Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#5 Sendu yang Merimbun

Selamat membaca, Kawan. 🤗 Baca sambil dengarkan lagu di bawah ini ya. 😉❤️❤️❤️❤️❤️❤️

🎶 Backsong: Senar Senja - Kelana

🥀🥀🥀

Hari minggu telah tiba. Kini, Naura bisa menepi sejenak dari kegiatan belajar di kampus serta embel-embel tugasnya yang acapkali membuat gadis itu rela begadang demi meraih nilai memuaskan. Beruntungnya, pagi itu semesta sedang baik sekali padanya. Dengan cuaca cerah seperti ini, semoga saja misi pencarian kedua orangtuanya tidak akan terhambat. Ya, semoga saja.

Setelah bersiap-siap, Naura menunggu kedatangan Naufal sambil duduk di gazebo kecil dekat kost-an. Dersik angin pun menyapanya lembut, lantas mengusik dedaunan yang membuat pekarangan kost-an terasa begitu teduh. Sementara di atas langit lazuardi itu, sang surya tampak bahagia karena bisa berbagi cahaya lagi dengan bumi setelah semalaman bersembunyi dalam kegelapan.

Tadi Naura pun sudah pamit pada Ibu kost untuk mencari kedua orang tua kandungnya. Jadi, begitu Naufal tiba, keduanya langsung meluncur ke alamat yang pernah diberikan oleh Bu Zumarni. Sepanjang perjalanan, Naufal bercerita panjang lebar soal Ibunya yang bernama Fatma.

"Ibuku suka baaanget sama tanaman kaktus. Koleksinya juga udah ada banyak di halaman depan rumah. Untungnya, Ibuku nggak berlebihan meskipun suka banget sama kaktus. Bisa-bisa Ayah suruh Ibu buat buka usaha karena kaktusnya kebanyakan, hehehe," tutur Naufal sambil fokus mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang.

"Buka usaha juga gapapa atuh, Fal. Kan bagus, tuh, dari hobi jadi ladang materi," kata Naura.

"Benar juga, sih. Tapi aku nggak mau, nanti rumahku jadi ramai dikunjungi orang-orang. Aku nggak mau tempat persembunyianku diketahui banyak orang, Ra."

"Ya ampun, Naufal! Kamu bukan artis, ih! Bukan pula tawanan yang dicari-cari polisi. Mana peduli mereka, kalo kamu rumahnya di situ," sembur Naura diiringi tawa geli.

"Peace, Naura...." Naufal menebar senyuman lebar, lantas berucap lagi, "Btw, Ibu suka banget kaktus karena punya filosofi tersendiri, lho."

"Filosofi seperti apa, Fal?" Naura penasaran.

Naufal menaruh kedua tangan Naura di sisi pinggangnya agar gadis berhoodie peach itu aman dan tak terjatuh. Bonusnya, pria berhidung mancung itu mendapat pelukan. Baik, kan, semesta?

"Kaktus itu tabah. Ia bisa hidup lama meskipun tanpa air. Walaupun panas terik menjadi asupan kesehariannya, tapi kaktus tidak pernah mengeluh. Ia tetap berdiri tegak walau harus menahan sepi di tengah-tengah savana nan gersang," kata Naufal dengan nada bijak.

"Mungkin, kaktus ditakdirkan semesta untuk berkawan dengan mentari supaya kaktus tahu bagaimana rasanya tergantikan, terasingkan. Laksana mentari yang rela tergantikan oleh rembulan, dan terasingkan karena ditelan kelamnya malam." Naura berkata sambil memandang sisi kanan jalan. Ia mengamati para pejalan kaki, anak-anak kecil yang digenggam erat oleh tangan Ibunya, pedagang keliling, dan anak sekolahan yang masih berseragam lengkap.

"Mmm, mungkin. Kalau kamu ... suka bunga apa, Naura?"
"Bunga Ajisai."
"Bunga yang tumbuh di Jepang itu, ya?"
"Iya."
"Alasannya apa?"
"Karena bunga Ajisai mekar di musim hujan. Pokoknya unik, bisa berubah warna, dan menyerap air. Nggak seperti kebanyakan bunga yang akan layu bahkan mati karena sering kehujanan."

"Tapi bagiku, kamu adalah gabungan dari semua bunga terindah di dunia. Saking indahnya, mentari pun begitu hati-hati 'tuk menyapamu. Oleh karenanya, aku begitu ingin menjaga dan melindungimu," batin Naufal seraya tercenung sekejap.

Obrolan asyik pun kian mengalir deras dari lisan keduanya. Membuat perjalanan jauh jadi tidak terasa, dan rasa lelah sirna seketika. Perihal kegiatan semasa SMA, masa kecil, sampai cita-cita di saat masih SD pun diceritakan dengan begitu asyik. Tiga jam itu diisi untuk berbagi kisah agar keduanya semakin akrab, dan semesta berhasil menyatukan dua insan yang berbeda karakter itu.

"Andai saja aku bisa mengabadikanmu lewat udara. Mungkin aku akan menuliskan semua tentangmu di garis khatulistiwa. Tapi kutahu itu mustahil. Sebab sejuta lagu pun takkan usai 'tuk menggambarkan betapa indahnya dirimu juga hatimu," bisik hati kecil Naufal pada langit biru yang sedang bercengkrama dengan mega putih bak kapas di atas sana.

🥀🥀🥀

Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, akhirnya Naufal dan Naura tiba di tempat tujuan, tepatnya di daerah Bantul. Naura mengamati tiap inci rumah bercat putih itu. Pagar besinya tertutup rapat dan terkunci. Pintu utamanya pun tampak tertutup, sama persis dengan deretan jendelanya. Gadis itu jadi berpikir, apakah rumah ini masih ada penghuninya? Namun begitu melihat kondisi halaman depannya yang terlihat bersih, asri, dan terawat, benih-benih harapan itu tumbuh kembali di dasar nuraninya.

"Ayo, Naufal!" ajak Naura yang memang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kedua orang tua kandungnya.

Naufal masih berdiri tegak di samping motor Vespanya seraya merenggangkan otot. Pasalnya, ia mengendarai motor tanpa berhenti selama perjalanan tadi. Wajar saja bila otot-otot tangan dan kakinya terasa kaku. "Sebentar, Naura. Tanganku agak pegal, nih," tandasnya.

"Kamu lelah ya, Naufal? Ini minum dulu," tutur Naura lembut sambil menyodorkan sebotol air mineral pada pria berjaket tracktop filla itu.

"Makasih, Ra," ucap Naufal diiringi senyuman hangat.

Setelah itu, barulah keduanya mengambil langkah ke arah pagar rumah yang dituju. Kemudian, Naufal menyerukan ucapan salam.

"Iya, wa'alaikumsalam. Maaf, anda cari siapa, ya?" Muncullah seorang bapak paruh baya dari arah belakang halaman rumah sembari membawa sapu lidi. Sepertinya, bapak berkumis lebat itu adalah pengurus rumah ini. Tapi, apakah ia hanya sendirian menjaga dan membereskan rumah sebesar ini?

"Apa benar ini kediamannya keluarga Fadilah?" tanya Naura begitu pagar dibuka oleh bapak itu.

"Ono opo tho, Pak?" tanya seorang wanita paruh baya dengan kain lap di bahunya.

"Ini alamat rumah ini, kan, Bu? Saya sedang mencari rumahnya keluarga Fadilah," tutur Naura sambil menyerahkan secarik kertas pada wanita itu.

Selama beberapa jenak, kedua pengurus rumah itu saling bertatap-tatapan, lantas menghela napas panjang. "Rumah ini sudah lama dikosongkan, Nduk. Memang iya, dulunya ini adalah kediaman keluarga besar Fadilah, tapi sekarang sudah tidak lagi," jelas bapak berkumis lebat itu.

"Kalau boleh saya tau, kenapa rumah ini dikosongkan ya, Pak, Bu?"
"Soal alasan sebenarnya, kami tidak tahu-menahu, Nduk. Karena kami pengurus baru, menggantikan pengurus lama rumah ini yang juga tidak kami kenal. Kami pun diberi tugas untuk mengurus rumah ini oleh tangan kanannya keluarga ini, entah siapa namanya."

Naura menunduk sedih. Ada kekecewaan yang hadir di palung hatinya. "Naufal...," ucapnya lirih dan sendu.

"Apa ada informasi lain yang Bapak tau mengenai keluarga Fadilah?" Naufal mengajukan sebuah pertanyaan pada Bapak itu seraya mengelus-elus pundak Naura yang kini berdekatan dengan lengannya.

"Sebentar, ya. Bapak tulis dulu nomor telepon dan alamatnya. Siapa tau, ada pencerahan mengenai keberadaan keluarga besar Fadilah," tutur Bapak berpakaian agak lusuh itu, kemudian melenggang pergi. Tak berselang lama, ia pun datang dengan membawa secarik kertas.

"Iki, Nduk. Semoga lekas bersua dengan apa yang dicari. Aamiin...," kata Bapak dan wanita itu sambil tersenyum tulus, sebelum keduanya kembali mengerjakan rutinitas di rumah itu.

"Naufal, aku takut nggak bisa nemuin kedua orangtuaku di bumi yang tak selebar daun kelor ini," kata Naura lirih sambil menitikkan air mata dan memandang jalanan aspal yang memanas karena disengat sinar surya.

"Tidak usah takut, Naura. Ada Allah yang akan selalu menuntunmu dan memberimu petunjuk. Kita hanya harus lebih bersabar sebab setiap usaha pasti butuh proses yang tidaklah sebentar," kata Naufal dengan nada lembut. "Sudah, jangan bersedih, ya. Ada aku di sampingmu yang akan selalu menemanimu. Di belakangmu untuk menjagamu, dan di depanmu untuk menolongmu saat bimbang 'tuk mencari arah," sambungnya sambil menatap kedua bola mata cokelat Naura lekat-lekat. Tatapan teduhnya pun turut menyendu begitu melihat sorotan mata indah Naura tak berbinar-binar lagi.

Sembari menyeka air mata yang membasahi pipi Naura, Naufal tak berkata apapun. Ia hanya bermonolog dengan semesta juga angin yang bertiup lembut.

"Kumohon jangan menangis,
Sebab air matamu runtuhkan hatiku,
Sebab lukamu adalah lukaku,
Dan sedihmu remukkan jantungku.

Aku tahu, semesta hatimu didera lara,
Aku sadar, tak mudah yang kaurasa,
Namun lihatlah, di sini aku ada,
Temanimu, dan kau boleh berbagi durja.

Dan duhai langit biru,
Bolehkah kupinjam mentarimu 'tuk hangatkan jiwanya?
Bolehkah kuambil satu awanmu 'tuk kembalikan tawanya?
Dan bersediakah kau menghiburnya dengan semburat senja?

Jika kau bersedia, Semesta...
Luahkan saja seluruh dukanya padaku,
Aku sungguh tidak keberatan,
Sebab melihatnya terluka itu sangatlah menyakitkan."

Puisi itu menjelma bahasa kalbunya dengan sang pencipta dan semesta. Dijadikannya bait-bait kata itu sebagai ungkapannya yang terdalam. Berharap beban yang Naura pikul bisa sedikit berkurang, dan kesedihan di hatinya segera mereda. Sebab dia pantas untuk bahagia dan dibahagiakan oleh orang yang tulus menyayanginya.

"Sekali lagi, kumohon, Semesta, bantulah aku 'tuk membahagiakannya tanpa menorehkan luka di lubuk hatinya," pinta Naufal seraya menggenggam tangan Naura, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja asal ia percaya pada keajaiban-Nya.

🥀🥀🥀

Bersambung.

Alhamdulillah, Hime udah update, ya, walaupun di malam hari. 😂🙏 *telat ya. Maaf sekali, Kawan. Hime sedang tidak enak fit. Mohon doanya saja. 🙏☺️

Seperti biasa, jangan lupa ramaikan kolom komentar dan mention teman-teman kalian yaaa... Ajak mereka untuk baca cerita ini. ☺️🙏

Terima kasih atas support-nya selama ini.

Salam sayang dari Hime.
Kalian yang terbaik. 🤗❤️

Semoga suatu hari kita bisa berjumpa dalam suatu tempat yang sama. Aamiin... ☺️🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro