Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3# Lara yang Sepaket dengan Rindu

Bismillah. Bagian 3.

Jangan lupa vote, komentar, dan mention teman-teman kalian untuk baca novel "Korban Semesta" ya... 😉🙏 Oiya, Trailer barunya udah ada di ig @refahime23

🎶 Backsong : Float - Pulang

🥀🥀🥀

Sang fajar telah bertengger anggun di kaki langit. Cahayanya melingkupi langit kota Jogja setelah dilanda hujan deras subuh tadi. Sepertinya, semesta sedang berbaik hati lagi pada Naura, yang rencananya hari ini akan mencari kost-an selama ia menempuh pendidikan di kota Istimewa.

Dengan ditemani Naufal, orang asing berhati malaikat yang kini menjadi kawan pertamanya di perantauan, Naura meninggalkan pelataran kedai kopi dengan menaiki sepeda motor Vespa antik milik pria bermata hitam legam itu.

"Jadi, kamu kuliah di UGM, ya, Nau?" tanya Naufal sambil sedikit melirik ke arah jok belakang lewat kaca spion, tempat Naura duduk. "Kalo gitu, aku cariin kost-an yang agak deket sama fakultas kamu aja, ya?"

"Iya, kalo ada cari yang deket-deket aja, Fal, biar irit ongkos. Maklum lah aku cuma anak rantau. Uangku pas-pasan, hehe."

"Iya, aku ngerti, and that's why aku kerja sambil kuliah. Selain buat bantuin orang tua untuk bayar biaya pendidikan, aku juga bisa belajar mandiri. Jadi sadar juga kalo nyari uang itu susah."

Berbagai topik pun keduanya perbincangkan di sela-sela perjalanan. Meskipun jejalanan mulai dipadati oleh berbagai kendaraan, namun Naura dan Naufal telanjur nyaman untuk berbagi cerita, even about opinion. Dan entah, entah mengapa keduanya bisa akrab secepat itu. Mungkin karena efek kepribadian keduanya yang sama-sama humble, atau karena sama-sama satu pemikiran.

"Nah, ini dia, nih, kost-an khusus cewek yang dijamin aman dan nyaman. Eits! Bukan karena aku sok tahu, ya, but ini fakta. Soalnya temen-temen se-fakultasku ada yang nge-kost di sini juga," tutur Naufal seraya memarkirkan motornya di depan sebuah gerbang kost-an. Ia pun melepaskan helm-nya, sementara Naura sudah duluan turun dari motor dan mengetuk pagar besi kost-an.

"Permisi," kata Naura sambil menekan tombol bel yang berada di dinding pagar.

"Naura! Sini dulu, Ra!"
"Apaan sih, Fal!"
"Itu helm-nya dilepas dulu," kata Naufal sambil geleng-geleng kepala, lantas tertawa renyah sesaat.

"Ya ampun!" pekik Naura seraya mencoba melepaskan pengunci helm-nya tapi susah. Akhirnya, Naufal pun menghampiri dan membantunya membuka helm yang agak seret itu.

"Maaf, ya. Besinya emang udah agak berkarat, jadinya susah dibuka, deh," kata Naufal saat membantu Naura untuk melepas helm-nya. Jarak keduanya yang cukup dekat pun membuat Naura tak sengaja tenggelam ke dasar retina indah milik pria bermata hitam legam itu. Teduh. Teduh sekali. Baru kali ini, ia melihat sorotan mata seteduh itu. Apa kedua bola matanya diciptakan Tuhan dengan komposisi yang sama layaknya awan?

"Ya, ada perlu apa, ya? Mau nge-kost di sini?" tanya seorang wanita paruh baya berpakaian khas masyarakat Jogja lokal. Logat jawanya pun kental sekali, dan kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia ya kira-kira seperti itulah bunyinya. Kalau diperhatikan, sanggul juga bertengger di kepalanya, pakaiannya pun anggun dan sopan sekali, dan ... satu hal yang menurut Naura paling mencolok adalah warna gincu di bibir Ibu itu. Merah sekali.

"Iya, Bude. Masih ada kost-an kosong, kan?" tanya Naufal dalam bahasa Jawa.

Wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum sopan. "Iya, ada. Silakan masuk dulu," ucapnya ramah.

Mereka bertiga pun duduk di teras rumah pemilik kos-an yang berada tepat di sebelah kosannya. Ternyata halamannya cukup luas, ada berbagai tanaman hias di sana seperti bunga anggrek, bunga mawar, dan kaktus, pepohonan rindang pun menambah kesan asri rumah itu. Meneduhkan.

Ditambah lagi dengan gazebo mini yang mempercantik sudut halaman rumah. Sungguh rumah idaman semua orang. Memang tidak mewah, tapi suasananya sangat nyaman dan tenang. Sebab terkadang hal-hal sederhana terlihat jauh lebih istimewa dan bermakna.

Obrolan ringan pun dimulai. Pemilik kost itu ternyata bernama Sari, namun biasa dipanggil Bude. Dia ramah sekali. Suaranya pun selembut beludru. Naura ditanya soal kedua orang tuanya, asal, dan hal-hal lain seperti tempat kuliah. Setelah itu, Naufal dan Bude Sari bernegosiasi perihal tarif nge-kost selama sebulan, sampai akhirnya tercapailah sebuah keputusan final yang disetujui oleh kedua belah pihak.

"Makasih ya, Fal."
"Iya, Naura, sama-sama," kata Naufal sambil membalas tatapan teduh Naura.

🥀🥀🥀

Keesokan harinya, Naura pergi ke kampus untuk mengikuti Ospek yang biasanya diselenggarakan oleh pihak kampus. Dengan mengenakan seragam hitam-putih dan atribut lain seperti papan nama. Tidak ada atribut aneh yang nyeleneh sebab UGM menerapkan prinsip masa orientasi yang bertujuan untuk mendidik.

Tepat pada pukul tujuh pagi, semua calon mahasiswa berbaris rapi di sebuah venue, yakni Lapangan utama UGM. Upacara pembukaan pun dimulai dengan khidmat, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lalu pidato dari Ketua Pelaksana, dan ditutup dengan doa.

Setelah itu, para panitia acara mulai berpencar ke berbagai arah karena agenda pembinaan akan segera dimulai. Para calon mahasiswa pun diberi instruksi untuk mencari Kakak tingkat yang telah diumumkan kemarin via grup WhatsApp dan dipajang juga di mading utama kampus.

"Duh! Kak Bara yang mana, sih?" gerutu Naura pelan seraya mengamati sekeliling.

"Nyari siapa, Adek Cantik?" Tiba-tiba seorang cowok berjas panitia menghampiri Naura yang tampak kebingungan di koridor.

"Saya lagi nyari Kak Bara, Kak. Kakak kenal?"
"Siapa, sih, yang nggak kenal sama Bara. Secara ... dia itu kan most-wanted di kampus. Tapi, hati-hati, lho, sama dia. Bara itu berbahaya dan dingin kayak es. Dan kamu jangan sampai punya masalah, deh, sama dia. Nanti kamu bisa dapet bencana."
"Berbahaya gimana, Kak? Emangnya Kak Bara itu vampir, ya? Atau werewolf?" canda Naura setengah polos.

Cowok itu malah tertawa terbahak-bahak.

"Kok malah ketawa? Aku nanya serius, lho, Kak. Emangnya Kak Bara semembahayakan apa?" Naura mengernyit, tak paham.

"Pokoknya hati-hati aja, Dek. Udah ah, yuk! Kakak anterin," ucap cowok itu. Kelihatannya, dia enggan menjelaskan lebih detil soal Bara.

Tak lama kemudian, Naura pun tiba di tempat di mana Bara berada. Ia berterima kasih pada cowok tadi, kemudian menghadap Bara yang tengah sibuk membuat simpul dengan tali tambang pramuka di sebuah pohon.

"Kak Bara, ya?"

Pria berambut agak gondrong itu hanya menoleh sekilas, lalu melanjutkan aktivitasnya.

"Maaf, Kak. Izinkan saya dilatih sama Kakak."
"Saya bukan pelatih," kata Bara dengan nada datar.
"Lantas apa, Kak?" tanya Naura polos.
"Udah diajarin cara lapor yang baik dan benar belum, sih?!" Pria bermata hazel itu tampak kesal.

Setelah itu, Naura melapor pada Bara dengan cara yang ia ketahui semasa SMA, namun entah mengapa masih saja salah di mata pria itu. Naura pun mengulangnya sampai tiga kali, tapi Bara berpendapat bahwa konteks kalimatnya masih keliru.

"Udah, STOP! STOP! Pulang aja, gih! Lapor aja nggak bisa!" ketus Bara.
"Yaaah, jangan dong, Kak. Saya harus lulus tahap pertama hari ini. Kalau enggak, saya pasti kena sanksi sama panitia. Tolong, ya, Kak. Uji saya apa aja, saya bersedia, kok," pinta Naura seraya memelas. Akan tetapi, pria yang konon dijuluki berhati es itu sama sekali tidak luluh, bahkan sepertinya merasa simpati pun tidak. Entah mengapa ia bisa secuek dan sebeku itu. Alasannya cuma Allah dan Bara sendiri lah yang tahu.

Setelah berhasil melapor, Bara pun akhirnya bersuara meski singkat. "Siap?"

"Siap!" seru Naura.
"Syaratnya cuma satu: kamu harus ikut komunitas Mapala. Udah, hanya itu."
Naura mengerutkan keningnya. "Izin bertanya, Kak."

Bara mengangguk santai, lebih tepatnya ogah-ogahan.

"Kalau saya nggak tertarik buat ikut komunitas Mapala, gimana, Kak? Saya kan punya hak buat bebas milih mau ikut komunitas apa aja di kampus ini."

"Nggak bisa! It's my rule! Dan kalo kamu mau lulus ospek, don't break my rule!"

Lihat saja, Bara memang otoriter. Sukanya memaksa, dan ia tidak suka dibantah. Karakternya cocok disetarakan dengan api. Beda seratus dua puluh derajat dengan Naura yang cenderung kalem laksana air yang tenang.

Mau-tidak mau, Naura harus menuruti perintah dari Bara, kakak tingkatnya yang ternyata selain dingin juga menyebalkan. Ia tidak ingin menerima konsekuensi yang kelak akan mempengaruhi impian dan masa depannya. Sudah susah payah ia mendapatkan beasiswa ini, tak mungkin ia sia-siakan kesempatan emas sekecil apapun. Tidak akan. Karena ia sadar, menyesal di akhir Itu rasanya tidak enak.

"Iya, saya siap, Kak," kata Naura pada akhirnya. Setelah dipikir-pikir, mungkin ini bukanlah keputusan yang tepat sebab hatinya tak seirama dengan apa yang terucap dalam tutur kata. Tapi ada harapan yang tersemat di dasar hatinya, setidaknya ... pasti akan ada pelajaran dan pengalaman baru yang 'kan ia dapatkan dari sana.

"Kesempatan tidak datang dua kali. Meskipun yang hilang 'kan terganti, namun tetap saja mencoba adalah opsi terbaik daripada menyia-nyiakan peluang yang ada." Kata-kata itu terbesit di benak Naura. Dan memang itulah yang selalu ia tanamkan di kehidupannya, terutama saat masih di zaman SMA. Dulu, ia aktif mengikuti beberapa ekskul yang bagus untuk pengembangan karakter dan kedisiplinannya. Pramuka misalnya.

Berbagai perlombaan seperti Hiking Rally pun sempat Naura ikuti bersama rekan-rekannya. Semua itu demi bekal pengalaman untuk masa depan dan menjadi kenangan tak terlupakan. Sebab yang telah berlalu takkan pernah bisa diulang. Hanya bisa dikenang, dikenang, dan dikenang sampai air mata berlinang. Saking berharganya beberapa lembar kenangan.

🥀🥀🥀

"Naura...."
"Iya?"
"Kamu udah kepikiran mau ikut komunitas apa aja?" tanya Naufal di sebuah kedai kopi.
"Udah. Kalo Naufal?"
"Udah. Pokoknya aku---"
"Eh! Sejak kapan kita ngobrolnya pake aku-kamu, kan kemarin pake saya-kamu, ya?" Naura memotong pembicaraan Naufal.
Naufal mengukir senyuman simpul di bibir tipisnya. "Mmm... Tapi gapapa, kan?" ucapnya.
"Iya, gapapa, sih," tutur Naura sambil tersenyum, kemudian menyesap coffee-latte-nya yang mulai menghangat.

Beberapa jenak kemudian, ponsel di tas Naura berdering. Gadis bermata cokelat itu pun langsung mengambilnya, lalu menggeser ke sebelah kanan layar untuk menjawab telepon.

~Ibu ❤️❤️❤️ calling~

"...."
"Halo, Bu. Wa'alaikumsalam warahmatullah...."
"Naura, kamu sehat, kan, Nak?" ucap Runi di seberang sana dengan nada yang sedikit parau.
"Alhamdulillah, Naura baik-baik aja, Bu. Ibu juga sehat, kan?"
"Ibu sehat, Sayang...."
"Tapi kok suara Ibu jadi beda gitu?"
"...."
"Naura tau, Ibu pasti lagi sakit, kan, Bu?" Tanpa terasa, air mata pun memburai deras, basahi pipi Naura. Dadanya begitu sesak seketika. Antara cemas dan rindu, keduanya berbaur riuh di dasar hatinya. Mencipta pilu yang selangit, dan sakit yang tiada ujungnya. Harapannya pun hanya satu: ingin bertemu Ibu, kemudian memeluknya. Cuma itu.

Tapi Naura bisa apa? Jarak membentang tak terkira. Meskipun masih berada di bawah langit yang sama, namun tetap saja yang namanya rindu tak bisa diajak kompromi. Datang semena-mena, lantas menyiksa tanpa memberi jeda.

"Ketika jarak memisahkan, tiada lagi yang bisa kulakukan selain mendoakan. Maka biarkanlah aku terus merapal namamu dalam doa, Bu. Berharap rindu yang menyiksa ini 'kan segera mereda oleh campur-Nya." Itulah kata-kata yang terlintas di benak Naura. Setelah mengingatkan Runi untuk tetap menjaga pola makan dan jangan lupa minum obat, akhirnya telpon pun berakhir.

Ia pun sempat bilang, bahwa ia ingin sekali pulang ke Bandung. Ia begitu khawatir dengan keadaan Runi, ibunya. Tapi dengan kelihaian kata-kata seorang Ibu, akhirnya Runi bisa meluluhkan hati Naura untuk tidak usah terlalu mencemaskan kesehatannya.

Naura menunduk. Bulir-bulir bening masih menetes dari pelupuk mata indahnya. Kentara sekali ia sedang sedih dan cemas. Bagaimana tidak? Ibunya sedang terbaring sakit di sana. Bagaimana ia tidak jadi kepikiran?

"Naura...," panggil Naufal dengan nada lembut.

Perlahan, Naura pun menatap mata Naufal. Kedua matanya tampak sembap karena habis menangis. Bibirnya pun mengatup, tak ukirkan senyuman simpulnya nan indah.

Naufal menyeka air mata yang menganak sungai di pipi Naura. Sambil memandang kedua bola mata indah itu, ia berkata, "Terkadang rindu memang suka semena-mena. Ia bisa hadirkan lara yang menyiksa dan sesak di dada. Maka bersabarlah sebab rindu juga pemberian Tuhan."

🥀🥀🥀

Bersambung.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro