#8 Rencana; Kelana
🎶 Fiersa Besari - Nadir
🥀🥀🥀
Hari jumat telah tiba, dan ini adalah hari terakhir Ulangan Akhir Semester di Universitas Gajah Mada. Lihat saja, di koridor kelas, para mahasiswa tampak sibuk berkutat dengan buku masing-masing. Ada yang saling bertukar opini, sharing tentang soal-soal yang sekiranya sulit 'tuk ditebak, dan ada pula yang saling menge-test hafalan rumus suatu materi yang sengaja disederhanakan.
Menjadi seorang mahasiswa bukan tanpa resiko. Ada banyak hal yang mesti dikorbankan, jam istirahat misalnya. Bayangkan saja. Demi menuntaskan satu tugas saja, hampir setiap mahasiswa pernah melakoni sistem kebut semalam. Selain dituntut untuk berpikir, mereka pun harus bertahan melawan rasa kantuk yang sudah tak bisa dikompromi lagi. Alhasil, secangkir kopi pun jadi teman sejati para pejuang mimpi. Mimpi yang bukan hanya sebatas gelar sarjana dibelakang nama saja, namun mimpi agar bisa menjadi manusia berpendidikan yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bangsanya sendiri.
"Ngeri banget ya di negeri ini. Tadi gue liat berita di TV, ada seorang wanita diperkosa lebih dari dua orang terus dibakar hidup-hidup buat ngilangin jejak. Ish! Kejam banget tuh orang!" tutur seorang laki-laki berambut cepak. Kulitnya berwarna eksotis, giginya putih dan rapi, dan dia suka sekali memakai kemeja flanel motif kotak-kotak. Itulah ciri khasnya.
"Itu mah bukan orang, tapi binatang! Nggak punya hati banget. Akalnya juga ditaro di mana, tau!" tambah seorang pria berkacamata dengan mimik geramnya. Bahkan, ia ingin sekali mengutuk si pelaku biadab itu dengan kata-kata kasar. Akan tetapi, ia tahu, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada korban yang telah meregang nyawa dengan cara semengenaskan itu.
"Begitulah, kalo manusia udah dikuasai nafsunya sendiri. Kelar dan fatal akhirnya! Itulah sebabnya kita ada di sini. Kita belajar norma-norma, etika, juga nyari pengalaman buat masa depan. Karena semakin banyak orang yang ingin pintar, semakin banyak pula orang bodoh berkeliaran di sekitar," tutur Zian, anak Fakultas Ekonomi yang lihai menyelami lautan tanpa peralatan khusus alias freedive.
Beberapa jenak kemudian, bel pertanda masuk kelas pun menggema di seantero gedung kampus. Para mahasiswa pun berbondong-bondong ke ruangan kelas dengan tertib. Tanpa ricuh seperti anak SMP atau SMA. Selanjutnya, mereka pun diberi beberapa lembar kertas berisi soal UAS. Dosen pun memberi pengarahan sejenak, lalu memberikan waktu selama dua jam untuk mengerjakan soal berupa essay tersebut.
Tak terasa, dua jam pun telah berlalu. Dosen menginstruksikan pada mahasiswa di ruangan 14A untuk mengumpulkan lembar jawabannya ke depan. Setelah itu, terserah mereka mau apa dan ke mana karena selanjutnya libur panjang telah menanti raga yang letih dan haus akan liburan.
Sementara, di salah satu sudut ruangan, seorang gadis cantik tengah membereskan alat tulisnya ke dalam tas, kemudian menenteng tiga buku sambil melenggang pergi dari sana.
"Naura!" panggil seseorang.
Yang mempunyai nama pun menoleh ke arah sumber suara, lalu melambaikan tangan. Sejurus kemudian, dihampirilah gadis itu oleh seorang pria yang mengenakan T-shirt hoodie berwarna navy.
"Habis ini mau ke mana?" tanya pria itu dengan senyuman khas yang mengembang indah di bibirnya.
"Ke perpustakaan kampus. Kamu tunggu di parkiran aja, ya. Aku cuma mau ngembaliin buku ini sebentar."
"Ya udah, hati-hati, ya. Aku tunggu di parkiran."
"Iya, Bawel!
Naura dan pria itu pun melangkah ke arah yang berlawanan. Setelah menulis di buku daftar peminjaman buku, dia pun berterima kasih pada pengurus perpustakaan dan pamit pergi. Akan tetapi, saat ia melewati papan pengumuman kampus di koridor utama kampus, tiba-tiba saja datanglah seorang pria bermuka datar sambil menyodorkan selembar pamflet.
"Jangan lupa nanti malam rapat bareng anak Mapala," tutur pria itu tanpa tersenyum. Tatapannya terkesan tajam, padahal ia adalah salah satu cowok mostwanted di kampus. Namun karena sikap dingin dan misteriusnya, ia pun mendapat julukan 'Prince Ice' alias Pangeran Es oleh anak-anak kampus.
"Oke, Kak."
"Jam tujuh," tegas pria bernama Bara itu, lalu melangkah pergi entah ke mana.
Kepergiannya itu menyisakan tanya di benak Naura. "Kok ada ya cowok yang kayak gitu? Aneh!" desisnya dalam hati. Karena tak ingin terlalu memikirkan kemisteriusan sosok Bara, ia pun merenungkan, akan dihabiskan untuk hal apakah hari liburnya itu.
"Naufal, maaf ya jadi nunggu lama. Soalnya tadi ngobrol sebentar sama Kak Bara."
"Kak Bara ... Ketua Komunitas Mapala?"
Naura mengangguk mantap.
"It's okay. Ya udah, yuk berangkat! Ntar pameran kulinernya keburu ludes, lho! Soalnya tadi aku liat di Instagram, pengunjungnya udah membludak dari jam 7 pagi," kata Naufal sambil menyodorkan sebuah helmet hitam pada Naura.
"Berangkaaat! Kita kulineran! Pas banget, ini perut aku udah rusuh dari tadi. Hehehe," ucap Naura diiringi tawa renyah. Setelah memakai helm dan duduk di jok motor vixion hitam itu, Naufal pun mengendarai motornya dengan kecepatan agak tinggi. Alhasil, sebuah pelukan pun melingkar di perut pria jangkung itu.
Senyuman pun mengembang di bibir keduanya. Sedangkan, jantung Naura berdebar-debar tak menentu. Entah karena kaget atau efek apa. Entahlah. Kemungkinan besar, ia terkejut karena Naufal tetiba saja ngebut. Dan satu hal yang ia pinta kala itu, "Semesta, Semoga dia tidak mendengar degup jantungku yang entah mengapa mengencang hebat saat bersamanya."
🥀🥀🥀
Langit menjingga di garis khatulistiwa. Semburat keemasannya membias ke seluruh lapisan langit yang tak terbatas. Ciptakan pemandangan indah yang memesona dan syahdu. Camar pun mengepakkan sayapnya di udara, pulang ke sarang setelah seharian bertualang. Beberapa jenak kemudian, sinar sang surya pun lenyap perlahan, menyisakan gelap gulita yang mulai merajai malam nan kelam.
"Naufal, kenapa kebanyakan orang lebih suka senja ya daripada saat fajar terbit? Senja kan suka meninggalkan, sedangkan sang fajar suka menghadirkan harapan baru untuk orang-orang yang percaya, bahwa ada angan-angan yang bisa menjadi nyata."
"Karena senja itu cuma singgah sebentar di permukaan langit," jawab Naufal sembari melayangkan pandangan lurus ke depan, tepatnya ke objek tak bertepi bernama lautan.
"Jadi, kalo ada perpisahan dua manusia di kala senja, itu gimana, Fal?"
"Bukan salah senja, bila terjadi perpisahan diantara dua insan yang saling mencintai. Karena sebenarnya senja tak berbuat apa-apa. Ia hanya menjalani takdirnya: yang mesti lenyap dan perlahan-lahan meninggalkan."
"Jadi?"
"Senja itu baik. Dia rela meninggalkan langit, demi keutuhan cahaya malam. Dia juga mengalah pada gemintang meskipun semburat jingganya masih ingin menetap di cakrawala."
"Senja sebaik itu, ya?" Naura menatap rona jingga yang membias di atas permukaan laut. Warna keemasan pun merebak di sana. Lebur bersama birunya laut nan bedebur, namun tampak tenang dari kejauhan.
"Bahkan saking setianya pada langit, senja mengikhlaskan pesona indahnya 'tuk ditelan malam nan kelam. Padahal, banyak penduduk bumi yang masih ingin menikmati jingganya. Tapi begitulah, senja itu ikhlas dan tulus dalam mencintai. Sekalipun cintanya itu sebaris dengan merela dan terluka, akhirnya."
Saat sinar surya mulai redup dan perlahan-lahan pupus dari kanvas langit, dialog tentang senja pun mereka akhiri. Kesimpulannya, senja mengajarkan kita mengikhlaskan apa-apa yang mesti dilepas, dan meninggalkan sesuatu yang telah terbiasa bersama.
🥀🥀🥀
Pada pukul tujuh malam, setelah Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam yang beranggotakan 26 orang itu berkumpul di cafe Monokrom, rapat pun dimulai. Dengan posisi meja berbentuk bundar, semua anggota pun bisa bertatap muka satu sama lain.
"Baiklah, untuk menyambut anggota Mapala baru, rencananya lusa kita akan summit ke gunung Prau via jalur Patak Banteng. Oh iya, berhubung ada beberapa anggota baru yang belum pernah naik gunung sama sekali, summit kali ini mau jalan malam atau pagi? Silakan, kalian bebas berpendapat. Nanti kita tampung buat ngambil keputusan akhir," jelas Bara dengan panjang lebar. Tak seperti biasanya, sisi dingin yang cenderung membuatnya suka irit bicara bagai meluap entah ke arah mana. Bahkan, kali ini pria berwajah datar tapi tampan itu menyembunyikan jiwa kepemimpinan yang cukup besarnya di balik sifat esnya. Tak disangka....
"Jalan malam aja, Bar. Biar mereka nggak terlalu shock liat jalurnya," ucap seorang pria berambut gondrong dan agak ikal. Epy Wijaya namanya, anak Komunikasi semester tiga. Biasa dipanggil 'Bang Epy' karena seharusnya ia sudah lulus kuliah karena telat masuk.
"Pagi juga gapapa, kok. Dulu aja pas angkatan gua, pertama muncaknya jalan pagi," tutur Hema, anak Sastra Inggris yang punya hobi nonton anime.
Setelah beberapa anggota mengutarakan isi pikirannya, musyawarah pun dimulai supaya mencapai mufakat. Dan akhirnya, perjalanan malam adalah keputusan final dari rapat kali ini.
"Oke, fix ya, Semuanya?" Bara memastikan kembali sambil mengedarkan pandangan ke seluruh anggota.
"Siap!" jawab mereka kompak.
"Mmm, di sini apa ada yang belum punya carrier?" tanya Bara.
Naura menyenggol lengan Bang Epy pelan. "Aku nggak punya, Bang," bisiknya.
"Bar, ada yang nggak punya carrier, nih. Naura," kata Bang Epy.
"Oh, loe nggak punya carrier?"
"Nggak, Kak. Tapi, nanti aku coba minjem ke temen, deh."
Muka Bara kembali datar. "Mmm, oke."
"Bar, mendingan kita booking tiket keretanya dari sekarang, deh."
"Oh iya, soal tiket kereta ... kita booking sekarang aja via online, ya." Setelah anggota lain setuju dengan jam keberangkatan, mereka pun memesan tiket lewat ponsel masing-masing. Selanjutnya, Jeje sebagai sekretaris komunitas, membacakan barang-barang apa saja yang wajib dibawa saat pendakian.
"Guys, gue juga udah bagi-bagi partner hiking-nya. Per regu ada dua orang, dan nanti dalam setenda diisi oleh empat orang. Bang Epy sama Shilla, Hema sama Kinanti, Zian sama Shiva, Gio sama Luna, Jeje sama Zara, Nino sama Vallerie, Kevin sama Andin, Dito sama Putri, Genta sama Ghea, Oki sama Felly, Bani sama Lisa, Edo sama Yura.... Ada yang namanya belum kesebut?" ucap Bara sambil meletakkan buku catatan kecilnya di atas meja.
"Naura, Kak," gadis berhoodie peach itu mengacungkan tangan.
"Loe sama... Mmm," pikir Bara seraya melihat ulang daftar anggota komunitas Mapala. Barangkali masih ada anggota lain yang juga belum tercantum.
"Naura sama loe lah, Bar," timpal Jeje.
"Kok gue?" Bara tampak tidak terima. Entah Naura salah apa, hingga ia sebegitu enggannya berdekatan dengan gadis penyuka sastra itu.
"Kan, tinggal loe yang belum kebagian partner," jawab Hema.
Bara menghela napas panjang, pasrah pada keadaan. Kemudian, rapat pun diakhiri dengan minum cokelat hangat bersama, dan mereka pun pulang tepat pada pukul sembilan malam.
🥀🥀🥀
"Hei!"
"Lho, Naufal! Kok kamu ada di sini?"
"Iya, aku ke sini buat jemput kamu," jawab Naufal sambil tersenyum tanpa melepas helmnya.
"Tapi kan aku nggak minta kamu buat jemput aku."
"Gapapa, aku cuma pengen tau soal acara komunitas Mapala."
Naura ber-oh ria, lalu memakai helm putih yang disodorkan Naufal padanya.
"Lusa aku sama anak-anak Mapala mau hiking ke gunung Prau. Kamu nggak mau ikut?" tanya Naura di sela-sela hiruk-pikuknya jalan raya di Kota Gudeg.
"Ck! Aku kan bukan anggota Mapala. Kamu ini gimana?"
Naura tertawa kecil. "Kenapa nggak gabung aja, sih?"
"Lho, emang kenapa? Mau bareng-bareng terus sama Naufal, ya? Oh, ya udah nanti aku sampein ke Naufalnya, ya...," kata Naufal sambil tertawa geli.
"Ih, Naufaaal!" Naura mencebikkan bibirnya karena sebal. Ia pun sempat mencubit lengan pria berjaket tracktop filla itu.
"Semesta, rasanya aku ingin mengabadikan tawanya di kanvas langit penuh bintangmu. Bolehkah?" batin Naufal sembari tersenyum penuh arti dan melirik gugusan bintang yang bersinar terang di atas sana.
🥀🥀🥀
Bersambung.
NB: untuk up Selasa kemarin.
🙏 Telat update. Maaf yaaa...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro