Bonus Chapter Second Arc: Paradoks Hati
Sehari sebelum KiseDai liburan ke air terjun.
“Kalian memang udah kuliah, tapi penampilan tetap utama. Kalian 'kan katanya mau ngejar gebetan masing-masing, ya permak dong penampilan,” omel mama memotong rambut Mas Jean.
Mas Eren berkaca, manggut-manggut menatap wajahnya yang bersih dari kumis dan jenggot, rambut sepundaknya dipotong mama hingga ke bawah telinganya. “Siap, Tan. Abis ini boleh nggak saya kencan sama Satsuki?” tanya Mas Jean.
Buaya yang satu ini benar-benar ya.
“Nggak boleh. Awas dekat-dekatin anak saya.”
“Ampun, Tan.”
Mama membuka kain yang membungkus tubuh bagian atas Mas Jean, mama menepis rambut-rambut yang tersisa. Aku yang memeras kain jemuran, menatap Mas Jean yang mencukur kumisnya sekilas dan aku lanjut menjemurkan kain.
“Makasih, Tan! Dapat cukur rambut sama jenggot gratis nih! Asique!”
Mas Jean dan Mas Eren yang telah rapi kembali, membantu mama mengangkat barang-barang cukur rambut dadakan yang diadakan mama di halaman depan kos. “Satsuki! Bapak kamu tentara 'kan?” panggil Mas Yoshitaka dari balkon kosnya.
“Iya, Mas!” sahutku mengangkat ember kosong.
“Pantesan anaknya jago melindungi hatiku dari serangan kecantikan cewek lain,” goda Mas Yoshitaka.
“Bisa aja, Mas. Satsuki masuk dulu,” pamitku risih dan tersenyum paksa.
Mama dulu pernah juga digodain, ia mendiamkan orang yang menggodanya. Bukan sepertiku yang sok-sok mendengar rayuan para lelaki buaya di sekitarku. “Satsuki, aku udah ganteng 'kan? Berarti cocok untuk kamu yang cantik,” rayu Mas Jean saat kami berpapasan di ruang tamu.
“Hehe, Mas Jean bisa aja,” balasku.
“Jangan dengerin nih eek kuda laut,” suruh Mas Eren mendorong kepala Mas Jean ke depan.
“Apaan sih?”
Mereka tabok-tabokan kepala hingga keluar dari kos.
Aku menaruh baskom kembali di kamarku dan mama, selepas itu aku melangkah menuju dapur dan mengeluarkan susu kotak yang kubeli semalam. Mama tengah mengiris daun seledri untuk memasak nasi goreng, ponselnya terletak tak jauh darinya.
Suaranya sih ... suara laki-laki dewasa yang berbicara dengan mama. Suara itu belum pernah kudengar sebelumnya eh atau sudah pernah? Aku sedikit kenal.
Apa mama mau mencari papa baru?
Tidak ... tidak mungkin.
Menunggu mama selesai memasak, aku keluar dari kos dan berjemur menikmati sinar matahari. “Dek Satsuki main ke sini, yuk!” panggil Mas Hide nangkring di batang pohon mangga Kos Sultan.
“Ampun dah sama ni tapir anoa satu,” ujar Mas Ken menggelengkan kepalanya.
“Satsuki cocoknya sama gue, bukan ama lu, Hide buluk.” Mas Jean ngaku-ngaku lagi.
Dah jelas aku sukanya Mas Tetsu.
“Ngarep lagi lu. Bikin ilfil aja.”
Mas Jean dan Mas Eren tabok-tabokan lagi.
Mereka ini anak kuliahan atau bocah TK sih?
“Mbak Akane akan kunikahi di masa depan! Tenang aja, Mbak!”
Menoleh ke rumah sebelah, Mas Shun tengah menggombali Mbak Akane yang menepuk-nepuk ranjang tipisnya. “Sa ae lu, skripsi aja belum beres,” omel Mbak Akane menampol kepala Mas Shun. Mbak Akane adalah kakak perempuan Mas Shinji.
Mengabaikan mereka, kos hijau muda adalah tujuan kakiku melangkah. “Mikasa-chan mau Abang temanin?” tawar Mas Yoshitaka mesem-mesem gaje ke Mikasa yang menunggu Mbak Sasha menalikan sepatunya di teras.
“Atau Satsuki aja yang mau ditemani?” Mas Yoshitaka berbalik dan tersenyum ke arahku.
“Eh ada Satsuki sini. Mau pergi juga, cantik?” ajak Mas Reiner tersenyum sembari menyisir rambut pirangnya. Ia menunggu Mas Bertholdt yang menyuapkan ikan ke seekor kucing berbulu putih bersih.
Kucing siapa ya? Rasanya belum pernah lihat sebelumnya.
Tersenyum canggung, aku menggeleng dan menghampiri Mikasa. “Buaya banget cowok-cowok di sini,” bisik Mikasa.
“Ya git-”
“Sasha! Mau jalan-jalan ke Burger King bareng gue?” panggil Mas Reiner, ia mengincar Historia tetapi masih juga menggoda cewek-cewek di sini. Di sebelahnya Mas Bertholdt menggelengkan kepala setelah kucing yang ia beri makan pergi.
Kedua pemuda itu berdiri bersebelahan dengan Mas Yoshitaka yang menunggu jawaban Mikasa. Mas Yoshitaka menatap Mikasa penuh harap, kuyakin ia akan menghampiri kami bertiga dalam waktu dekat jika Mikasa tak bereaksi.
“Ma-”
Mikasa menahan Mbak Sasha yang akan menghampiri Mas Ryouta. “Sasha sedang nggak mau pergi, bisa sehari aja jangan mengganggu kita?”
Gadis dingin itu melangkah dan berjalan ke duo buaya Kompleks Beringin. Tatapannya dingin meruntuhkan wajah iseng mereka, sehingga kedua pemuda itu berlari ketakutan ke luar perkarangan kos.
“Maafin mereka, Mikasa. Aku akan berusaha menegur mereka, terutama Reiner karena dia sahabatku,” ucap Mas Bertholdt mengatupkan tangannya dan bungkuk-bungkuk merasa bersalah.
Orang yang tak melakukan apa-apa di sini justru meminta maaf. Miris.
“Nggak apa-apa. Bukan masalah kok.” Tubuh Mas Bertholdt tetap sedikit bergetar ketakutan di depan Mikasa yang auranya kini kembali tenang.
“Aku pamit dulu, ya.”
Mas Bertholdt tersenyum kecil, ia mengejar langkah sang sahabat yang meninggalkannya.
“Kak Satsuki mau ikut kami ke warung Mpok Emi?” ajak Mikasa.
Aku mengangguk.
Inilah Kompleks Beringin yang dikenal buaya-buaya gaharnya, hanya Mikasa yang mampu membuat mereka ciut layaknya bayi kucing. Aku harus menghindari mereka, lelah digoda setiap hari. Aku berpikir menjadi jelek adalah jalan terbaik menjauhi mereka.
Tetapi kalau aku jelek apakah peluang mendapatkan Mas Tetsu lebih besar?
Kala pemuda-pemuda lain tertarik dan menggodaku, mengapa Mas Tetsu tak pernah melirikku? Apa ia pikir perasaanku main-main karena aku terlalu blak-blakan?
Kata orang-orang aku akan mudah mendapatkan orang yang kucintai, tanpa repot berjuang mendapatkannya. Hei, kubilang padamu, pendapatmu itu salah. Sebelum menyukai Mas Tetsu, aku pernah menyukai seseorang di sekolah.
Hasilnya ... ia dimiliki orang lain.
Orang-orang mengatakan aku cantik dan memiliki proporsi tubuh yang bagus. Sini kutanya, apa sisi positifnya bagiku jika aku gagal bersatu dengan orang yang kucintai?
Apa mengalami kisah cinta miris selama remaja adalah takdirku? Seharusnya aku mudah mendapatkan laki-laki manapun bukan?
Inilah hidup. Bagaimanapun orang memandang tinggi dirimu, tetap saja kau membutuhkan perjuangan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan.
***
“Satsuki, kamu setuju mau punya papa baru?”
Pertanyaan mama tadi pagi masih terngiang jelas di ingatanku. Usai belanja sebentar di warung Mpok Emi, aku harus berjuang meladeni godaan-godaan para buaya. Untung ada Mikasa yang membantuku mengusir mereka.
Tiba di kos, aku langsung memeluk mama dan kami sarapan berdua. Di tengah hangatnya perbicangan, tiba-tiba saja mama menanyakan hal itu. Membuat perasaanku memburuk, aku meminta izin Mas Seijuurou untuk tidak mengawasi mereka latihan hari ini dan meminta tolong Mbak Eto menggantikanku.
Bagi orang-orang tentu ini masalah kecil. Mama pasti kesepian sepeninggalan papa dan memikirkan mentalku yang masih labil dibimbing oleh seorang ayah, juga orang yang melindungiku dari buaya-buaya darat. Mengapa aku justru menolak kebaikan mama?
Mama tidak memaksaku dan membiarkanku berpikir. Mama akan melakukan apa saja demi kebahagiaan dan ketenanganku.
Bukan hanya mama yang seperti itu, aku juga ingin mama bahagia. Di sisi lain, aku sangat takut punya ayah baru. Di berita-berita yang kubaca, banyak sekali ayah tiri yang ujung-ujungnya—maaf—melecehkan anak tirinya.
Aku takut hal itu terjadi padaku.
Selain itu, alasanku adalah aku belum siap menerima keberadaan orang lain. Aku masih menyayangi papaku meskipun ia tenang di dunia lain. Papa adalah cinta pertamaku, aku takkan bisa melupakannya.
Seharian aku mengunci diri di kamar, mama mengungsi ke kamar Mbak Eto dan Mbak Rize. Mama memberiku ketenangan berpikir. Kalau aku mengatakan tidak ingin papa baru, mama pasti dengan mudahnya menuruti permintaanku itu.
Aku ingin sekali membahagiakan mama dan mementingkan keputusannya. Lantas mengapa emosiku masih labil dan belum menerima kenyataan mama membuka hati? Selama ini mama selalu mengikuti keputusanku.
Kata nenek, mama adalah perempuan yang keras kepala, tentu berat baginya mengikuti keinginan orang lain. Tanpa sadar aku menyiksa mama bertahun-tahun dengan permintaanku yang egois, apa aku harus menyiksa mama untuk kesekian kalinya?
Ayo buatlah keputusan, Satsuki. Bukannya kamu harus membalas kasih sayang mamamu? Kamu telah merasakan sakitnya tidak bersatu dengan laki-laki yang kamu cintai. Apa kamu ingin mamamu merasakan hal yang sama?
Aku berpikir semalaman, bergelut melawan emosi labilku. Jangan egois sekali ini saja, Satsuki. Argh ... pusing sekali memikirkannya. Aku terlalu berat menerima keputusan mama dan di sisi lain aku ingin mama bahagia.
Aku juga ... juga ingin sosok ayah ada di dalam hidupku, tetapi aku ingin papa kembali hidup bukan sosok baru yang menggantikan papa.
Hari berganti cepat. Aku dan Mbak Eto bersiap-siap mengawasi KiseDai yang akan melaksanakan latihan fisik mereka. Aku bangun lebih lambat dari mama karena merasa sangat bersalah belum menentukan keputusanku.
Menunggu di ruang tamu, aku terlalu takut keluar rumah.
Takut akan digoda lagi. Menyesal kemarin aku terlalu lama di luar, para buaya seenaknya saja menggodaku tanpa tahu aku ketakutan setiap melihat wajah iseng mereka.
Aku ingin Mas Tetsu yang baik hati dan menghargai perempuan, bukan mereka yang sama sekali tak mengerti mengerikannya perasaan digoda.
Bersama KiseDai dan Mbak Eto, aku sangat bahagia dan seperti menjadi diriku sendiri. Aku tertawa dan tersenyum tulus, bukan kepalsuan seperti yang kulakukan setiap harinya. Mereka adalah saudaraku.
Meskipun Mas Ryouta kelakuannya buaya, aku tidak takut karena dia sendiri kuanggap kakak.
Belenggu yang menyesakkan dadaku sejak tadi malam, mulai putus oleh kehangatan KiseDai.
Aku ingin bersama mereka selamanya.
***
Aku dan Daiki duduk di salah satu warung, menunggu pesanan kami selesai dibuatkan. Sedikit meregangkan tubuh, aku merasa lebih segar. Entah itu secara fisik ataupun mental, semuanya segar. Layaknya aku terlahir kembali.
Mungkin inilah waktunya aku memikirkan permintaan mama. Daiki tampaknya bisa kuandalkan.
“Dai-chan,” panggilku. Daiki yang tengah mengunyah tahu isi menatapku.
“Aku mau cerita sesuatu,” sambungku.
“Cerita aja.” Daiki mengoleskan saus pada tahunya.
“Mama mau menikah lagi kayaknya, aku nggak tahu harus gimana. Aku ingin mama bahagia, di sisi lain aku takut papa baruku bukanlah orang baik dan aku masih sangat menyayangi papaku yang lama,” ceritaku.
Daiki menatapku mengerti, ia tahu aku tak mampu bercerita panjang lebar mengenai keseluruhan hatiku. Jadinya Daiki menatap wajahku untuk memahami apa yang kurasakan. Sebego-begonya Daiki, ia lebih peka dari orang-orang pikir.
“Satsuki. Keputusan terakhir di tangan lo, gue cuma mau ngasih saran,” ujar Daiki.
Aku menatapnya penasaran. Apa yang akan disarankan lelaki bersurai navy blue itu?
“Bukan hanya Tante Keyzi yang kesepian, lo pasti juga gitu. Ngeliat anak-anak yang bahagia bareng ayah mereka, lo ngerasa gitu 'kan?”
Daiki benar. Aku berangkat sekolah selalu diantar mama, kala melihat teman-temanku diantar ayah mereka, aku jadi membayangkan di posisi yang sama. Papa mengantarku dan tersenyum kecil di balik kaca helmnya.
Pulang sekolah papa dan mama kompak menanyakan kabarku. Sudah lama sekali ya terakhir kali aku melihat itu?
“Lo juga butuh dimanja seorang ayah. Ayah kalau manjain anak ceweknya pakai cara yang beda dari ibu.”
Ya ... dulu papa menuruti apa saja yang kupinta, sedangkan mama lebih tegas karena mama memperhatikan kesehatan dan apa manfaat sesuatu yang kuminta bagiku. Aku belum pernah dibelikan boba tea oleh mama karena mama berkata boba tidak baik untuk kesehatan.
Jika ada papa pasti ia akan membelikanku boba tea tanpa aku sembunyi-sembunyi dari mama ketika membelinya. Bukannya papa tidak memikirkan kesehatanku, tentu ia memberiku sedikit kelonggaran dan tak terus-terusan bersikap tegas padaku.
Aku teringat Arumi yang dimanjakan ayahnya, ia diantar jemput menggunakan mobil Pajero Sport. Ayahnya juga sampai menyediakan bodyguard untuknya. Terkesan lebay bagi orang biasa, tetapi di mata seorang ayah putrinya lebih berharga dari apapun.
Kudengar ayah Arumi seorang dosen dan juga punya kafe, tentu ia sibuk dan tidak bisa dua puluh empat jam mengawasinya. Ibu Arumi telah meninggal, dirinya juga anak tunggal. Tentu dimanjakan ayahnya.
“Kadang gue lihat Tante Keyzi kayak kesepian gitu. Lo mau 'kan bikin mama lo bahagia? Dia butuh seseorang. Sekuat-kuatnya wanita, dia butuh seseorang untuk bersandar.”
Pikiranku kosong. Aku menatap Daiki, memintanya melanjutkan saran.
“Gue ganti pertanyaannya. Lo pasti kesepian 'kan cuma ada lo dan mama lo doang di keluarga lo? Lo pasti butuh sosok seorang ayah di kehidupan lo. Tante Keyzi juga butuh seorang teman hidup yang bisa diajak bercerita, karena nggak semua apa yang dirasakan Tante Keyzi diceritakan ke lo.
“Kalau Tante Keyzi bahagia, lo juga bahagia karena keluarga yang lengkap. Lo butuh perlindungan.”
Ya. Aku sering kesepian, mendengar teman-temanku menceritakan kenakalan saudara mereka ataupun ayah yang melarang mereka pacaran membuat hatiku sakit.
Aku ingin punya saudara yang bertengkar denganku.
Aku ingin punya ayah yang menjagaku. Mama pasti kelelahan menjagaku sendirian meskipun mama tetap bungkam menyembunyikan rasa sakitnya sendiri.
Air mataku tumpah. Daiki mengusap rambutku dan menarikku ke dalam pelukannya, membiarkanku menumpahkan emosi yang kacau balau.
“Ak-aku mau mama bahagia tapi aku ragu papa baruku nanti baik atau nggak. Aku takut ... aku mau papaku yang lama kembali,” ujarku.
“Mama lo nggak mungkin pilih orang yang jahat untuk pendamping hidup dan ayah dari anaknya. Satsuki, lo menginginkan figur seorang ayah, lama-lama lo akan menerima juga siapapun ayah baru lo nanti,” balas Daiki lembut.
“Kalau gitu Dai-chan mau jadi papa baru aku?”
“Yeu ... sembarangan.”
Daiki terkekeh melepas pelukan dan mengacak rambutku. Meski rambutku acak-acakan, hatiku perlahan tenang dan emosiku kembali stabil. Berbicara dengan Daiki mampu membuat pikiranku terbuka.
“Satsuki,” panggil Daiki.
Aku yang menatap air terjun sebentar, menujukan perhatian padanya. “Keputusan tetap ada di tangan lo, gue cuma ngasih saran. Yang menjalani 'kan elo, bukan gue yang jadi komentator doang.”
Jika aku menyetujui permintaan mama, aku juga ikut bahagia 'kan? Aku tidak boleh egois, setidaknya sekali saja aku mengorbankan egoku demi mama. Walaupun berat karena aku masih menyayangi papaku, aku harus menerima sosok baru itu 'kan?
Tersenyum, aku berujar, “Aku emang belum yakin sama keputusanku, tapi kayaknya kamu udah ngasih aku pencerahan.”
Kuharap keraguanku akan kehidupan baru cepat menghilang karena aku ingin mama bahagia secepatnya.
Apapun keputusan mama, aku yakin dia telah memikirkan baik buruknya keputusan yang ia ambil.
Daiki menyengir. “Ya, gue tahu kalau gue adalah cowok yang bisa diandalkan.”
Bonus Chapter 2 End
Huft... emang chapter ini agak membingungkan ya karena emosi remaja aslinya gitu. Labil dan susah dipahami. Paradoks.
Happy birthday to my daughter! Mudah-mudahan makin pinter, makin cantik, diterima sama Tetsuya ya! Nggak lagi digodain sama buaya-buaya darat. Apapun yang kamu inginkan tercapai. Love you, Satsuki!
Tumbuh bersama :3
KnB best girls
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro