#12 Favorit
🎶 Kla Project - Yogyakarta
Mawar Eva - Heartbeat
🥀🥀🥀
Tepat pukul sebelas malam, Naura tiba di stasiun Tugu bersama rombongan MAPAGAMA. Selama di perjalanan, ia merasa ngantuk sekali, sampai akhirnya tertidur di kereta. Setelah semuanya pamit dan berpencar untuk pulang ke rumahnya masing-masing, Naura duduk sejenak di kursi panjang dekat peron kereta dan minum sebotol air mineral.
Kala itu, beberapa meter dari tempat Naura berada, seorang pria berjaket parka tersenyum senang dan melangkah ke arah gadis itu.
"Siapa, nih? Lepasin! Jangan macam-macam, ya, kamu!" ucap Naura panik saat matanya ditutup oleh seseorang dari arah belakang.
"Galak banget, Neng," kata pria itu sambil memunculkan dirinya di hadapan Naura, dan menahan tawa.
"Ih, Naufal!" omel Naura. Ia cemberut kesal begitu yang ia lihat adalah wajah Naufal.
Naufal tersenyum lebar. "Hehe. Yuk, pulang! Kamu pasti capek, kan," ajaknya sambil mengusap puncak kepala gadis bermata cokelat itu.
"Eh! Kok kamu ada di sini?"
"Kan jemput kamu, Naura Rizkiya Salsabila."
"Kok bisa tau aku nyampe di stasiun jam segini?" Naura tampak penasaran, begitu tersirat lewat sorotan mata teduhnya.
"Bisa, lah," jawab Naufal sambil menaikkan kedua alis hitam tebalnya.
"Iya, deh, iya. Kamu kan Naufal," kata Naura sambil mengangguk paham.
Naufal membalasnya dengan senyuman. "Sini, carrier-nya aku bawain, ya," ucapnya sambil meraih carrier biru yang tergeletak di atas lantai, tepatnya di dekat kaki Naura.
"Nggak usah, Fal."
"Udah gapapa. Sekaligus aku mau nyobain pake carrier, pengen tau seberapa beratnya," kata Naufal dengan carrier di punggungnya.
"Ckck." Naura berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati ia bergumam, "Alasan! Bilang aja kalo dia nggak mau aku capek."
Sebelum meninggalkan stasiun dan menuju ke kost-an Naura dengan menggunakan motor, Naufal melepas jaketnya lalu dipakaikan ke punggung gadis itu.
"Pake, ya. Takut nanti kamu masuk angin," kata Naufal seraya merapikan rambut Naura ke sela-sela telinga.
"Kamu mah banyak takutnya."
"Terus mesti kuganti sama kata apa?"
Naura tampak berpikir.
"Mmm... khawatir nanti kamu masuk angin," ucap Naufal jujur tanpa ragu saat mengucapkannya.
Setelahnya, semesta bagaikan membeku. Galaksi bimasakti pun bagai berhenti berputar sesuai orbitnya. Ada yang aneh tiap kali keduanya saling bertatapan tanpa bicara. Sorotan mata teduh itu seolah-olah bersuara, ucapkan kalimat-kalimat indah yang entah datang dari buku kumpulan puisi siapa. Pasti dari puisi-puisi Pak Sapardi yang terkenal sederhana namun bermakna. Jadi, siapa yang tidak jatuh cinta pada puisi-puisi beliau?
Tiada percakapan berarti seusai kata-kata itu terlontar dari lisan Naufal. Pria yang kini hanya mengenakan t-shirt army itu hanya memberikan helmet pada Naura dan menyuruhnya untuk segera naik, duduk di jok belakang motornya.
Namun gadis itu gemas ingin berbicara banyak. Akhirnya, ia pun berkata, "Naufal, ternyata naik gunung itu seru banget, lho! Aku jadi ketagihan, pengen mendaki gunung lain."
"Nona Naura yang cantik, ceritanya besok aja, ya. Aku tau, kamu pasti lelah, kan? Iya, kan?"
"Iya, sih, tapi---"
"Udah ya, Bawel. Jangan banyak bicara dulu kalo lagi naik motor. Ntar kalau perut kamu kembung karena kebanyakan makan angin gimana hayo?" kata Naufal sambil menahan tawa.
"Iya, Baginda Raja," balas Naura diiringi tawa renyah. Mendengar suara tawanya membuat Naufal bahagia. Dan akan lebih senang lagi karena ternyata dia adalah alasan Naura tertawa riang.
// Favoritku //
Malam ini embusan angin terasa menusuk,
Tapi itu tak berarti,
Karena kutatap senyuman hangatnya.
Bahkan ada yang lebih indah dari langit yang bertaburan gemintang,
Ialah lengkungan senyuman di wajahnya,
Pasalnya sang pencipta menciptakannya dari sayap-sayap bidadari,
Dan semesta turut mengilhamkan salah satu elemen senja di kedua bola matanya.
Dan kalau aku harus memilih antara bidadari atau dia,
Aku akan pilih dia; Naura namanya,
Karena dia tak pantas dijadikan pilihan,
Tapi dia adalah rumah; satu-satunya tujuan.
Jika pun ada suara yang paling indah di jagat ini,
Tetaplah suara tawanya yang jadi favoritku.
Semesta, jika kau beri aku satu keajaiban,
Aku tidak akan meminta apapun,
Karena kehadirannya di hidupku adalah anugerah terindah dan terbaik dari-Mu.
Lantas harus dengan cara apa aku berterima kasih karena Engkau telah menciptakannya?
Kata Tuhan, cintailah dia dengan sepenuh hati.
Lalu harus dengan cara apa agar aku bisa membahagiakannya?
Kata Semesta, menetaplah bersamanya walau apapun yang terjadi.
Puisi itu Naufal ciptakan dengan penuh ketulusan. Kendati hanya terucap dalam hati namun itu sudah cukup terekam di langit ingatan, bahwa pada malam ini dan di detik ini, dia telah membuat Naura tertawa bahagia. Dan aku sudah benar-benar nyaman bersamanya. Kalaupun ia ungkapkan puisi itu pada Naura, pasti gadis bermata cokelat itu akan terpana. Pasalnya, sekarang Naufal sudah mahir menciptakan puisi yang keindahan diksinya seindah itu. Ya... meskipun dia punya gaya sendiri dalam menuangkan kata di tiap baitnya.
🥀🥀🥀
"Ra? Naura? Ini udah sampe, Ra. Kamu nggak mau turun?" tanya Naufal sambil menepuk pelan tangan Naura yang melingkar di perutnya itu.
"Kok malah diem?"
Karena tak kunjung ada sahutan dari Naura, pria beralis hitam legam itu pun menengok ke belakang untuk mengecek gadis yang sedari tadi tak bersuara itu.
"Naura... Naura... Kamu pasti kecapekan sampe ketiduran gini," batin Naufal. Ia jadi tidak tega untuk membangunkan gadis yang sudah terpejam itu.
🥀🥀🥀
Keesokan harinya, Naufal mengajak Naura jalan-jalan di sore hari. Tujuan pertama mereka adalah jajan es krim, kemudian nonton teater Jawa di sebuah sanggar.
"Ra, emangnya Prau beneran bagus?" tanya Naufal yang sedang duduk di sebelah Naura, tepatnya di bangku panjang yang berada di sebuah taman.
"Bagus banget, Naufal. Apalagi golden sunrise sama sunset-nya. Euh! Bikin nggak mau pulang lagi ke kota, deh."
"Lho! Kamu beneran kecanduan hiking, ya, Naura?"
"Aku rasa iya, deh, Fal. Soalnya berada di puncak gunung, tuh, luar biasa banget. Rasanya, dekeeet banget sama awan," tutur Naura dengan ekspresif.
"Kamu suka awan juga?" tanya Naufal.
"Iya, aku suka banget. Soalnya awan itu meneduhkan."
Naufal tepekur sejenak. "Kayaknya elemen awan bersemayam di mata kamu, deh, Naura."
"Maksudnya?"
"Soalnya meneduhkan sekali tiap kutatap mata indahmu."
"Sombong! Udah jago bikin puisi dalam percakapan!"
"Hei, emang tadi puisi? Bukan! Itu fakta."
"Sekarang malah ngegombal."
"Fakta!"
"Gombal!"
"Fakta!"
"Gombal!"
"Hmmm, ya udah, deh, kalo kamu nggak percaya. Yang penting semesta udah mengakui, bahwa tatapan matamu memang meneduhkan." Naufal tampak pasrah sebab ia tak ingin berdebat dengan Naura.
Dua insan itu saling diam dan bersitatap. Kemudian, Naura tetiba saja mengacak-acak rambut Naufal sambil mengukir senyuman penuh arti.
"Apa kamu?! Kok natap aku gitu? Ada yang salah, ya?"
Naufal menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Dugaanku benar. Awan memang bernaung di mata indahmu, Naura."
Mata Naura membelalak, mungkin ia jengah mendengar rayuan yang keluar dari mulut pria yang duduk di sampingnya itu. "Ish, Naufal! Ngaco, deh!" tuturnya sambil mencubit lengan Naufal saking gemasnya.
"Haha-haha, pipimu merah, pipimu merah," ledeknya dengan nada seperti ucapan Upin dan Ipin.
"Ish! Naufal nyebelin!" Naura mendengus kesal.
🥀🥀🥀
Kira-kira pukul 17.00 WIB, Naufal mengajak Naura ke suatu tempat yang belum pernah gadis itu kunjungi. Sembari memegang kedua bahunya dari belakang, ia berjalan ke arah tujuan yang tinggal beberapa langkah lagi. Dan seperti biasa, pria ber-headband itu memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah-hitam dan bawahan celana jeans hitam.
"Kamu ajak aku ke mana, sih, Fal? Kok pake tutup mata segala?" Naura memang semakin bawel dan banyak bertanya selama di perjalanan. Pasalnya, ia dibuat penasaran dan kebingungan oleh pria beralis tebal itu.
"Nah, kita udah sampe. Aku buka, ya, penutup matanya. Satu..., dua---" Naufal mulai ancang-ancang untuk membuka tali pengikat di kepala Naura. "Tiga! Surprise...!" serunya riang.
Naura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terpukau pada ciptaan-Nya yang terhampar di di bumi. Bahkan, jika ada kata lain selain 'indah' mungkin istilah itulah yang lebih pantas mendefinisikan mahakarya Tuhan yang satu ini.
"Makasih banyak, ya, Naufal. Kamu udah ajak aku ke taman bunga matahari," ucap Naura seraya tersenyum senang. Kemudian, ia pun menyapukan pandangannya ke sekeliling. Bunga matahari ini tumbuh di tengah Padang pasir. Ia seperti berada di luar negeri atau bahkan di negeri dongeng; tempatnya para peri.
Naufal mengangguk. "Masih banyak tempat indah yang belum kita singgahi, Naura."
"Kita? Kamu... mau ajak aku lagi?"
"Tentu saja."
"Tidak perlu, Naufal. Nanti kamu boros. Jangan!"
"Boros sesekali mah gapapa, Naura. Asal jangan berlebihan."
"Tapi kita pergi ke tempat indah cuma buat singgah, Naufal. Untuk apa?"
"Untuk ngasih kita pelajaran, Naura. Bahwa tempat paling indah, ternyaman, dan tujuan kita pulang adalah rumah. Karena di tempat mana pun, kita nggak akan pernah merasakan kehangatan yang serupa, saat kita berada di rumah bersama keluarga."
"Iya, aku tau, rumah adalah tempat pulang yang paling indah dan nyaman. Namun aku belum pernah merasakan rumah yang benar-benar rumah, Naufal. Karena aku pun nggak tau asal usulku ini dari mana dan keluargaku siapa." Nada bicara Naura berubah jadi lirih. Binar-binar bak gemintang yang selalu menghiasi kedua bola matanya kini lenyap dalam sekejap. Wajahnya pun jadi murung sebab awan hitam menyekap separuh hatinya.
"Maaf, Naura, aku tidak bermaksud menyinggungmu soal keluarga." Naufal jadi merasa bersalah. Ia memegang kedua pundak gadis yang matanya mulai berkaca-kaca itu. Dan ia tahu, sebentar lagi hujan akan turun dari sepasang mata cokelat nan indah itu.
"Gapapa, Naufal. Udah, ah. Aku capek nangis terus. Kita ke sini buat senang-senang, kan, ya?" Naura mencoba tersenyum tipis meski hatinya teriris. Ia selalu berusaha agar tetap tegar walaupun hatinya seringkali mengkhawatirkan soal keberadaan kedua orang tua kandungnya.
"Ayo! Kita have fun di sini!" seru Naufal dengan penuh semangat sembari mengulurkan tangan kanannya pada Naura. Dan setelah dua insan itu saling menggenggam erat, keduanya berlari di antara bunga-bunga matahari itu. Sesekali tawa mereka terdengar. Rona bahagia menyelimuti perasaan keduanya.
Tidak hanya itu. Keseruan mereka juga mengalir saat keduanya main ayunan yang ada di sana. Gumuk Pasir Parangkusumo nama tempatnya, masih berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Semesta, aku tahu hatinya sebenarnya rapuh,
Aku tahu, setiap malam ia menangis sedih,
Maka, biarkan aku jadi satu-satunya peneduh;
Obat bagi segala perih yang membuatnya letih.
Tiada hari yang ia lewati tanpa kekhawatiran,
Tiada detik yang ia lalui tanpa kerinduan,
Lantas di manakah Kau simpan gudang kebahagiaan?
Biar harus merangkak-rangkak, akan kulakukan.
Sebab dia pantas bahagia, Tuhan,
Dia tidak boleh terus-menerus murung,
Karena langit bisa selamanya mendung,
Pabila dalam hidupnya tiada lagi terukir senyuman.
Bahkan awan akan mengamuk,
Jika hatinya terlalu lama dibuat remuk,
Jadi beri aku kekuatan 'tuk bertahan, Tuhan.
Agar dia bisa kubahagiakan."
Puisi itu tercipta di hati terdalam Naufal kala senja mulai menjingga di kanvas langit. Selama itu pula, ia menjadi pendengar setia bagi Naura yang asyik bercerita soal mimpi-mimpi, kesyahduan Yogyakarta beserta hujan romantis, dan perihal senja yang tidak pernah kehilangan pesonanya.
Tak terasa, ternyata selama enam bulan ini keduanya saling mengenal dan semakin akrab saja. Semester satu pun telah berlalu bagi Naura karena sebenarnya, Naufal kini sudah naik ke Semester Empat. Dan ya, faktanya pria berhati baik itu memang kakak tingkat Naura. Namun karena ia tidak mau dipanggil 'Kakak ataupun Mas' oleh Naura, akhirnya begitulah.
"Naura, Naura! Sebentar, deh," Naufal turun dari ayunannya, lalu berjalan ke arah Naura yang masih asyik bermain ayunan dengan riang.
"Ada apa, Fal?" Refleks, Naura pun menghentikan laju ayunan yang didudukinya.
"Kamu diam, ya. Kamu tenang. Ada ulat bulu di lengan baju kamu," kata Naufal lantas mengambil ranting yang ia temukan di dekat kakinya.
"Hah? Naufal, cepet buangin, Fal! Buangin!" Naura tampak begitu panik.
"Udah, kok, udah. Tuh, udah nggak ada," kata Naufal sambil menepuk-nepukkan telapak tangan ke rambutnya.
"Aku takut ulat, Naufal...," isaknya sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Naura menangis, sungguh. Akan tetapi, kali ini bukan karena kesedihan dan kerinduan yang tak juga terbalaskan, bukan.
"Udah, udah.... Ulatnya udah aku buang jauh-jauh, kok. Tapi kok aneh, masa anak pecinta alam takut sama ulat?" Naufal mengusap-usap puncak kepala Naura sambil menatap manik-manik mata yang sedang beruraian tangis itu.
"Ish, Naufal!" Kali ini, Naura mencubit lengan Naufal dengan cubitan kecil namun rasanya menyakitkan.
"Lagi nangis aja masih bisa galak, ya."
"Ayo kita pulang, Fal. Ayooo...," rengek Naura seraya menarik-narik tangan Naufal.
"Ah! Kok semakin hari Naura semakin menggemaskan, ya? Lucu aja gitu, masa anak mapala takut ulet," batinnya berbicara.
"Naufal, ayooo!" Naura yang sudah kehilangan mood-nya sejak kejadian tadi, langsung ingin pulang. Karena setiap kali ia mendengar kata 'ulat', ia pasti akan merasa gelisah dan melihat ke sekitarnya untuk mengetahui ada ulat atau tidak. Entah sejak kapan phobia itu muncul, yang jelas ia benar-benar geli dan takut pada makhluk yang suka makan dedaunan itu.
🥀🥀🥀
Bersambung.
Jangan lupa vote&comment ya, Kawan-kawan. 😊🙏
Dan doakan supaya Naura bisa secepatnya bertemu dengan kedua orang tua kandungnya. 😊🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro