#14 Alam; Tempat Ternyaman 'tuk Bercerita
🎶 Senar Senja - Savana
Pusakata - Kelam
"Sungguh rindu ini begitu berat, melebihi massa bumi dan planet lain di galaksi bimasakti. Tapi aku tidak akan menyerah walau terbesit rasa lelah. Sebab ku percaya, bahwa harapan itu masih ada selama ku bernyawa."
NB: JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR, YA. 😊
🏞️ Location: around Air terjun di Wonoselo, Magelang, Jawa Tengah.
🥀🥀🥀
Jalan setapak dilalui oleh dua insan yang sama-sama memakai celana Jogger outdoor itu. Sisi kanan-kiri jalan didominasi oleh pepohonan rimbun nan menjulang tinggi. Semak belukar pun tumbuh di antaranya. Hal itu menjadi pertanda sederhana, bahwa ratusan meter ke depan adalah bukan kawasan perkampungan, melainkan hutan.
Tapi hutan tidak jadi halangan berarti bagi pria es yang berjiwa petualang itu. Selama mentari masih bersinar hangat di nun sana, memasuki bumi satwa liar pasti akan aman karena jalur track-nya tidak akan sesulit bila turun hujan deras. Dan kali ini tujuannya bukanlah untuk mendaki gunung, namun untuk mencari objek yang bisa dijadikan bahan jepretan kameranya.
Ya, pria es itu adalah Bara, ketua Mapala di UGM Yogyakarta. Sambil memikul tas backpack di punggungnya, ia membidikkan lensa kameranya tiap kali ia melihat objek unik selama berjalan memasuki hutan. Beban yang dipikulnya pun tidaklah berat karena ia hanya membawa tripod, alat P3K sederhana, dan persediaan makanan berupa roti serta dua botol air mineral. Ia pun cuma mengenakan t-shirt berwarna merah dan rompi outdoor-nya. Sementara, kakinya dilindungi oleh sepatu khusus di alam bebas yang memang biasa ia pakai saat muncak.
"Buruan jalannya! Lambat banget, sih!" hardik Bara sambil menengok ke belakang, ke arah seorang gadis bertopi hitam.
"Fiuh!" Gadis itu menghela nafas panjang, lalu bergumam, "Bawel." Untungnya, gumamannya itu tidak kedengaran oleh pria es yang mulai sibuk memotret burung yang sedang bertengger santai di ranting pohon. Kemudian, objek bidikannya beralih ke sebuah bunga anggrek putih yang tumbuh sendirian di batang pohon. Terlihat indah sekali. Memanjakan mata. Akan tetapi, kasihan juga melihatnya. Pasti anggrek itu kesepian tanpa teman sejenisnya.
Namun anggrek itu ternyata tangguh juga. Ia tetap hidup walau terpisahkan dengan anggrek lain. Dan memang semestinya seperti itu. Hidup harus tetap berjalan walau terkadang hadir kepahitan yang begitu mengiris perasaan.
"Anggrek itu berjiwa tangguh sekali. Berkat hidup terasingkan dan didera rasa kesepian, akhirnya ia tumbuh indah dan tidak mudah rapuh. Dan aku harus belajar dari sana. Harus!" batin Naura sambil tercenung sejenak.
Setelah meneruskan langkah di jalan setapak tadi, sayup-sayup terdengar suara mata air yang sangat menenangkan dari kejauhan. Entah itu bersumber dari air terjun atau hanya aliran sungai. Gadis bertopi hitam itu pun bersemangat untuk segera menemukan dari mana sumbernya. Langkahnya sengaja dipercepat, mungkin karena sudah tidak sabar ingin bercengkerama dengan dinginnya.
Bara yang tertinggal di belakang pun menatap punggung gadis itu dengan tatapan heran. Dahinya mengkerut secara refleks. "Gadis aneh," desisnya pelan sambil geleng-geleng kepala.
Lima menit pun berlalu, dan jalanan menurun berhasil keduanya tempuh untuk sampai di sumber mata air itu. Sepatu milik Naura tampak lumayan kotor karena sepanjang jalan setapak barusan didominasi oleh tanah merah. Akan tetapi, itu tidak jadi masalah. Gadis itu pun tidak terlalu memedulikannya. Malah ia asyik terdiam, memejamkan mata, dan membentangkan kedua tangannya. Wajahnya pun mendongak ke atas langit cerah saat sungai itu tampak begitu dekat di bawah sana.
"Loe ngapain?" tanya Bara, namun tak digubris oleh adik tingkatnya itu.
"Naura!" teriaknya. Karena tak kunjung direspons oleh Naura, ia pun acuh tak acuh lantas kembali fokus pada kamera yang menggantung di lehernya.
Dan entah ada angin apa, tiba-tiba saja lensa kameranya terpusat ke arah Naura yang masih asyik menikmati alam. Memang, sejuknya masih terasa di pori-pori kulit walau hangatnya surya menyinari bumi manusia dari atas sana.
"Semesta, di belahan bumi mana kau jaga kedua orangtuaku? Di bagian mana? Beritahu aku agar aku bisa bersua dan memeluknya, kumohon. Sungguh rindu ini begitu berat, melebihi massa bumi dan planet lain di galaksi bimasakti. Tapi aku tidak akan menyerah walau terbesit rasa lelah. Sebab ku percaya, bahwa harapan itu masih ada selama ku bernyawa." Gadis yang matanya sengaja terpejam itu bermonolog dengan semesta lewat nyiur angin yang berkeliaran di atmosfer. Ia berharap, keajaiban Tuhan akan segera turun padanya lalu menghentikan koloni lara yang selama ini mendera. Sebab rasanya hatinya sudah menjadi puing-puing yang berserakan, dan ia berpura-pura baik-baik saja di balik senyumannya.
Tanpa bisa dicegah, rintik-rintik hujan turun dari kedua bola mata indahnya. Bagaimana tidak. Rindunya sudah berada di fase-fase terberat, di mana semakin meluap semakin sakit pula rasanya. Dan kala itu, Naura berkhayal, tubuhnya sedang memeluk raga kedua orang tua yang teramat dirindukannya. Akan tetapi, saat ia membuka mata, barulah ia tersadar. Pada kenyataannya, itu semua hanya di dunia imajinasinya dan belum terjadi di realita karena mungkin semesta masih ingin melihatnya lebih tegar lagi daripada ini.
"Udah..., Naura nggak boleh nangis terus. Naura harus jadi gadis yang kuat. Naura nggak boleh lemah sama rasa sedih dan lelah, nggak boleh!" Gadis bermata sendu itu menyeka air matanya sendiri, lalu menyemangati dirinya sendiri agar tidak terlena oleh nestapa yang meskipun tak kentara oleh mata namun begitu terasa pedihnya.
Setelah itu, ia berlari ke bawah, tepatnya ke arah sungai yang beraliran tenang dan airnya jernih itu. Kemudian, ia celupkan kedua tangannya ke air sungai yang menyegarkan mata itu. Suara alirannya pun mencipta kedamaian di relung hatinya, sungguh. Semesta memang indah, dan itu semua adalah kreasi Allah Yang Maha Esa. Dan kini ia sadar, ternyata alam itu luar biasa. Ia dapat mengasingkan serdadu luka dan durja yang menjajah hatinya selama bertahun-tahun.
Ajaib sekali alam semesta ini. Dengan semilir anginnya saja, gelisah yang bersarang di benak tetiba saja lenyap seketika. Apakah semesta memang sebaik ini? Lalu, apa kata segelintir manusia yang menganggap bahwa semesta tidak pernah adil? Bukankah kata mereka semesta itu jahat dan suka semena-mena?
Jadi, sebenarnya semesta itu jahat atau baik?
🥀🥀🥀
"Sini, Kak!" teriak Naura pada pria yang sedang asyik memotret pemandangan indah di sekitar sungai.
"Apa?!" Ia menyahut dengan nada ketus; juga sebal. Sepertinya ia memang diciptakan dari partikel-partikel es di kutub utara. Makanya Bara sedingin itu. Dan itulah yang membuatnya acapkali mendapatkan cap sebagai Kakak termenyebalkan di kampus.
"Sini! Tapi simpan dulu kameranya. Gawat kalau kamera Kakak sampai jatuh ke sungai," kata Naura setengah berteriak sambil memandang ke arah Bara yang sedang duduk santai di atas batu besar sambil melihat-lihat hasil jepretannya.
Bara memutar bola matanya. Sebenarnya tujuan ia ke tempat ini adalah untuk memotret. Sudah itu saja. "Apa?! Kenapa?!" tanyanya ketus. Celana outdoor-nya sudah ia gulung terlebih dahulu sebelum menghampiri Naura yang berada di tengah-tengah aliran sungai nan tenang. Kamera dan tas backpack-nya pun ia simpan di atas batu besar yang tidak terlalu jauh jaraknya sehingga masih bisa dijangkau oleh penglihatan.
"Kakak ke sini cuma mau cari objek doang?"
"Ya terus?"
"Udah jauh-jauh ke sini tapi nggak senang-senang, mubadzir, lho, Kak. Gunakan kesempatan yang ada. Jika bisa menyelam sambil minum air, kenapa tidak?"
"Gue udah lama nggak tahu gimana rasanya senang; bahagian! Rasanya, kebahagiaan udah hilang dari hidup gue, dan loe nggak pernah tahu gimana rasanya jadi gue, ada di posisi gue!" bentaknya
"Bukankah kebahagiaan bisa kita ciptakan?"
"Susah."
"Emang kebahagiaan Kakak itu apa?"
"Entahlah. Bentuk dan rasanya aja nggak tahu."
"Kakak suka fotografi, kan? Kakak pasti ngerasa senang, kan, kalo dapet hasil jepretan yang bagus dan bermakna?" Naura terus berbicara untuk memancing pria es itu bercerita tentang kisahnya. Barangkali, ada sepenggal cerita yang ingin Bara bagi padanya. Setidaknya, untuk membuatnya sadar, bahwa ia tidak pernah sendiri dan masih ada orang yang bersedia mendengarkan tanpa memotong pembicaraan.
Bara tepekur sejenak. Di bilik-bilik pikirannya ia membenarkan asumsi Naura, bahwa memotret memang membuatnya merasa senang. Akan tetapi, bukan itu bentuk kebahagiaan yang ia inginkan? Kebahagiaan yang ia butuhkan hanyalah hangatnya kebersamaan bersama keluarga tercinta, pelukan kasih sayang, dan lembut sentuhan Ibu. Semua itu membuatnya dibunuh oleh pasukan rindu yang begitu menyiksa. Apalagi jarak Bara dan kedua orangtuanya sangatlah jauh. Ia perlu melintasi banyak lautan, bukit, atau jika ingin agak cepat ... bisa bertemu lewat lalu lintas udara. Pasalnya, ayah-ibu Bara sedang mengurus perusahaan peninggalan kakek-neneknya di Turki.
"Iya, gue suka fotografi tapi bukan itu definisi bahagia yang gue maksud. Dan loe nggak bakal ngerti," ucap Bara sembari berjalan pelan, menyusuri tepi aliran sungai yang begitu terasa sejuk di kaki.
"Aku nggak akan pernah mengerti kalau Kakak nggak bicara soal itu. Sampai ikan berenang di langit pun aku nggak akan pernah paham."
"Gue? Cerita sama loe?"
"Iya, terus kenapa? Aku punya telinga buat dengerin cerita Kakak, dan aku punya hati buat ngejaga privacy Kakak. Kalau Kakak masih belum percaya sama aku, ya gapapa, sih."
Bara menghentikan langkahnya tepat di depan batu besar. Tas dan kamera kesayangannya tak ia tinggalkan karena barang itu sangatlah berharga dalam hidupnya yang hampa. Ia duduk di sana, di atas batu, disusul dengan Naura yang juga duduk di sebelahnya.
"Fotografi emang dunia gue. Dunia yang bisa sedikit memudarkan kelamnya dunia gue menjadi lebih berwarna. Tapi pada kenyataannya, hidup gue tuh ibarat warna awan sebelum hujan lebat." Tatapan mata Bara jauh menerawang ke pedalaman hutan itu. Dan sempat terlintas di benaknya; lebih baik tersesat di hutan belantara daripada terjebak di pilunya dunia nyata.
"Semesta, sedalam itukah luka yang dia rasa hingga hidupnya benar-benar hampa? Tapi dia terluka karena apa?" batin Naura berkecamuk, riuh-redam dengan beribu pertanyaan yang berkelindan liar di dinding pikiran. Selanjutnya, ia kembali fokus mendengarkan curahan hati Bara sambil menatapnya.
"Bagi gue, hal pertama yang membuat hidup jadi lebih berwarna adalah keluarga. Tapi gue kurang beruntung karena selama ini gue belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang dan kehangatan keluarga. Gue merasa hidup sebatangkara di bumi yang luas ini. Salah nggak, sih, kalau gue anggap kalau semesta itu kejam?"
"Semesta itu sebenarnya baik, Kak. Hanya saja serangkaian ujian hidup yang menghadang kita seolah-olah menghipnotis otak kita buat nge-judge, bahwa semesta itu jahat dan nggak adil. Padahal semesta itu sama seperti angin yang membuat daun berguguran. Semesta cuma menjalani alur cerita yang telah Tuhan gariskan. And It isn't fair if you think, that universe is fully wrong. Once again, universe has its own destiny like us." Alam raya seakan-akan mengheningkan cipta serempak. Hanya terdengar bunyi aliran sungai nan menenangkan, dan burung-burung yang bernyanyi riang di tangkai pepohonan nan menjulang tinggi.
'Semesta punya garis takdirnya sendiri, sama seperti kita.' Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Bara. Benar juga, pikirnya sambil menoleh dan memandang Naura. Dan kini ia sadar, ternyata tidak ada salahnya berbicara dan bercerita.
Ini pun adalah kali pertama dalam hidupnya ia bercerita; mencurahkan rasa yang selama ini terpendam dan kian menggunung di ruang dada juga kepala. Coba bayangkan, sudah sebanyak apa perihnya, sudah seberapa sesak hatinya, dan sudah berapa banyak pil pahit yang ia telan sendirian. Tanpa teman berbagi, tanpa sahabat tulus yang selalu ada di kala senang maupun susah. Coba bayangkan.
"Kali ini, gue setuju sama persepsi loe barusan. Thanks udah bikin gue lebih open-minded. Padahal seharusnya gue yang lebih berpikir dewasa daripada loe." Bara bertutur begitu. Sorot matanya sedikit berubah, mungkin karena perasaannya sudah agak lega dan lebih baik dari detik-detik sebelumnya.
"Back to my grey story: sebenarnya gue rindu sama Ayah-Ibu gue tapi percuma. Mereka lebih mementingkan materi daripada anaknya sendiri."
"Kakak udah bilang, kalo Kakak rindu sama mereka?"
Bara mengernyit. "Ya, nggak, lah," sergahnya.
"Gimana mereka bisa tahu, kalo Kakak nggak bilang kangen sama mereka?" tanya Naura sambil tersenyum.
"Nggak, lah. Biarin mereka peka sendiri."
"Kakak gengsinya tinggi juga, ya. Hahaha," ledek Naura lalu berkata, "Lagian, nggak semua orang di dunia ini punya kepekaan tingkat tinggi, Kak. Ada, lho, manusia yang kelas kepekaannya rendah banget."
"Emangnya setiap rindu harus diungkapkan?" tanya Bara seraya menatap kedua bola mata Naura.
"Bukan harus, tapi rindu perlu dinyatakan untuk mengobati rindu itu sendiri. Bila tidak segera disembuhkan, silakan tanggung sendiri betapa menyiksanya berada di puncak merindu."
"Buset! Nusuk banget, nih, kata-katanya Sastrawan. Bukan main," komentar Bara sambil geleng-geleng kepala.
"Hah?! Sastrawan? Ah, Kakak mah berlebihan. Aku cuma telanjur cinta sama sastra, udah itu aja."
Ada sedikit jeda untuk sekadar menghirup udara segar dan mendongak menatap langit. Keduanya saling bungkam selama beberapa jenak. Membiarkan benaknya didatangi tamu-tamu berupa pertanyaan dan pernyataan.
Dalam pikiran Bara terlintas, "Ternyata berbagi cerita nggak seburuk yang gue bayangkan. Cuma guenya aja yang harus pinter-pinter milih ke siapa mau cerita."
Sementara, Naura berkata dengan hati kecilnya, "Tak kusangka, di balik jiwanya yang dingin dan tegar, tersimpan kisah kelam dan lara yang menyayat perasaan. Apakah setiap orang pendiam yang lebih memilih bungkam menyembunyikan cerita pilu di balik senyuman dan sikapnya? Apa benar begitu?"
"Ayo!" ajak Bara saat sudah turun dari atas batu, tempat duduknya tadi.
"Ke mana?"
"Pindah tempat, lah. Masa mau di sini terus? Liat, tuh, panas mataharinya juga udah mulai terik," kata Bara. "Ayo!" sambungnya sambil mengulurkan kedua tangan pada Naura yang masih duduk santai di atas batu.
"Hm?"
Bara tersenyum jahat. "Kalo loe sampe jatoh terus kaki loe terkilir, gue males gendong loe. Mana jalannya cukup jauh terus harus ngangkut karung beras kayak loe? Ya, ogah, lah," ejeknya.
Naura menerima uluran tangan dari Bara untuk turun dari batu yang lumayan tinggi itu. Kini, ia berpijak pada bebatuan agak licin di pinggiran sungai. Bebatuan itu masih terkena aliran sungai yang tenang dan jernih itu. Bahkan, saat ia berjalan beberapa langkah, gadis bertopi hitam itu hampir saja terpeleset. Akan tetapi, tubuhnya tidak jadi basah kuyup berkat Bara yang dengan sigap menangkap tubuhnya.
Selama beberapa detik, keduanya bersitatap karena semesta seolah berhenti bekerja seperti semestinya. Bumi pun serasa berhenti berotasi pada porosnya. Anehnya, ada debaran aneh di dada Bara. Entah itu apa, ia belum bisa memastikannya.
"Lain kali hati-hati," tutur Bara dengan muka datar yang tidak dibuat-buat. Pria es gelarnya, jadi tidak usah diragukan lagi soal ekspresi dinginnya.
"Lagian nggak ada papan peringatan bertuliskan 'Awas bebatuan ini licin!', sih," celetuk Naura polos.
🥀🥀🥀
Bersambung.
🌵🌵🌵
Assalamualaikum? Maaf, atas keterlambatan update yang selalu saya ulangi. Maaf sekali untuk Kak Windy dan segenap rekan-rekan di SWP, juga pembaca cerita novel "Korban Semesta".
Saya selalu saja bermasalah dalam me-manage waktu. Apalagi saya menulis di sela-sela jam istirahat sehabis kerja dan Sabtu-Minggu. 🙏 Afwan....
Mau dimaafkan?
Namun dengan kekurangan saya ini, saya sangat ingin menyusul teman-teman SWP lain yang sudah semakin dekat menuju Ending cerita. Saya juga bertekad ingin memberikan yang terbaik untuk SWP gen-2 ini.
Maka, mohon doa dan dukungannya, ya, Semuanya. 🙏
Terima kasih...
With love,
Hime. 🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro