Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#2 A Start of Journey

🥀🥀🥀

Keesokan harinya, Naura menyambangi kediaman Almarhum Pak Jalil bersama Runi. Awalnya, ia mengira keluarga Almarhum Pak Jalil sedang tidak ada di rumah karena pagi itu rumahnya tampak begitu sepi. Akan tetapi, Tuhan dan semesta berbaik hati pada Naura di pagi yang cerah ini, dan Allah memang selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya.

"Assalamualaikum?"

Beberapa kenal kemudian, pintu rumah itu pun terbuka dan tampaklah seorang wanita yang kira-kira sudah berumur empat puluh tahunan. Kulitnya keriput, tubuhnya kurus tapi perutnya membuncit, dan ia memakai jilbab. Entah siapa namanya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah. Ada apa toh, Nduk?"

Selepas mengutarakan niatnya, Naura pun disambut hangat, lalu dipersilakan masuk. Mereka bertiga akhirnya bercakap-cakap di ruang tamu, kemudian datanglah adiknya Almarhum Pak Jalil. Ia mengantarkan teh hangat dan dua toples kue kering sebagai jamuan. Sarah namanya. Ia sudah menikah, punya dua orang anak, dan sekarang sedang mengandung empat bulan.

"Waktu itu, memang ada sepasang pasutri yang datang ke rumah kami. Keduanya menanyakan perihal apakah ada penemuan seorang bayi perempuan di sekitar dermaga, tapi Jalil dan penjaga dermaga tak tahu-menahu soal itu, dan menjawab apa adanya." Begitu kata Bu Zumarni, Ibu Almarhum Pak Jalil. "Tapi, Nak Naura, sebelum mereka pergi, mereka sempat memberikan kartu nama dan alamat keluarga mereka ke anak Ibu. Sebentar ya, Ibu mau cari dulu," pamitnya sembari melangkah ke bagian dalam rumah, dan masuk ke sebuah kamar yang mungkin kamarnya mendiang anaknya yang telah tiada.

Tak lama kemudian, Bu Zumarni pun datang, lalu menyerahkan dua helai kertas ke tangan Naura. Sontak, mata gadis itu berkaca-kaca. Air matanya siap tumpah. Detik itu, ia sangat terharu sebab kerinduannya akan segera terobati dengan sebuah pertemuan. Ia pun tak bisa menahan tangisnya lagi, kemudian diraihnya punggung tangan Bu Zumarni untuk diciumi dengan penuh rasa syukur.

Sebuah pelukan hangat pun diberikan oleh Bu Zumarni pada Naura, dan itu membuat hati Naura semakin terenyuh antara haru dan bahagia. Selepas Naura mengucapkan terima kasih pada Bu Zumarni yang telah berbaik hati kepadanya, ia dan Runi pun pamit pulang.

"Bu, Naura akan ketemu sama Mama kandung Naura, Bu...," tutur Naura haru sembari merengkuh pinggang Runi dan bersandar di bahunya. Kala itu, keduanya sedang menunggu taksi di pinggir jalan.

🥀🥀🥀

Pagi itu, Naura pergi ke Stasiun Kiaracondong ditemani Runi. Sembari menggendong tas hitam agak besar, ia turut mengantri bersama calon penumpang lain di depan loket.

Jarum jam mengarah ke pukul 06.15 WIB, tapi stasiun ternama di Bandung ini sudah tampak ramai dan mulai dipadati oleh calon penumpang yang hendak bepergian ke luar daerah.

"Naura, hati-hati di sana, ya, Nak. Terus, jangan lupa hubungi Ibu kalo udah sampai," pesan Runi sambil duduk di kursi panjang yang tersedia di peron kereta.

Naura mengacungkan jempol kanannya seraya tersenyum.

"Terus, ulah hilap pola makannya dijaga. Jangan sampai telat makan," lanjut Runi seraya mengelus rambut panjang Naura yang digerai bebas. Semilir angin pun meniupnya, disambut dengan suara mesin kereta yang terdengar semakin mendekat.

"Ibu pasti akan kangen pisan sama kamu, Naura." Runi memeluk erat tubuh Naura karena ia tahu, sebentar lagi raganya akan jauh dari putri kesayangannya itu. Tapi, baginya jarak tidaklah berarti. Sebab dari jarak terjauh sekalipun, hati dan doalah yang akan selalu mendekatkan, merekatkan. Begitu pula ingatan.

"Apalagi Naura, Bu.... Kenapa Ibu nggak ikut Naura aja, sih, Bu?" protes Naura sembari cemberut, sedih.

Runi menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. Sembari menatap bola mata indah itu, ia berucap, "Bukannya Ibu tak ingin, Naura, tapi Ibu punya tanggungjawab di sini. Selain harus bekerja di sawah milik Juragan Harun, Ibu juga mesti mengajarkan anak-anak desa mengaji."

Setelah itu, terdengar informasi dari speaker di sebuah sudut stasiun, bahwa kereta akan melaju lima menit lagi, dan dengan sangat berat hati, Naura pun mencium punggung tangan Runi sebagai tanda pamit untuk masuk ke kereta.

"Bu, Naura pamit, ya. Ibu baik-baik di sini, jaga kesehatan.... Assalamualaikum." Naura mencium punggung tangan Runi lagi, memeluknya erat, kemudian masuk ke dalam kereta yang mulai dipadati penumpang.

"Tak ada hal lain yang akan kurindukan sedemikian dalam selain hangatnya pelukan, tulusnya sentuhan, dan senyuman indahmu, Bu," batin Naura sembari menatap keluar jendela ketika kereta mulai melaju, meninggalkan stasiun.

🥀🥀🥀

Stasiun Tugu

Ini adalah kali pertama Naura menjejakkan kakinya di kota Istimewa Jogjakarta. Gadis bermata cokelat itu pun mengamati sekitar stasiun. Lalu-lalang penumpang yang tampak kelelahan sehabis perjalanan panjang membuat matanya terpaku pada seorang gadis kecil yang sedang digendong di pundak Ayahnya. Dan gadis itu tampak ceria sekali sambil meracau, entah apa ocehan anak sekecil itu. Yang pasti ocehannya tidak mudah dimengerti.

Kerinduan mendalam pun tumbuh dan kian membesar di lubuk hati Naura. Bagaimana ia tidak merindu, bila tidak pernah ada temu antara dia dan kedua orang tua kandungnya.

"Bu, Naura baru sampai di stasiun Tugu Jogjakarta."

Itulah pesan singkat yang Naura kirimkan pada Runi. Setelah itu, ia meninggalkan stasiun dan mencari toko swalayan untuk membeli air mineral. Saat itu, jarum jam mengarah ke pukul satu dini hari. Jejalanan pun mulai sepi dari kendaraan. Apalagi trotoar, tiada seorang pun yang berlalu-lalang karena memang jam segini orang-orang lokal pasti sudah terlelap.

Setelah beberapa ratus meter berjalan, akhirnya Naura menemukan sebuah toko swalayan. Ia pun membeli air mineral di sana, lalu mencari tempat duduk untuk istirahat sejenak. Setidaknya, untuk meluruskan kakinya yang terasa pegal setelah berjam-jam duduk.

Desir angin pun menerpa rambut hitam panjangnya. Alirkan hawa dingin yang tak terelakkan lagi. Dan jujur saja, ia merasa takut dan was-was sebab ia sendirian di kota orang. Fatalnya, ia belum tahu harus menginap di mana karena ini adalah kali pertama Naura singgah di Jogja. Sungguh ceroboh sekali. Seperti tidak direncanakan dengan matang.

Setelah meredakan dahaganya, ia pun segera pergi dari pelataran toko yang sudah tutup itu. Kalau tadi, masih ada beberapa kendaraan yang melintas di jalan. Akan tetapi, sekarang sama sekali tidak ada lalu-lalang kendaraan dan suasana sepi pun semakin kentara, kian terasa.

"Eh, Cantik! Kamu mau ke mana malam-malam begini? Mau Abang anterin nggak?" Tiba-tiba muncul tiga orang lelaki bertato dari arah gang gelap itu. Tubuhnya kekar, posturnya tinggi, dan kulitnya sawo matang. Suaranya yang keras dan nge-bass membuat bulu kuduk Naura merinding ketakutan.

"Maaf, Bang. Terima kasih. Permisi," tolak Naura dengan gelagat takut yang kentara sekali di wajahnya. Kemudian, ia pun mempercepat langkahnya karena perasaannya mendadak jadi tidak enak.

Akan tetapi, ketiga preman itu tidak jera dengan penolakan Naura. Ketiganya saling menatap, memberi isyarat jahat, lalu berlari dan mencekal kedua tangan Naura. Alhasil, mata gadis bermata cokelat itu melotot, kaget setengah mati.

"Ish! Lepasin saya! Lepasin!" Naura memberontak karena tangannya yang dicekal mulai terasa sakit. Rasa takut pun kian menjadi-jadi, membuat pikirannya melayang ke mana-mana.

"Masa, sih, cewek secantik kamu Abang lepasin, ya nggak bakal, lah!"
"Bego banget kalo Cah Ayu ini sampai lolos," timpal preman lain diiringi seringai jahatnya.

"Bawa cewek ini ke markas kita! Malam ini kita senang-senang." Preman berkepala plontos itu memberikan instruksi pada kedua anak buahnya diiringi seringaian yang membuat air mata Naura semakin mengalir deras. Sungguh saat itu ia tidak tahu harus berbuat apa.

"Lepasin saya! Lepasin!" teriak Naura sambil terus berontak, berharap bisa lolos dari ketiga manusia titisan Medusa itu. Hanya itulah usahanya agar bisa terbebas dari preman berhidung belang yang sedang kelaparan itu. Ya Allah, datangkanlah pertolongan padaku. Selamatkanlah hambamu ini, Ya Rabb, pintanya dalam hati.

"Tolooong!" teriaknya lagi seraya masih beruraian tangis.

Namun tiba-tiba saja...

Bugh!

Seorang pria yang entah datangnya dari mana menghampiri preman itu, kemudian memukul pipinya hingga keluar darah dari sudut bibirnya.

"Lepaskan dia!" bentak pria penolong itu dengan sorot mata tajamnya. Ia menantang ketiga preman itu padahal ia hanya seorang diri, namun ia begitu berani menghadapinya.

"Siapa pemuda itu? Ya Allah, siapapun dia, tolong selamatkanlah dia yang hendak menolongku," doanya dalam hati yang kian diselimuti rasa takut.

"Sorry, Bro! Cewek cantik ini milik kita."
"Udah, habisi saja dia! Buat dia kapok! Bisa-bisanya bocah tengil ini merusak pesta kita," ujar Bos preman itu.
"Siap, Bos. Ini mah cetek. Serahin semuanya sama kita berdua," kata preman berambut gondrong yang masih mencekal tangan Naura.

Selang beberapa detik, terjadilah sebuah pergulatan hebat antara dua orang preman dan seorang pria berjaket army yang entah siapa namanya itu. Ketiganya saling memukul, menendang, sampai ada salah satu preman yang terjatuh ke aspal. Akan tetapi, pria baik itu tetap saja terluka karena mendapatkan sebuah pukulan keras di bagian pipi kanannya. Hidung mancungnya pun tampak mengeluarkan darah namun ia masih bisa melawan kedua preman itu dengan sisa-sisa tenaganya.

Sementara, Naura berada dalam kekuasaan Bos preman itu. Kedua tangannya dicekal ke belakang sampai ia meringis kesakitan, tetapi preman tak punya hati itu tak menghiraukannya sedikit pun. Dalam hati ia berdoa, "Ya Allah, tolonglah aku dan pria baik itu. Selamatkan kami dari preman-preman jahat ini. Selamatkanlah kami."

Bugh!

Pemuda berhati malaikat itu menendang bagian selangkangan preman itu, lalu melayangkan pukulan keras di bagian perut preman yang satunya lagi hingga terkapar lemas. Saat kedua preman itu lengah menahan ngilu yang tak tertahankan, ia mencuri kesempatan untuk menyelamatkan Naura dari tangan si Bos preman, lantas berlari sekencang-kencangnya ke arah gang pemukiman penduduk.

"Ayo, larinya agak cepet!" perintah pria itu sambil menggenggam tangan Naura tanpa sengaja.

Naura pun tak ngeh tangannya digenggam erat oleh pria itu karena si Bos preman masih mengejar mereka berdua. Suara derap langkah mereka pun terdengar di kesunyian malam. Menyatu dengan bunyi dersik angin, rerantingan yang saling bergesekan, dan suara pungguk yang entah sedang bertengger di pohon mana.

"Hei, jangan lari kalian!" teriak Bos preman itu sambil terus mengejar mereka berdua. Tapi kemudian, dia kehilangan jejak Naura dan penolongnya yang entah berlari ke arah mana. Padahal sebenarnya, keduanya bersembunyi di balik dinding bangunan tak berpenghuni.
"Ah, sialan!" Preman itu pun berlari menjauh setelah menggerutu karena tak jadi bersenang-senang.

Tak sadar, pria itu membekap mulut Naura dengan posisi memeluk gadis itu. Keduanya saling berdekatan dengan napas yang masih memburu tak keruan karena habis berlari. Tak lama setelah itu, pria itu menatap ke bawah, tepatnya ke arah sepasang bola mata indah milik Naura yang juga spontan menatapnya. Satu detik, dua detik, tiga detik,... keduanya terhanyut dalam hening, lantas akhirnya tersadar dan saling memberi jarak.

"Maaf, saya nggak sengaja."
Naura hanya tersenyum pertanda bahwa hal barusan tak perlu dipermasalahkan.

"Kamu gapapa, kan?" tanya pria itu dengan nada agak canggung.
"Gapapa, Mas. Terima kasih, ya, sudah menolong saya."
"Sama-sama." Pria baik itu tersenyum sebentar, lalu menarik tangan Naura dan berkata, "Ayo, pergi dari tempat ini! Kita cari tempat yang lebih aman," ucapnya setelah melirik ke arah belakang. Rupanya bangunan tua tak berpenghuni itu kelihatan begitu gelap dan menyeramkan sekali. Sepertinya sudah tidak terurus selama bertahun-tahun.

🥀🥀🥀

"Ini kedai kopi milik sobat saya. Saya jadi freelance barista di sini buat nambah-nambahin biaya kuliah saya," jelas pria penolong itu. "Silakan duduk dulu! Saya buatin kopi hangat, ya," tuturnya ramah.

"Eh, nggak usah, Mas, gapapa."

Pria itu melirik ke arah jarum jam, lantas mengangguk paham. "Oh ya udah, teh hangat aja, ya. Tamu dilarang protes!"

Ya, Naura beruntung bisa berjumpa dengan pria sebaik dia. Ia pun mengecek ponselnya. Ada empat panggilan tidak terjawab dari Runi, ibunya. Ia pun mengembuskan napas berat. Tidak mungkin ia menelpon Runi selarut ini karena pasti ibunya sudah tertidur lelap. Selain tak ingin mengusik jam istirahatnya, Naura pun tidak ingin membuat Runi cemas dan tidak bisa tidur lagi karena terus memikirkannya. Sehingga, ia urungkan niatnya untuk menceritakan kejadian buruk yang ia alami tadi.

"Ini tehnya." Pria itu menaruh dua cangkir teh hangat untuk Naura dan dirinya sendiri, kemudian ia duduk di sebelah gadis bermata indah itu.

"Terima kasih, ya, Mas." Naura tersenyum tulus, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.

"Sssh!" Pria bermata hitam legam itu meringis, menahan perih. Ia sama sekali tidak menyadari, bahwa pipinya lebam dan sudut bibirnya terluka.

"Aduh, Mas, itu lukanya diobatin dulu, ya. Nanti malah infeksi kalo dibiarin gitu terus," kata Naura panik, lalu ia membuka resleting tas punggungnya dan mengambil sebuah kotak P3K. Meskipun isinya tidak terlalu lengkap, tapi setidaknya ia sudah mempersiapkan peralatan dan beberapa obat-obatan dasar jika terjadi unexpected thing seperti saat ini.

"Maaf, ya, Mas. Saya obatin dulu lukanya," izin Naura, lalu ia pun mulai membersihkan luka di sudut bibir pria itu dengan kapas yang telah ditetesi dengan antiseptik. Dilanjut dengan diobati beberapa cairan lain seperti Betadine.

"Sssh!"
"Perih ya, Mas. Tahan, ya. Perihnya sebentar, kok, nanti juga hilang."

Diam-diam pria itu memperhatikan bola mata cokelat Naura saat gadis itu tengah fokus mengobati luka memar di pipinya. Hatinya seketika menjelma tenang. Benar-benar damai. Ia merasa seperti berada di sebuah hutan belantara indah yang jauh dari keramaian kota. As calm as that....

"By the way, nama kamu siapa? Saya Naufal Akbar Sastraditama. Panggil aja Naufal."
"Saya Naura Rizkiya Salsabila. Panggil Naura boleh, Rizki boleh, Acha, atau Sabil juga boleh."

Momen itu terjadi seusai Naura mengobati luka di pipi pria baik bernama Naufal itu. Keduanya saling bersalaman sebagai tanda perkenalan. Ukiran senyuman manis terpahat indah di bibir keduanya. Dengan sorot mata yang sama-sama meneduhkan keduanya terlarut dalam senyap, hingga akhirnya Naufal buka suara soal pertanyaan yang mengganjal di benaknya sedari tadi.

"Eh, kamu ngapain keluar malem-malem gini sendirian? Jalan tadi kan rawan banget, Naura." Raut penasaran tergambar jelas di wajah mengagumkannya. Selain berhati baik dan pemberani, ternyata Naufal juga rupawan. Lebih tepatnya ... manis.

Naura pun menceritakan kejadian sebenarnya dari awal. Perihal ia adalah seorang pendatang dari Bandung, dan tentang tujuan utamanya ke Jogja selain untuk kuliah.

"Oh, kamu dari Bandung, toh. Hmmm, kamu sekarang nginep aja di sini dulu. Tapi, di sini cuma ada sofa. Ya setidaknya, kamu bisa istirahat lah sebentar meskipun nggak akan seempuk tidur di kamar hotel."
"Terus kamu?"
"Tenang aja, saya gapapa kok tidur di atas karpet."
Naura hanya mengernyit, lalu mengangguk paham.
"Dan kamu nggak usah khawatir, Ra. Kamu nggak bakal saya apa-apain, kok. I swear!"
Naura mengangguk ragu sambil tersenyum kecil.

"Ya udah, sekarang kamu istirahat aja dulu. Besok insyaallah saya bantu cariin kamu kost-an cewek yang super aman, mumpung besok saya nggak ada jam kuliah, oke?"

Naura mengangguk dan tersenyum tulus. "Sekali lagi, terima kasih ya, Mas Naufal...."

"Jangan panggil saya dengan sebutan Mas. Cukup panggil Naufal aja, oke."

"Semesta, terima kasih. Kau memang baik," batin Naura sebelum terpejam dan merapal doa.

🥀🥀🥀

Bersambung.

Kira-kira, besok akan terjadi hal apa lagi ya sama Naura? Let's see on the next chapter, Kawan. 🤗

Terima kasih sudah bersedia membaca.

Jangan lupa komentarnya, ya. Krisan: boleh sekali.
Baper? Jangan dulu, deh. Soalnya ke depannya kamu akan dibuat lebih baper dengan cerita di novel ini. ☺️

Love you all... 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro