Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#6 Denganmu Tenang

🎶 Hankestra - Hujan dan Kota

Dengarkan lagi ini, ya. 😉

🥀🥀🥀

Setelah makan siang di sebuah rumah makan, Naura mengobrol dengan Runi, Ibunya, lewat telepon. Gadis bermata cokelat itu pun mengungkapkan rasa kecewanya yang begitu dalam. Diiringi isak tangis, ia pun menceritakan perihal pencariannya yang belum membuahkan hasil hari ini.

"Yang tabah ya, Sayang. Ibu yakin, Allah pasti akan bantu kamu untuk segera bertemu dengan ayah-ibumu. Percayalah dan jangan pernah berpikir 'tuk menyerah." Begitulah petuah bijak dari Runi. Sebab di sana, ia tidak bisa berbuat apa-apa, selain mendoakan apa-apa yang Naura semogakan.

Dan seandainya ia bisa sehari saja pergi ke Jogja untuk melepas rindu dengan Naura, pasti akan ia lakukan. Akan tetapi, karena ia punya mandat besar untuk mengajar anak-anak di pedesaan, ia tak bisa seenaknya pergi dan meninggalkan kewajibannya begitu saja.

Sulit memang. Keduanya sama-sama merupakan prioritas Runi, dan pada akhirnya ia harus tetap memilih.

"Bu, Naura kangen.... Naura pengen peluk Ibu," isak Naura ketika tangisannya semakin pecah dalam lirih. Pasalnya, ia tidak mungkin tersedu-sedu di tempat umum seperti ini. Bila sedang dilanda sedih yang teramat sangat pun, ia cuma bisa menangis lirih. Kendati pun itu akan terasa lebih menyesakkan, namun baginya itu tidaklah berlebihan dan juga tidak menarik perhatian.

Mendengar suara Runi, Naura jadi semakin tak tahan untuk membendung air matanya yang kian memburai, seperti tak mau berhenti menetes. Alhasil, gawainya ia taruh di atas meja, yang kemudian diambil alih oleh Naufal.

Percakapan hangat pun tercipta antara dua insan yang belum pernah saling berjumpa itu. Meskipun keduanya sama-sama masih merasa asing, anehnya Naufal mahir sekali 'tuk mencairkan suasana dan membahas apa saja yang membuat dirinya dan Runi jadi kian akrab.

"Naufal, Ibu titip Naura sama kamu ya, Nak. Pastikan dia selalu aman dan tidak kelaparan. Karena putri Ibu satu-satunya ini memang nakal sekali. Dia paling susah makan. Nggak heran kalau maag-nya sering kambuh," tutur Runi di seberang sana.

Naufal tertawa renyah, dan itu membuat Naura menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Heran. "Tenang saja, Bunda. Nanti Naufal akan rampas semua stok cokelat di seluruh dunia, kalau Naura masih susah makan," kelakarnya sambil melirik Naura yang mulai berhenti menangis.

Spontan, bola mata Naura membulat sempurna. Ia mengerucutkan bibirnya sambil mencubit gemas lengan Naufal. "Awas aja kalo kamu berani!" ancamnya.

"Aaaaw!" Naufal mengaduh perih.

"Naufal satu kampus sama Naura, ya?"
"Iya, Bunda. Cuma beda fakultas aja, hehe. Ceritanya, Naufal ini anak Fakultas Komunikasi, Bunda."
"Eh, kok Nak Naufal panggilnya Bunda?"
"Boleh kan, Bunda?"
"Iya-iya, boleh, Naufal."

Lima belas menit pun berlalu, Naufal dan Runi malah asyik mengobrol lewat telepon. Tentang keseharian Naufal, cita-cita, keluarga, kegemaran, bahkan candaan-candaan sederhana pun terselip dalam obrolan singkat itu.

"Bunda jadi ingin segera ketemu sama kamu, Naufal," kata Runi pada Naufal yang telah mendapat kesan baik walau hanya sekadar berbincang-bincang via telepon.

"Semoga saja ya, Bunda. Naufal juga pengeeen banget ketemu Bidadari asli bumi yang udah ngerawat Naura dari kecil," balas Naufal dengan nada antusias.

Selang beberapa menit, sambungan telepon pun berakhir karena Runi mendadak kedatangan tamu, yakni dari orang tua murid didikannya. Naufal mengamati wajah Naura yang masih dibanjiri oleh air mata rindu. Di luar pun, hujan masih mengguyur bumi dengan begitu derasnya. Membuat suasana hati gadis bermata indah itu jadi semakin sendu. Pilu.

Naufal menyentuh dagu Naura agar dia bisa menatap kedua bola mata indah itu. Selama beberapa jenak, kedua insan itu bersitatap dalam senyap.

"Masih mau nangis terus, nih?"
Naura terdiam, tak menjawab pertanyaan dari Naufal.
"Nggak cape?" tanya Naufal lagi.
"Iya, sih. Naura cape nangis mulu."
"Ya udah, nangisnya udahan aja, ya. Kasian mata kamu jadi sembap gitu. Hatimu pun butuh istirahat, Naura. Nggak mungkin hatimu kuat disiksa terus sama rindu kalo nggak diberi jeda," tutur Naufal seraya menyeka air mata yang masih menetes dari mata cokelat nan indah itu.

"Apa kamu mau ujan-ujanan? Biar nangisnya barengan sama hujan," tawar Naufal.
"Boleh?"
"Ya, boleh, lah. Kenapa juga harus nggak boleh."
"Makasih ya, Naufal."
Naufal tersenyum sambil mengelus-elus puncak kepala Naura. Setelah semesta menjebak keduanya untuk saling bertatapan mata, Naufal pun beranjak ke arah kasir, lalu mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Selanjutnya, dua insan itu pergi meninggalkan rumah makan itu.

🥀🥀🥀

Ketika tiba di tempat tujuan, hujan perlahan-lahan berhenti mencumbui bumi. Awan hitam pun berarak pergi, sisakan jejak abu-abu yang masih tertanggal di langit. Saat itu, dua insan bernama Naufal dan Naura itu sedang menikmati panorama alam yang sungguh menakjubkan. Keduanya berada di puncak, sehingga terlihatlah pemandangan elok di bawah sana.

Bentangan hutan berwarna hijau yang begitu asri di bawah sana, seperti sedang berbaris rapat dan tumbuh subur usai dicurahi rahmat Tuhan, hujan.

Sebab air adalah sumber kehidupan, maka tak sepantasnya kita menyalahkannya tiap kali bumi tetiba saja diguyur deras rintiknya. Bahkan, Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam pun melarang umatnya untuk mencela angin dan hujan.

"Satu kata untuk menggambarkan perasaanmu saat ini," ucap Naufal sambil menoleh ke arah Naura yang terlihat terpana memandang indahnya senja di Hutan Pinus Pengger, Jogjakarta.

"Tenang."
"Terima kasih, Semesta. Kau sudah membuat gadis baik ini tersenyum kembali," kata Naufal sambil menatap langit senja yang mulai menjingga di batas cakrawala.

"Semesta, tolong katakan juga pada Naufal, 'Terima kasih telah menjadi alasanku tersenyum kembali'," kata Naura sambil menoleh pada pria berhoodie hitam itu. Di saat yang bersamaan, kedua mata mereka pun bertemu. Tanpa sepatah kata apapun, sorotan teduh mata keduanya seolah-olah saling berdialog dan hanya bisa dimengerti oleh hati Naura dan Naufal saja.

"Seperti senja: senyumannya indah meski tak menjingga,
Dan sorotan matanya teduh seteduh awan di batas senja,

Jika aku harus memilih,
Maka tetap senyumannya lah yang paling indah,
Pesona senja pun kalah,
Sebab semesta pun mengakui bahwa dia begitu indah."

Itulah puisi yang diciptakan langsung di hati Naufal. Entah mengapa ia bisa tebesit kata-kata sepuitis itu. Mungkin karena akhir-akhir ini ia mulai tekun membaca buku-buku karya sastrawan ternama, seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Tere Liye, Kang Abik, Sutiwo Tejo, Dee Lestari, dan penulis hebat lainnya.

Sementara, Naura merasa begitu tenang dan aman setiap kali berada di dekat Naufal, entah kenapa. Ia pun tidak paham atas perasaan nyaman itu. Akhirnya, ia pun menerka, bahwa ini hanya perasaan senang biasa karena ada teman baik yang bersedia menetap dan menemani di saat suka maupun duka.

🥀🥀🥀

Bersambung.

Alhamdulillah, bagian 6 sudah update walaupun di jadwal up-nya harusnya kemarin. 🙏🙏 I'm so sorry for this latest update, Guys...

Semoga kalian tetap support dan suka cerita ini. 😊🙏

Jangan lupa komentar dan mention teman-teman kalian juga, ya. 😉

Kalau mau kasih kritik&saran, boleh banget, kok. Justru aku butuh banget, supaya aku bisa mengoreksi cerita ini. 😊🙏

Terima kasih. 😘😘😘

Salam hangat dari Hime. 🙏😘

NB: foto diambil dari #hutanpinuspengger di Instagram

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro