Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#16 Pulang ke Hangat Pelukanmu

🎶 Melamarmu - Badai
Danilla Riyadi - Di ambang Senja

🥀🥀🥀

Jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan Naufal mengarah ke pukul 06.30 WIB. Sang surya pun tampak bersinar di gelanggang cakrawala, hangatkan bumi. Di perjalanan, ia pun melihat masyarakat lokal sudah giat memulai aktivitas kesehariannya. Bahkan, saat motornya melintasi jalanan protokol di Jogja, ada pula beberapa wisatawan asing yang sedang menyusuri trotoar jalan. Mungkin mereka menuju Candi Borobudur atau boleh jadi mencari santapan lezat khas Yogjakarta untuk sarapan paginya.

Tak butuh waktu lama, akhirnya Naufal pun tiba di kost-an Naura. Dengan memakai t-shirt hitam yang dipadupadankan dengan jaket Tracktop Filla kombinasi tiga warna, ia melenggang ke pintu kost-an gadis pecandu sastra itu. "Assalamualaikum, Naura? Ini aku Naufal," katanya sambil mengetuk pintu.
Mendengar pintu kost-annya diketuk, spontan Naura menghentikan aktivitasnya sejenak untuk membukakan pintu. "Wa'alaikumsalam, Fal. Ada apa? Duh, maaf, ya. Aku lagi ribet banget, nih, sekarang," jawabnya. Wajahnya tampak segar seperti biasa. Tentu saja, saat itu ia sudah mandi dan sarapan karena dia ada rencana untuk bepergian.
"Ribet kenapa, Ra? Mau aku bantuin nggak?"
Naura tersenyum riang dan penuh arti. "Aku lagi packing, nih, soalnya nanti sore aku mau flight ke Bandung. Aku mau ketemu sama Ibu dan liburan di sana, mumpung ada kesempatan," balasnya sambil menatap bola mata lawan bicaranya.
"Ya udah, aku pulang dulu, ya."
"Lho, kok cepet banget?"
"Aku ikut kamu ke Bandung, titik. Aku juga mau packing," jawab Naufal yang membuat Naura menganga, tak percaya.
"Nggak usah, Fal. Aku bisa ke sana sendirian, kok. Tenang aja...."
"Ini bukan masalah bisa sendirian atau nggak, Naura. Ini lebih dari itu karena menyangkut keselamatan kamu, dan aku mau jagain kamu. Kamu ingat, kan, apa kata Ibu kamu?"
"Iya-iya, aku kalah. Ya sudah, terserah kamu aja, Fal. Tapi kalau kamu ngelakuinnya keberatan, nggak usah, ya. Aku gapapa, kok. Beneran," tutur Naura. Ia merasa tidak enak karena sudah terlalu sering merepotkan Naufal. Meskipun Naufal berhati baik dan selalu peduli padanya, tapi tetap saja ia merasa tidak enak. Dan terkadang terbesit dalam pikirannya, mengapa Naufal sebegitu peduli terhadap kehidupanku?

"Aku yang bakal kenapa-kenapa kalau kamu sampai ke Bandung sendirian, Naura. Pasti aku cemas," kata Naufal sambil menatap Naura lekat-lekat. Ia pun menaruh kedua tangannya di pundak gadis  bermata indah itu.
"Fal, makasih, ya...," ucap Naura lembut.
Naufal mengangguk, tersenyum penuh arti, lalu mengelus-elus puncak kepala Naura. "Iya, kasihmu kuterima."
Jawaban dari Naufal barusan sontak membuat kedua bola mata Naura melotot efek kaget. "Hei, apa, sih!" tegurnya sambil mencubit lengan pria berpostur jangkung itu.

🥀🥀🥀

📍 Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta.

Siapapun pasti membenci perpisahan. Akan tetapi, apa jadinya bila dunia tidak lagi punya Bandara? Pasti manusia di bumi akan menghabiskan waktu lama jika ingin bepergian ke luar negeri. Tak bisa dipungkiri juga, bahwa perpisahan acapkali terjadi di airport, terminal, bahkan stasiun kereta. Dan mustahil jika petugas di sana memajang sebuah papan nama besar bertuliskan 'Dilarang melakukan perpisahan' atau 'Dilarang mendekati hal-hal yang mengindikasikan perpisahan'.

Lihatlah. Betapa menyakitkannya perpisahan di mata manusia, terutama insan yang acapkali melibatkan perasaan di setiap tindak-tanduknya. Perpisahan menjelma penjahat yang semestinya mendapatkan hukuman terberat. Bunuh dan ditiadakan saja dari permukaan bumi ini namun itu tidak mungkin terjadi. Pasalnya, perpisahan itu hal abstrak; yang bahkan bentuknya saja entah seperti apa.

"Setiap yang hidup pasti akan mati dan tinggalkan sebuah cerita. Yang datang pun akan pergi lalu sisakan berjuta makna. Itulah sebabnya, setiap detik yang kita punya adalah permata yang sangat berharga." Naura tepekur sambil memandang lautan manusia yang entah akan terbang ke mana.

Beberapa menit kemudian, terdengar pemberitahuan, bahwa penumpang pesawat dengan tujuan Bandar Udara Husein Sastranegara dipersilakan untuk memasuki area Boarding: keberangkatan.

Naura pun berjalan di sisi Naufal yang tampak begitu riang, entah karena apa. Kemudian, keduanya sama-sama menikmati penerbangan itu dengan berbicara tentang banyak hal sambil menonton awan-awan putih bak kapas lewat jendela pesawat.

"Langit biru itu luas, dan dikelilingi oleh mega-mega putih yang meneduhkan. Menurutku, langit biru dan mega adalah sepasang penghuni langit siang yang sangat serasi. Tau nggak alasannya kenapa?" tanya Naufal yang membuat Naura harus berpikir keras untuk menemukan jawaban yang tepat.

"Langit biru dan mega terlihat serasi karena keduanya bersinergi 'tuk menciptakan harmoni dan rona indah di atap-atap bumi," jawab Naura. "Dan keduanya berhasil. Sebab langit biru tanpa mega, bumi dan manusia tidak akan pernah merasakan teduhnya awan putih itu."

"Luasnya langit biru itu butuh awan yang bisa berubah menjadi apa saja agar langit bahagia. Langit hanya satu tapi awan lebih beragam jenisnya. Itu karena langit begitu nyaman berada di dekat awan. Selain itu, langit pun ingin menjaga bumi dari teriknya matahari, caranya bekerjasama dengan awan teduh."
Naura mengernyit. "Itu berarti langit mencintai bumi, bukan awan yang setia menemaninya sepanjang siang?" tanya gadis itu dengan kesimpulan yang ia buat sendiri.
"Terkaanmu keliru, Naura. Langit tidak mencintai bumi. Langit hanya mencintai awan."
"Buktinya apa?"
"Langit pun butuh keteduhan abadi, dan selamanya awan akan jadi satu-satunya sumber keteduhan bagi langit biru."

🥀🥀🥀

Setelah membuka pagar, Naura langsung berlari ke arah pintu rumah saking tidak sabar ingin segera memeluk tubuh Ibunya, Runi. Bayangkan saja, sekarang ia sudah kuliah semester dua, dan selama itulah ia meninggalkan bidadari tercintanya di Bandung. Awalnya memang berat namun dengan bekal restu untuk meraih cita-citanya akhirnya ia bisa.

"Assalamualaikum?"
Seorang wanita paruh baya berjilbab terlihat begitu pintu itu dibuka. Garis-garis di wajahnya mulai kelihatan namun itu sama sekali tidak mengurangi kecantikan yang murni dari hatinya. "Wa'alaikumsalam..., Naura! Ini Naura, putri cantik Ibu?" tuturnya sambil menangkup wajah gadis bermata indah di hadapannya. Matanya berkaca-kaca. Ada rindu yang melesak ke langit-langit hatinya, kemudian rindu itu berkeliaran di udara.

"Ibu, kumaha damang?" tanya Naura sembari berhamburan mendekap raga Runi, Ibu yang sangat dirindukannya.
Runi mengelus-elus punggung putri cantiknya yang sudah mulai tumbuh dewasa itu dengan penuh sayang. Kerinduan itu melebur dalam peluk. Tapi konon katanya, setelah rindu diredakan dengan pertemuan, maka setelahnya kerinduan itu akan semakin menyesakkan. Jadi, apakah sebenarnya rindu adalah rasa yang tidak bisa diobati? Bila benar begitu adanya, untuk apa pertemuan tercipta? Kata pujangga yang suka berfilosofi, "Sebenarnya, rindu adalah rasa yang tidak pernah benar-benar terobati, persis seperti luka. Itu karena rindu bak pohon besar nan rimbun yang kuat akarnya. Sehingga, akan teramat sulit untuk mencabutnya. Ya, seperti cinta. Bila cinta t'lah tertanam begitu dalam, maka akan sulit 'tuk melepaskannya."

🥀🥀🥀

"Neng, nggak suntuk di rumah terus?" tanya Runi saat ia sedang menyapu halaman rumah.
Sementara, Naura menyirami tanaman sambil tersenyum cerah. "Nggak, Bu. Naura di rumah aja. Lagian, mana mungkin aku merasa bosan, kan, ada bidadari cantik di rumah ini," tuturnya seraya berusaha merayu Runi agar wajahnya merah merona.

"Udah, gapapa atuh, Neng. Kan nanti sore Ibunya juga mau ngajar anak-anak di Madrasah," kata Runi seraya mengelus-elus pipi Naura.
"Boleh, Bu? Ibu ngizinin?"
"Boleh atuh, Naura geulis.... Gih, hati-hati!" Runi mengucapkannya sambil mengusap-usap puncak kepala Naura dengan sepenuh cinta.
"Makasih, Ibuuu bidadari cantik," kata Naura sambil memeluk Runi. Senyuman indah pun terukir di bibir tipisnya, bak enggan 'tuk memudar.

Setelahnya, Naura pamit pada Runi untuk pergi berkeliling Kota Kembang bersama Naufal. Tak lupa, ia cium punggung tangan bidadari cantiknya. Pelukan hangat pun ia berikan kepadanya atas segala kasih sayang yang tak terkira. Atas seluruh cinta yang ia terima sejak ditemukan sampai sudah beranjak dewasa seperti saat ini.

'Terima kasih, Bu, atas seluruh cinta dan kasih sayangmu yang tidak pernah usai. Semoga Allah dan semesta selalu memberkahi hidupmu dan membuatmu tersenyum, bahagia.' Naura membatin saat menghampiri Naufal yang sedang memberikan pakan marmut di halaman belakang rumah.

"Naufal!"
"Kenapa, Ra?"
"Ayo, ikut aku!" ajak gadis bermata indah itu sambil meraih tangan kanan Naufal, lantas digenggamnya.
"Mau ke mana?"
"Keindahan kota Bandung tidak boleh kita lewatkan," balas Naura.

🥀🥀🥀

Tepat sebelum matahari tenggelam di kerajaan antah berantah yang konon katanya bermukim di balik bukit sana, Naura dan Naufal tiba di area parkir sebuah tempat wisata most populer di kota Kembang. Ialah Orchid Forest Cikole, Lembang. Daerahnya masih dikelilingi pohon rimbun dan hutan nan luas. Tak aneh bila udaranya terasa begitu dingin saat mulai memasuki kawasan Lembang.

Pria berjaket tracktop Filla kombinasi tiga warna itu menghentikan derap langkahnya sehabis membeli tiket masuk. "Ra, kamu udah pernah ke sini?" tanyanya.
"Belum, Fal.
"Terus, selama kamu hidup di Bandung kamu ngapain aja, Naura?"
"Ya, fokus belajar dan bantu-bantu Ibu di rumah."
Naufal menganga sambil mengernyit syarat ketidakpercayaannya. "Nggak pernah pergi keluar rumah sama teman gitu?" tanyanya.
"Dulu kita pernah bahas hal ini, kan, Fal. Ya udah, begitu, titik...."
"Lihatlah, Senja, ternyata kembaranmu bisa marah juga," ledek Naufal sambil memandang langit yang dipenuhi warna jingga.

Kala itu, keduanya sedang berjalan di atas jembatan yang memanjang di sela-sela pepohonan. Kelap-kelip lampu pijar berwarna kuning keemasan pun kian memperindah suasana di sana. Sungguh senja yang indah. Dan menikmati senja bersama Naura adalah hal yang paling indah sepanjang sejarah hidupnya.

"Aku ini manusia biasa, Naufal. Aku bukan sejenis senja yang jadi penghias langit," tutur Naura.
"Kamu memang manusia biasa tapi sepertinya Tuhan menciptakanmu dari sebagian komposisi semburat senja yang acapkali membuat penghuni bumi terpesona. Kamu indah, saaangat indah. Maukah kau menjaganya?" tutur pria bermata teduh itu seraya menatap mata Naura lekat-lekat, dan sesekali menengadah ke atas: 'tuk menyaksikan senja pamit pulang untuk istirahat. "Menjaga keindahan itu agar tetap dan akan selalu indah. Kamu mau?" lanjutnya.

Naura terdiam setiap kali ditatap lamat-lamat seperti itu. Tidak tau kenapa, jantungnya jedak-jeduk tidak keruan. Denyut nadinya pun serasa riuh sekali, tak senormal biasanya. Dan entah sejak kapan, perasaan aneh itu hadir di bilik-bilik hatinya yang kosong, tak terisi nama. Yang pasti, ia selalu berhasil bersandiwara, bahwa hatinya bertindak biasa saja ketika sedang di dekat pria itu.

'Semesta, ini sudah kesekian kalinya jantungku berdegup cepat saat ditatap lekat-lekat oleh sepasang tatapan seteduh awan milik kedua bola matanya,' batin gadis pecandu senja itu.

Gadis itu mengangguk. "Cara menjaganya bagaimana?"
Naufal pamit sekejap untuk mengambil sesuatu di jok motor, kemudian ia datang kembali sambil menyembunyikan barang bawaannya di balik tubuhnya. "Ini, bukalah, Ra. Jawabannya ada di dalam kotak ini," tuturnya sembari menyerahkan sebuah kotak berwarna coklat klasik berpita pada Naura.

Beberapa jenak setelah itu, Naura membuka kotak itu lantas menggenggam sesuatu yang merupakan pemberian dari Naufal.

"Hijab?"
Naufal mengangguk mantap sambil tersenyum hangat. "Pakailah, Ra," titahnya dengan nada selembut beludru. Tak membentak sehingga membuat lawan bicaranya ketakutan, tidak. Ia bukan tipe lelaki yang seperti itu karena ia sangat menghargai wanita.
"Aku pakai, ya, Fal," kata Naura seraya mencoba memakai hijab berwarna biru muda bermotif yang senada dengan warna hoodie-nya.
"Nah, kan semakin cantik," pujinya.
Naura tersenyum. Pipinya memerah padam, dan ya, ia tersipu malu saat dipuji begitu. "Lho, ini apa, Fal? Ini punya kamu?" tanya gadis itu tiba-tiba saat memegang bagian ujung hijab yang kini telah menutup auratnya.
"Anak SD saja pasti tahu itu apa, Naura," jawab Naufal sambil tersenyum lebar. Menampakkan barisan gigi putihnya.

"Cincin," balas Naura dengan raut wajah polosnya nan menggemaskan.
"Cerdas sekali." Naufal mengacungkan jempol kanannya dengan mata penuh binar-binar.
"Kok punya aku?" Naura mulai terlihat kebingungan dengan ucapan dan aksi pria itu detik-detik ini. Penuh teka-teki.
"Aku tahu, Ra, prioritasmu saat ini adalah mencari kedua orang tua kandungmu. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, sungguh tidak bisa...."
'Perasaan? Perasaan apa?' Hati kecil Naura berbicara tanpa mengeluarkan suara.
"Bagaikan langit biru dan awan putih. Awan selalu mengagumkan dan paling sabar menghadapi satu langit yang berbagi indahnya pada bumi. Awan terlalu mengerti langit biru yang cuma satu, dan konsekuensi keduanya yang acapkali bersama membuat langit biru merasa nyaman dan jatuh hati pada awan yang meneduhkan. Karena sejatinya, langit biru adalah rumah bagi awan," tutur Naufal saat matahari sore mulai tergelincir ke ufuk barat.

Naura terbungkam. Bibirnya serasa terkunci, di luar kendalinya. Dan hatinya kian berdesir begitu mendengar untaian kata yang terucap dari lisan pria di hadapannya itu. Tidak bisa dipungkiri pula, ada ketentraman yang hadir di sudut-sudut sukmanya.

"Aku sadar, mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku tidak butuh seribu tahun untuk menjatuhkan pilihan hatiku padamu karena aku yakin, kamulah rumahku; satu-satunya tujuan kepulanganku. Dan aku ingin kamu menjadi teman hidupku; cinta pertama dan terakhir dalam hidupku, kamu bersedia?" Naufal melafalkannya tanpa terbata-bata, tidak juga tergesa-gesa.

Karena bagaimanapun juga, Naura mesti tahu tentang perasaannya selama ini. Pasalnya, ia tidak mau kecewa dan menyesal karena terlambat mengungkapkan atau tragisnya ... semesta tidak memberikannya kesempatan untuk mengutarakannya. Jadi, ia harus berterus terang. Bila bukan sekarang lalu mau kapan lagi dan menunggu apa lagi? Bila sudah yakin, maka katakan. Jika meragu, berpikirlah dahulu lantas sinkronkan antara hati dan logika. Sebab cinta adalah keselarasan. Harmoni dan pengindah kehidupan.

"Beri aku sedikit waktu untuk berpikir, ya, Naufal," tutur Naura pada akhirnya. Dibalas dengan sebuah anggukkan dari lawan bicaranya.

Pria itu enggan berprasangka buruk pada garis semesta apalagi Allah Yang Maha Bijaksana. Sebab ia paham, bahwa segalanya telah diatur oleh sang pemilik alam raya, angkasa, dan seluruh planet di galaksi Bimasakti.

Dan baginya, cinta itu bukan soal seberapa cepat ia hadir di dasar hati, atau seberapa mudah ia mendapatkan cinta. Namun menurutnya cinta itu perihal pembuktian yang melibatkan keyakinan dan ketulusan terdalam. Pasalnya ia sadar, bahwa bagian tersulit dalam bab cinta bukanlah mengikhlaskan tapi menetap pada satu pilihan; bertahan lantas menghalalkan. Dan lagi-lagi ini adalah soal menjaga, beribadah seumur hidup, dan lebih dari itu.

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan." [HR. Bukhari no. 1905, 5065, Muslim no. 1400]

🥀🥀🥀

Bersambung.

🙏

Jangan lupa isi kolom komentarnya, ya...

Apa reaksi kalian saat membaca part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro