#13 Kejutan lagi
🎶 The Overtunes ft. Monita Tahalea - Bicara
🥀🥀🥀
Pagi itu, Naufal sengaja tidak bilang-bilang akan ke rumahnya Naura. Tiba-tiba saja dia sudah ada di depan rumah dan menyuruh Naura untuk keluar dari kost-an. Padahal waktu itu, ia sedang malas sekali untuk beranjak dari dalam kost-an karena sedang ada cucian yang semakin hari kian menumpuk.
"Ya ampun, Naufal! Ngapain ke sini pagi-pagi begini?!"
"Mau ngajak kamu ke luar," jawab Naufal sambil tersenyum lebar.
"Kok nggak ngabarin dulu?"
Naufal hanya tersenyum lebar sambil menunjukkan
deretan gigi putihnya nan rapi.
Naura mengerucutkan bibirnya saking kesalnya pada pria berkaos hijau army itu. "Aku lagi sibuk nyuci tau."
"Ya udah aku bantuin, ya?"
"Nggak usah, ih, Fal. Kamu tunggu di sana aja, oke?" kata Naura seraya menunjuk ke arah gazebo mini.
Akhirnya, Naufal mengalah saja. Ia tidak ingin membuat gadis itu bete pagi-pagi begini. Dan selama menunggu Naura siap-siap, ia duduk santai di gazebo kecil sembari mendengarkan musik bergenre Indie lewat headset hitamnya.
Beberapa jenak kemudian, Ibu pemilik kost datang menghampiri Naufal yang sedang menikmati udara pagi dan melihat tanaman hijau yang begitu menyegarkan mata. Sayup-sayup angin pun tampak mengusik dedaunan di ranting pohon, lantas menggugurkan beberapa bagian yang sudah rapuh.
"Eh, Nak Naufal! Pagi-pagi sekali sudah di sini. Mau main keluar, ya?" sapa Bude Sari, pemilik kost-an.
"Eum... iya, Bude. Boleh?" Naufal tetiba saja canggung atau mungkin lebih tepatnya salah tingkah.
Bude Sari tersenyum hangat. "Boleh, Nak. Asalkan jangan sampai larut malam saja, ya."
"Siap, Bude," kata Naufal dengan penuh semangat.
"Naura wanita idaman kamu, ya, Nak?" Tiba-tiba saja pernyataan itu dilontarkan Bude Sari. Spontan, Naufal diam sebab bingung harus menjawab apa.
"Pantas saja, sih, Naura jadi wanita idamanmu, Nak. Bude aja, nih, mau banget kalau dia jadi menantu Bude," tutur Bude Sari. "Sayangnya, anak Ibu wadon semua," sambungnya diakhiri dengan gelak tawa.
"Ah! Bude jadi ingat masa muda Bude dulu," kata Bude Sari dengan tatap menerawang. Naufal pun memasang mimik penasarannya, dan ia siap mendengarkan dengan baik. Sebab terkadang seseorang hanya butuh untuk didengar, bukan untuk disela ataupun dikomentari.
Setelah menceritakan tentang proses bertemunya Bude dengan suaminya, Bude berkata seperti ini pada Naufal, "Intinya, Nak. Cinta itu harus diperjuangkan. Apapun ujiannya, cinta akan tetap disebut cinta bila ia dipertahankan dan diperjuangkan. Karena percuma bilang cinta, jika pada akhirnya saling pergi. Percuma."
"Dan jangan sampai kamu menyesal, Nak. Cinta juga perlu dikatakan meskipun fitrahnya dirasakan oleh hati. Karena bagaimana dia tahu perasaanmu, kalau kamu tidak mengungkapkannya?" lanjut Bude Sari.
"Oh, jadi perlu, ya, Bude?" tanya Naufal.
"Perlu apa emangnya, Bude?" Naura tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Pagi ini, ia kelihatan jauh lebih cantik dengan dress putih sebawah lutut. Taburan bedak tipis pun menambah kesan natural di wajahnya nan ayu. Apalagi polesan lipmatte nude di bibirnya, membuatnya semakin mirip dengan boneka Barbie saja.
"Oalaaah! Ayu tenan kau, Naura." Bude Sari beranjak dari posisi duduknya, lalu menghampiri gadis cantik jelita itu, dan memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sementara, Naufal hanya sanggup bungkam demi menutupi kekagumannya pada makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.
"Makasih, Bude," kata Naura sambil tersipu malu. Pipinya pun merah merona walau tanpa dipoles blush-on.
"Hati-hati, ya, Nak. Ingat waktu! Pulangnya jangan malam-malam," pesan Bude seraya mengelus-elus pipi Naura yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Ya, sesayang itulah Bude padanya, gadis yang tidak tahu rupa kedua orang tua kandungnya itu.
"Siap, Bude!"
Setelah itu, keduanya pamit pada Bude dengan mencium punggung tangannya penuh hormat. Tak butuh waktu lama, motor Naufal pun melesat, membelah jejalanan Kota Istimewa Yogyakarta. Perihal tujuan mereka pergi, Naufal sengaja belum memberitahu Naura. Pria bermata teduh itu memang senang sekali membuatnya penasaran. Suka pula memberi kejutan-kejutan sederhana tapi membuat hati berbunga-bunga, bahagia.
"Naufal, kita mau ke mana, sih? Aku belum sempat sarapan, tauk! Kamu, sih...," omel Naura dengan nada kesal. Namun Naufal malah merasa senang saat mendengar celotehannya saat cemberut begitu. Entah kenapa, menurutnya suara Naura jadi berubah lebih menggemaskan. Bukan mengerikan seperti monster rumahan yang marah-marah tidak jelas. Ini sama sekali tidak memekakkan telinga, sungguh tidak.
"Ssst! Sebawel apapun kamu... tetap aja aku nggak akan kasihtau. Wleee!" Naufal malah menjulurkan lidahnya. Hal itu membuat Naura semakin bete dan hanya bisa memutarkan bola matanya, kemudian diam tanpa suara selama perjalanan.
Pagi itu, sang fajar tidak malu-malu menyapa bumi dengan sinarnya. Hawa hangat pun merebak di seantero Jogja, menembus dedaunan yang menggigil semalam, menyentuh bunga-bunga di taman yang sepanjang malam dipeluk angin, dan menerobos lewat celah-celah kaca jendela rumah.
Semesta dan seisinya memang punya cara tersendiri untuk membuat bumi manusia tampak indah. Tidak hanya indah, tapi juga nyaman dengan adanya awan-awan yang meneduhkan. Bayangkan saja, jika langit tanpa mega-mega putih itu? Bumi pasti akan kepanasan, bukan?
Jadi, sebenarnya bumi lebih membutuhkan langit atau mega? Mungkin itulah yang akan muncul di benak gadis penyuka sastra ini. Masih ia tatap langit lazuardi itu beserta kawan-kawannya. Tepekurlah dia dalam diam. Lisannya tertutup rapat, akan tetapi hatinya tak berhenti bicara. Melontarkan tanya pada semesta namun tiada jawabnya.
"Awan adalah wujud dari langit luas itu. Ia hanyalah sisi lain dari langit yang menaungi bumi. Tak cuma itu, tapi ia juga melengkapi dan menjadi teman terbaik bagi langit," kata Naufal tiba-tiba.
"Kok kamu bisa baca pikiranku, sih? Naufal, kamu manusia, kan?"
"Aku Naufal Akbar Sastraditama, Naura."
"Kamu baca buku apa aja, sih?! Jadi ngeri kalo kamu emang bisa baca pikiran orang lain."
"Aku cuma baca buku yang pengen aku baca aja, Ra. Udah, itu aja. Kamu aja yang mikir aneh-aneh."
"Tapi---"
"Kita ini ibarat langit dan awan itu, Ra. Awan adalah bagian dari langit, begitu pun sebaliknya. Awan nggak perlu jadi langit, dan langit nggak perlu jadi awan untuk tahu bagaimana rasanya jadi awan yang meneduhkan. Nggak perlu. Karena langit dan awan itu satu bagian, satu raga, satu jiwa," kata Naufal sambil fokus mengendarai motornya yang mulai memasuki perkampungan.
"Satu bagian? Ah, Naufal, kamu bikin perumpamaan yang rumit. Aku jadi pusing," tutur Naura sambil memijit pelipisnya yang mulai terasa pusing karena berpikir keras.
"Kamu beneran nggak ngerti?" Naufal mencoba memastikan apakah gadis sepintar Naura benar-benar tidak menangkap maksud dari ucapannya barusan.
Naura menggelengkan kepalanya, dan Naufal melihatnya dari kaca spion.
"Aku cuma takut salah mengartikan maksudmu, Naufal. Sebenarnya aku paham arah penuturanmu itu ke mana," batin Naura.
Beruntung. Ketidakmengertian itu segera mereda waktu keduanya tiba di tempat tujuan. Naufal memarkirkan motornya di halaman sebuah Panti Asuhan. Tanpa aba-aba, segerombolan anak pun datang dari dalam, lalu mengerumuni Naufal dan memeluknya satu per satu.
"Kak Ufaaal!" teriak gadis kecil berpipi chubby yang sepertinya ketinggalan. Ia berlari kecil ke arah Naufal yang sudah dikelilingi anak-anak yang tampaknya sebaya dengannya. Semuanya tampak riang, dan mata Naura berbinar-binar begitu melihat pemandangan itu.
"Eh, Lala! Sini-sini," kata Naufal sambil berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan anak-anak itu.
"Kak Ufal ke mana aja? Lala kangen Kak Ufal. Kita cemua kangen Kakak," tutur Lala dengan nada yang sangat lucu, menggemaskan.
"Maaf, ya. Kakak baru sempat ke sini lagi. Dan sekarang, kita main sepuasnya, oke. Oh iya, Kakak juga bawa sesuatu, lho, buat kalian," ucap Naufal.
"Yeeeay!" teriak anak-anak itu. Mereka semua tampak begitu gembira dengan kedatangan Naufal.
Naufal mengambil dua buah kantung belanja dari sebuah mobil yang ternyata mengikutinya selama perjalanan. Dua buah kantung berbahan kain itu berisi mainan yang sengaja Naufal belikan khusus untuk anak-anak di Panti Asuhan Nirmala. Ia pun menuntun anak-anak untuk masuk ke dalam dan duduk rapi di atas teras ruang tamu yang sudah digelari karpet.
Setelah itu, mainan pun dibagikan kepada anak-anak yang kurang beruntung itu. Ya, mereka kurang beruntung karena dibuang oleh kedua orang tuanya yang entah siapa. Tiba-tiba saja tergeletak di depan pintu Panti Asuhan, padahal ari-arinya masih basah, dan apa pula bayi yang masih berlumuran darah. Kasihan sekali mereka. Pasti mereka merindukan belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya, namun apalah daya. Tidak ada jejak apapun yang ditinggalkan. Sehingga, sulit untuk mencari siapa kedua orang tua anak-anak tak berdosa itu.
"Silakan, masuk aja, Pak," tutur Naufal pada dua orang supir yang mengantarkan kotak makanan untuk anak-anak Panti Asuhan.
Naufal dan Naura pun turut membagikan kotak makanan itu pada anak-anak, kemudian muncul seorang wanita paruh baya berjilbab navy dari balik pintu dapur. Ia tersenyum ramah begitu melihat Naufal yang sedang sibuk menggendong Lala yang tiba-tiba saja minta digendong. Rindu katanya.
"Lala, kok digendong gitu? Kasian, tuh, Kak Naufalnya capek. Sini, ya, Lala," kata Bu Ningsih sambil mengambil alih Lala yang begitu penurut padanya.
Setelah itu, mereka pun sarapan bersama Naufal dan Naura. Anak-anak tampak riang sekali, dan makan dengan begitu lahap. Sementara, Naura tidak berhenti takjub dengan kebahagiaan sederhana yang berasal dari kegembiraan dan senyuman anak-anak Panti Asuhan Nirmala. Lengkung indah pun bagai tidak mau lenyap dari bibirnya. Dan lihatlah, betapa baiknya semesta yang telah menjadikan hal ini sebagai media penyalur bahagia yang sangat-sangat sederhana.
"Nak Naufal, ini siapa?" tanya Bu Ningsih setelah sarapan usai. Kini, ketiganya sedang duduk di kursi teras depan sambil memantau anak-anak yang asyik bermain di taman kecil. Ada yang saling kejar-kejaran, main ayunan, bermain seluncur, egrang, bahkan bermain bola. Taman kecil di halaman Panti Asuhan Nirmala jadi terlihat ramai setiap paginya. Dan bagi mereka, taman ini adalah surga. Sedangkan Panti Asuhan adalah rumah ternyaman dan paling aman untuk mereka berlindung.
"Oh, iya, perkenalkan ini Naura, Bu."
"Naura, Bu. Senang bertemu dengan Ibu," tutur Naura ramah diiringi senyuman manis.
Bu Ningsih tersenyum hangat, lalu mencuri pandang pada pemuda berkaus hijau army itu. "Cantik sekali kamu, Naura," pujinya.
"Ah, Ibu ini berlebihan. Gombal, ya?" Lagi-lagi, pipi Naura dibuat merah merona. Pasti sekarang pipinya itu sudah seperti kepiting rebus. Sayangnya, ia tidak punya alat apapun untuk menutupinya.
"Eh! Ibu berkata yang sebenarnya, kok. Naufal, kamu juga setuju, kan? Naura emang cantik, ya?"
Naufal malah menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tersenyum untuk menyembunyikan kekikukkannya. "I-iya, Bu. Naura cantik," jawabnya.
"Tuuuh, kamu itu cantik, Nak Naura," kata Bu Ningsih. Dan Naura hanya membalasnya dengan senyuman malu.
"Kak Ufal, ayo main bola sama Pian! Ayooo!" seru seorang anak laki-laki berumur tujuh tahunan. Ia menghampiri Naufal dan menarik-narik lengannya. Pian Namanya. Rambutnya agak ikal namun terawat, kulitnya putih bersih, dan tubuhnya pun jangkung. Ia suka main bola, dan ingin menjadi pemain bola sekelas Lionel Messi dan Christiano Ronaldo.
"Pian makin jago main bola, lho, Kak Ufal," tutur Pian sebelum permainan dimulai.
"Kalo udah jago, kali ini Pian harus bisa kalahin Kak Naufal, dong. Ayo, kita mulai!" ucap Naufal. Kemudian, pertandingan bola pun dimulai. Sebelas anak laki-laki tampak lari dengan lincah demi menggiring bola ke sesama rekan, lantas menerobos gawang lawan. Beberapa menit kemudian, Naufal berhasil mencetak satu goal, lalu dua goal. Akan tetapi, Pian tidak jadi patah semangat. Justru, semangatnya semakin membara untuk mencetak goal dan menjadi bintang di lapangan. Ya, seperti Messi, idolanya dari club dunia Barcelona FC.
Di sisi lain, Naura diajak berbincang-bincang oleh Bu Ningsih perihal apa saja. Tentang jumlah anak-anak di Panti Asuhan, kepribadian anak-anak yang bervariasi, Naufal yang ternyata sering datang berkunjung ke Panti Asuhan Nirmala, dan hal lain. Obrolan itu mengakrabkan keduanya begitu saja, tanpa mereka sadari.
"Naufal sering ke sini ya, Bu? Kelihatannya, dia sudah akrab sekali sama Ibu dan anak-anak di sini," kata Naura sambil memandang Naufal yang sedang berusaha merebut bola dari tim Pian.
"Begitulah, Naura. Naufal memang sering berkunjung ke sini sejak dia kelas dua belas SMA. Dulu, dia pernah kecelakaan motor di pertigaan jalan dekat sini. Hampir saja dia kehilangan nyawanya, tapi alhamdulilah Allah masih memberikan dia kesempatan untuk hidup."
"Ibu yang tolong Naufal waktu itu?" tanya Naura.
"Bukan, tapi Almarhum suami Ibu, Nak. Waktu itu, Naufal kecelakaan karena truk yang kehilangan kendali. Lajunya kencang sekali dari lawan arah, dan kecelakaan itu berlangsung begitu cepat." Bu Ningsih menceritakan insiden mengerikan itu. Bahkan, kilas kejadiannya pun masih tergambar jelas dalam benaknya sebab ia memang berada di tempat kejadian perkara. Dan ya, ia menyaksikan saat tubuh Naufal terpelanting ke aspal dan berlumuran darah.
"Aku baru tahu tentang ini, lho, Bu," kata Naura.
"Maaf, kalian ini pacaran, ya?"
Naura menggeleng cepat. "Nggak, Bu. Cuma teman."
"Teman tapi sayang, ya? Hati-hati, lho. Terlalu sering bersama bisa menumbuhkan cinta, katanya," tutur Bu Ningsih seraya tersenyum, menggoda Naura yang diam seribu bahasa.
🥀🥀🥀
Bersambung.
Next part banyakin scene Naura-Naufal atau Naura-Bara, ya?
Yuk, isi kolom komentar, ya!
Kasih saran & kritik juga boleh. 😊
Salam sayang dari Hime. 😘
NB: baru post. 😇🙏 Maaf ya, telat up.
Kemarin aku kena DBD+tipes. 🙏
Semoga seterusnya aku bisa lancar nulis walau cape habis pulang kerja. Huhuhuu...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro