-kotak yang awalnya menampung sekilo rendang sudah ludes tak meninggalkan sisa. Bahkan minyak di kotak-kotak tersebut sudah disapu bersih.

Persediannya untuk beberapa bulan ke depan sudah benar-benar habis. Uangnya terkikis, sambalnya habis, harapan hidupnya menipis, hidungnya kembang kempis, dan kesabarannya telah memasuki kondisi kritis. Hidup Taiga semakin miris.

Taiga ingat ia hanya anak baru di antara manusia-manusia lapar di sekelilingnya. Marah-marah akan menimbulkan masalah baru baginya. Tidak mau mencari masalah, Taiga mengambil bantal tidur dan gulingnya, ia memutuskan untuk mengungsi ke ruang keluarga.

Ruang keluarga kosong melompong tanpa siapapun di sana. Bungkus-bungkus makanan berceceran di mana-mana dan Taiga tidak mau repot-repot membersihkannya.

Taiga lagi bad mood, guys.

Menggunakan bantal sebagai alas dadanya, Taiga dalam posisi tengkurap mengeluarkan ponsel tercinta dari saku celananya.

Game burik 8bit kesayangannya dibuka.

Eh maksudnya free fire.

“WOI KANAN TEMBAK! KANAN!”

“DI ATAP ADA MUSUH!”

“AMBIL SENJATA DI SINI! GUE BANYAK DAPAT SENJATANYA!”

Mentang-mentang sendirian ia seenaknya teriak-teriak.

Dasar Taiga jones. Ups!

“Guk.”

“Guk.”

“APAAN SIH? GANGGU AJA! NGGAK LIAT GUE LAGI ASYIK MAIN? DASAR ANJING!” hardik Taiga ke seekor anjing kecil yang mendorong bola mainannya menggunakan moncong menuju lengan kekar Taiga.

Wait a minute. Anjing?

“BANGSAT! BENERAN ANJING!”

Tidak memedulikan ponselnya, Taiga berlari menuju lantai dua. Ia beberapa kali terpeleset hingga menimbulkan suara gaduh. Pemuda-pemuda yang asyik nongkrong di kamar Taiga langsung menghambur keluar.

“Lo kenapa?” tanya Junpei dengan suara wibawanya.

“Ada maling-cchi ssu?” sambung Ryouta. Untung encoknya sudah hilang, Ryouta sudah bisa berjalan tegap. Fans-nya tidak jadi berkurang.

“Atau hantu?” Mibuchi Reo bersuara dengan sebelah alis aduhainya terangkat.

“I-itu....”

“Guk!” Anjing bermata biru yang menjadi pelaku Taiga teriak-teriak tidak jelas di malam hari, menatap Taiga bersemangat. Ia melompat-lompat dan mengibas-ngibaskan ekor kecilnya, bertujuan mengajak Taiga bermain bersamanya.

“Ooh ... lucunya ssu. Nigou memang lucu, lo ngapain takut?” Ryouta menghampiri Nigou dan sejurus saja anjing kecil itu melompat ke bahu Taiga.

“EH KUNING-KUNING NGAMBANG! DIA DI BAHU GUE NIH! BISA-BISA LEHER GUE DIGIGIT SAMPAI GUE MATI!” teriak Taiga berusaha menepis Nigou yang bersemayam di bahunya. Ryouta mengambil Nigou dari bahu si pemuda merah.

“Jahatnya ssu.” Wajah ceria Nigou digantikan wajah sedih, lantaran ia ditolak mentah-mentah oleh orang yang ia ajak bermain. Biasanya siapapun yang ia ajak tidak bisa menolak permintaannya.

“Kaing.”

Ryouta memeluk Nigou yang berada di dalam gendongannya, anjing kecil itu menggeliat manja dan mencari posisi nyaman.

“Kita cari Tetsuya-cchi dulu ssu.” Ryouta turun ke lantai satu, meninggalkan Taiga bersama sekelompok pemuda yang menatapnya garang.

“Jadi gara-gara Nigou doang lo ganggu acara santai kita? Padahal Nigou nggak ada salah apa-apa lho,” tukas Junpei memperbaiki kacamatanya. Kilatan kemarahan terlihat di matanya.

“I-itu.” Taiga gagap lagi.

“Shun, ambilkan sapu.”

Izuki Shun, pemuda tampan yang suka membuat puns tersebut memberikan sebuah sapu lidi. Junpei menyeringai dengan sapu lidi terpukul-pukul pelan di atas telapak tangannya.

Gestur mengejek ketidakberdayaan Taiga.

“Ini gue punya nanas.”

“Nih ada bedak tepung.”

“Teman-teman, berhenti,” lerai Teppei.

Teppei diabaikan, guys. “SEMUANYA SERAAAANG!” Junpei memberi komando.

“ASHIAAAP!”

“TYDAAACK!” pekik Taiga seperti orang-orang di sinetron yang akan tertabrak mobil. Bukannya lari malah teriak.

Jadilah malam itu Taiga digebuk sekampung—bukan dalam pengertian harfiah.

Bersambung...

OMAKE

“Berisik di atas sana kenapa ya?” tanya Tetsuya. Ia mengelus kepala Nigou yang tidur nyenyak di pangkuannya.

“Entahlah ssu.”

Bergeser ke kosan sebelah, Jean memantau tetangganya melalui teropong. “Ada apa?” tanya Connie.

“Biasalah, anak baru kena bully.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro