Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#7 Bersama Rindu dan Pilu

🎶 Backsong: Senar Senja - Kelana

Selamat membaca. Jangan lupa vote & komentar ya.
😉😉

🥀🥀🥀

Pagi itu, sinar sang fajar menelisik lewat celah-celah dedaunan, lalu sampai di wajah merona seorang gadis yang sedang asyik membaca buku. Nyanyian jelantik pun terdengar begitu merdu dan menenangkan jiwa. Membuat suasana di taman kampus menjadi tampak asri dan nyaman.

"Selamat pagi, Naura," sapa seorang pria yang memakai headband di kepalanya. Senyumnya merekah, lalu ia memberikan sebotol susu rasa melon dan bekal sarapan berupa nasi goreng pada gadis yang disapanya itu. "Buat kamu," lanjutnya.

"Dari kamu?" tanya Naura sembari menutup bukunya dan fokus menatap seorang pria yang kini duduk di sebelahnya.

"Bukan, itu dari Ibu, Naura."
"Wah, terima kasih, ya. Aku jadi nggak enak hati."
"Lho, kok gitu?"
"Habis ... aku jadi ngerepotin Ibu kamu, Naufal."

Lantas, Naufal tersenyum hangat sambil mengacak-acak rambut Naura yang digerai bebas. Ia berucap, "Nggak, kok. Sama sekali nggak ngerepotin. Justru Ibu seneng banget. Ya..., sekalian nyiapin bekal sarapan juga buat aku."

Naura tersenyum tulus. "Bilangin makasih ya, Naufal. Bekalnya pasti aku makan, kok."
Naufal menganggukkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti. "Kamu udah sarapan, kan?"
Naura menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Nakal, ih! Aku aduin ke Bunda, mau?"
"Jangan atuh!" larang Naura sambil cemberut.
"Ya udah sekarang sarapan dulu. Kamu nggak mau Bunda jadi khawatir karena kamu sakit, kan?"
"Iya, Naufal bawel!"

🥀🥀🥀

Setelah kuis pagi, dosen pun memperkenankan setiap mahasiswa dan mahasiswinya untuk mempresentasikan tugas yang diberikan dua hari yang lalu, yakni membacakan karangan puisi karya sendiri dan menyerahkan makalah tentang resensi novel.

Naura yang notabene-nya merupakan pencinta sastra pun akhirnya mengacungkan tangan untuk maju lebih dulu. Membuat segelintir mahasiswa yang masih grogi bisa mengembuskan napas lega dan mempersiapkan diri untuk tampil di depan.

Ketika sudah berdiri di depan kelas, gadis yang mengenakan cardigan motif kotak-kotak itu pun langsung membacakan puisinya.

"Ketika malam tiba,
Pasukan rindu membelengguku,
Lumpuhkanku dalam ketidakberdayaan,
Hancurkanku yang dibekuk harapan.

Bebatuan karang itu adalah aku,
Rindu ini adalah rasaku,
Biar saja ia terus tumbuh liar,
Asal jangan asaku yang menggelepar lalu gentar.

Daku selalu cemburu,
Pada mentari yang selalu ada untuk bumi,
Pada senja yang rela terganti demi malam,
Juga padamu yang masih bisa memandang Ibumu.

Betapa rindu ini tak terperikan,
Betapa hati ini dipagut luka yang menyesakkan,
Sungguh yang kubutuhkan hanyalah pelukan,
Dan yang amat kuimpikan adalah sebuah pertemuan.

Namun di sini aku adalah korban semesta,
Di mana kawan baikku adalah lara,
Bukan berarti semesta t'lah jahat kepadaku,
Ia hanya sedang menguatkanku, mengujiku.

Bu, aku rindu...
Saaangat rindu,
Kuharap garis semesta lekas obati rindu,
Agar pilu ini segera siuh dari ruang hatiku."

Tanpa disadari, air mata Naura mengalir deras saking terbawa suasana sendu. Ia pun segera menyeka air matanya saat terdengar suara tepuk tangan dari mahasiswa lain, dan dosen pun mempersilakan Naura untuk duduk kembali di bangkunya.

🥀🥀🥀

Cahaya rembulan terangi bumi yang butuh kehangatan setelah diguyur hujan sore tadi. Ah, Jogja jadi begitu sendu tiap kali disambangi hujan. Entah energi apa yang dimiliki rinainya, sehingga bunyi gemericiknya sanggup menyihir manusia 'tuk bernostalgia. Hanyut dalam kenangan lantas karam bersama seluruh perasaan yang pernah terabadikan zaman.

Ajaib!

Benar-benar ajaib. Sebegitu luar biasanya kekuatan yang dimiliki hujan, sampai-sampai gadis berhoodie putih itu menggugurkan air matanya dengan sangat deras sambil memeluk lutut.

Rasa sesak kian merasuki ruang di dasar dadanya: hati. Begitu betah berlama-lama menghuni jiwanya yang hampa. Sejujurnya, ia sudah lelah merasakan sembilu yang teramat menyiksa ini, tapi hati kecilnya menolak 'tuk menyerah begitu saja. Ia enggan kalah telak oleh rayuan egonya yang terkadang suka merengek-rengek untuk berhenti mencari jejak, letak, dan informasi apapun perihal kedua orang tua kandungnya.

Semakin hari terlewati, semakin detik berganti, semakin menumpuk pula rindu dan pilu di lubuk hati. Jika ia tak tabah, mana mungkin ia bisa bertahan sampai detik ini. Bila ia lekas putus asa, mana mungkin ada rindu yang sebegitu hebatnya.

"Ibu, Ayah, kapan aku bisa memeluk kalian? Kapan aku bisa merasakan hangatnya sentuhan jemari kalian..., kapan? Sungguh, Naura juga ingin seperti mereka yang bisa berkumpul bersama keluarganya. Naura juga ingin...." Naura bermonolog bersama dersik angin yang menyentuh dedaunan dan ranting pohon. Meskipun dinginnya malam begitu menusuk hingga ke sanubari, namun ia tetap saja berada di luar. Berharap ada tamu, yakni kedua orang tuanya, dan itu hanyalah mimpi.

"Naura...," panggil Naufal dengan nada lembut sambil menutup pagar.

"Naufal...," kata Naura seraya sedikit mendongak, memandang pria berjaket parka army itu, kemudian segera menyeka air matanya.

"Nggak usah dihapus air matanya, Naura. Lebih baik kamu menangis sepuasnya biar lega," kata Naufal seraya duduk di samping gadis yang tengah beruraian air mata itu.

Maka, semakin berlinanglah air mata dari pelupuk mata indah milik Naura. Hatinya memang sudah lelah. Tak salah jika ia lemah 'tuk mengalahkan rasa itu, apalagi ditambah dengan rasa rindu yang menggebu. Sungguh ia lemah 'tuk menghadapinya karena memang wanita kodratnya begitu: selalu mengedepankan perasaan dibandingkan logika.

"Jangan ngeliatin aku yang lagi nangis!"
"Kenapa?"
"Pokoknya kamu nggak boleh liat!"
"Buta, dong!" canda Naufal.
"Naufal!" rengek Naura sambil memukul pelan lengan pria di sampingnya.
"Iya deh iya, aku nggak bakal liatin kamu nangis. Nih, udah! Aku belakangin kamu, ya," tutur Naufal.
"Tetap seperti itu sampai aku nepuk pundak kamu, ya."
"Nepuk pundak? Ih, kok serem banget?"
"Aku serius, Naufal."
"Iya-iya...."

Selama kurang lebih lima menit, Naura masih tak bersuara. Tepukan di pundak Naufal pun belum terasa. Mungkin, ia masih ingin meluapkan perasaannya pada semesta. Pada langit yang memekat, pada rembulan dan gemerlap gugusan bintang, pada tiupan angin yang tak kasat mata, atau pada keheningan yang selalu setia menemani malam.

"Kamu harus bangkit, Naura! Kamu nggak boleh kalah dengan kesedihan yang menyergap hatimu. Kamu nggak boleh tenggelam dalam keterpurukan, sekalipun luka yang menganga di hatimu tak bisa didustai.... Selama masih punya kekuatan untuk bertahan, kamu mesti tabah melawan kepedihan itu. Sebab percayalah, masih ada keajaiban Tuhan, Ra," kata Naufal panjang lebar. Entah penuturannya itu dimengerti atau tidak oleh Naura karena memang gadis itu sedang menangis sedu. Yang pasti, ia ingin kesedihan di hati Naura segera usai. Ia ingin melihat Naura bahagia, tapi ia tidak tahu mesti berbuat apa.

"Sulit untuk menghadapi ketidakpastian ini, Naufal. Bahkan, aku pun nggak tau kalo orang tuaku masih hidup atau nggak," ucap Naura lirih diiringi isak. Entah ada magnet apa, tetiba saja punggungnya menempel di punggung pria baik itu.

"Jangan berhenti berharap, Naura. Itu saja,"
"Iya, Naufal, aku nggak akan berhenti berharap kok sampai Allah benar-benar menunjukkan jawabannya di depan mata kepalaku sendiri."

Setelah itu, hening menguasai dua insan itu. Naufal mendongak, menatap bintang di langit. Sedangkan, Naura sibuk berdialog dengan semesta sambil memanjatkan doa yang berisi, "Ya Allah, aku percaya pada kebesaran-Mu. Aku pun bersaksi bahwa tiada Tuhan selain-Mu, Ya Allah. Maka, atas kehendak-Mu, ridhailah hamba 'tuk bertemu dengan kedua orang tua kandungku, dan tuntunlah langkahku 'tuk menemukan mereka. Aamiin...."

Puk!

Sentuhan pelan mendarat di pundak Naufal. Refleks, pria itu langsung memutar badan demi menatap mata cokelat Naura nan indah, meskipun saat ini binarnya raib dijerat kesedihan. "Udah ya nangisnya? Hmmm... Sebenarnya, aku paling nggak bisa liat cewek nangis. Tapi, masa aku harus joget-joget gak jelas kayak model ronggeng monkey biar kamu ketawa lagi," ujar pria bermata teduh itu. Disekanya air mata yang masih membanjiri pipi Naura. Tergambar jelas kesedihan yang turut dirasakan olehnya. Ia pun cemas melihat Naura yang akhir-akhir ini jadi tak seceria biasanya. 'Bantu aku 'tuk kembalikan keceriaan di wajahnya, Semesta,' batinnya sembari menatap manik-manik matanya lekat-lekat.

"Makasih ya, Naufal. Selama ini, kamu udah baik banget sama aku. Udah peduliin aku dan selalu ada buat aku."
"Iya, sama-sama, Naura. Udah, masuk, gih! Udara malam nggak baik buat kesehatan tauuu."
"Eh, maaf ya, Naufal. Aku sampai lupa buatin kamu minuman. Mmm, mau aku buatin teh dulu nggak?"
"Gapapa, Naura. Nggak usah. Gampang, nanti aku buat di rumah. Mendingan sekarang kamu masuk aja, istirahat. Besok ngampus, kan," tutur Naufal sambil mengelus-elus rambut Naura sejenak.
"Ya udah, aku masuk dulu, ya. Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut!" pesan Naura.
"Siap, Naura Rizkiya Salsabila," jawab Naufal sambil mengambil posisi hormat seperti pada pemimpin upacara.

"Semesta, aku begitu peduli padanya, dan aku tak ingin melihatnya terus bersedih seperti ini. Jika bertemu dengan kedua orang tuanya adalah keinginan terbesarnya, maka wujudkanlah impian itu. Agar ia bahagia dan tiada lagi air mata yang jatuh dari kedua bola mata indahnya," pinta Naufal seraya mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Kendaraannya membelah jejalanan yang disinari cahaya remang-remang dari lampu di tepi jalan raya. Embusan angin pun bagai menabrak tubuhnya yang dibalut jaket. Membuatnya agak menggigil dan ingin segera tiba di rumah, untuk rebah di balik selimut hangat.

🥀🥀🥀

Bersambung.

Isi kolom komentar, ya, Kawan. Jangan lupa krisannya. 😉 dan ajak teman-teman kalian untuk baca cerita ini.

Terima kasih sudah setia menunggu update-an novel "Korban Semesta". Maaf sekali karena ini sudah kedua kalinya telat update (ya, padahal jadwalnya kemarin). 😭🙏 Maaf, ya...

Doakan saja biar proses penulisannya lancar dan Hime bisa sehat selalu. Aamiin... 😊🙏

With sincere love,

Hime.

NB: share quotes dari novel ini, yuk! Dan tag aku di Instagram. 😉😉😉 Yang tercepat aku follback akun wattpad-nya, yaaa... 😉☺️☺️☺️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro