#11 Maaf
🎶 Sekali Lagi - Isyana Sarasvati
🥀🥀🥀
Setelah sarapan dan bersih-bersih, semua anggota MAPAGAMA pun berkumpul lagi untuk meneruskan agenda selanjutnya, yaitu sharing dan game sebagai hiburan. Kini, posisi mereka adalah duduk dengan membentuk formasi bundar. Bang Epy selaku senior di komunitas pun jadi mentornya karena memang dialah yang mengantongi segudang pengalaman di alam bebas. Bahkan, seven summits di Indonesia pun telah ia taklukkan dengan penuh perjuangan, tentunya.
Pasalnya, rumus untuk mencapai tujuan adalah dengan melewati perjuangan dan pengorbanan. Itu sudah hukum mutlak yang telah digariskan oleh Pencipta semesta supaya kita belajar dari setiap prosesnya.
"Selamat pagi!"
"Pagi-pagi-pagi!" seru mereka kompak dan penuh semangat.
"Salam lestari, Semuanya. Oke, kali ini kita adakan sesi sharing seperti yang sudah tertera di rundown acara. Mau cerita tentang apa dulu, nih? Silakan, boleh request. Tanya-tanya soal mountaineering juga, it's okay," kata Bang Epy.
"Abang masih punya utang, lho, sama kita," ucap Gio.
"Hah? Utang? Utangnya berapa? Abang lupa, nih. Maaf, ya." Bang Epy kelihatan panik. Sementara, di atas sana sang mentari mulai bersinar terik. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka yang telanjur berkobar.
"Bukan utang uang, Bang, tapi utang cerita soal pengalaman Abang muncak ke Mahameru," jawab Gio diselingi tawa kecil.
"Iya, Bang. Dulu kan baru sempet cerita soal Mt. Rinjani sama Merapi. Nah, sekarang bagian sharing pengalaman pas ngedaki Mahameru," tambah Nino.
Maka, mengalirlah cerita dari lisan Bang Epy dengan logat khasnya. Intinya, mendaki Mahameru sangatlah membutuhkan kesabaran, kuat fisik, dan sehat mental. Pasalnya, track-nya sulit dan membutuhkan kehati-hatian yang sangat ekstra sebab jurang terjal ada di kanan-kiri badan. Bila diingat-ingat, ngeri memang. Raga yang berada di atas awan bisa saja tergelincir sebelum berhasil menggapai puncak Mahameru. Itu karena sudut kemiringannya sangatlah miring, dan pijakannya adalah batu-batu kerikil yang licin.
Tanpa koordinasi yang bagus, tim Bang Epy tidak akan bisa sampai ke atap Mahameru. Namun, berbekal kedisiplinan, kecintaan terhadap alam, dan jiwa leadership yang sudah melekat di jiwa masing-masing pendaki, finally dreams comes true.
Untuk menaklukkan puncak Mahameru memang penuh dengan perjuangan, Bang Epy mengakui hal itu. Sebab pasti ada saja perasaan ingin menyerah di saat menghadapi rute tak terduga dan tanjakan ektrem.
"Karena track ke Mahameru yang sungguh luar biasa menguras tenaga dan menguji adrenalin, that's why kita perlu banget latihan fisik sebelum mendaki. Sebab selama mendaki, semua otot kita akan diuji ketahanannya. Jadi, jangan salah kaprah. Jangan asal summit, cuma buat pamer di sosmed doang!" tutur Bang Epy.
Banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman Bang Epy tadi. Diantaranya, ternyata di alam bebas selain lingkungan yang mesti dijaga, lisan pun harus kita jaga. "Jangan asal bicara tanpa filter," tandas Bang Epy. Karena sadar ataupun nggak sadar, alam kita berdekatan dengan alam mereka; makhluk tak kasat mata. Pas ngedaki pun nggak boleh ada niatan buruk sebab itu berpengaruh besar terhadap pendakian itu sendiri.
🥀🥀🥀
Sore itu, Bara tengah menyendiri kala pesona jingga tengah mempertunjukkan keelokannya. Seraya duduk dan menekuk lututnya, pria es itu menatap kosong ke ujung lukisan senja yang ditemani magenta. Seharusnya indah tapi tidak di matanya, waktu itu. Sebab meskipun kejadian itu telah berlalu, tetap saja terbersit perih di ingatannya. Dan hatinya masih saja terasa sesak tiap kali semesta membuatnya teringat pada kenangan terindah sekaligus terpahit dalam hidupnya.
"Kak Bara." Naura menghampiri Bara, lalu menyodorkan secangkir kopi hangat di depan mata pria yang sibuk mengembara itu.
"Loe?! Ngapain ke sini?" ketusnya dingin.
'Dasar pria es!' Mungkin hampir semua wanita akan meracau kesal pada Bara, tapi itu tidak berlaku bagi Naura yang berhati besar. Penyabar pula.
"Ini, ambil... kopi hangat buat Kakak," tutur Naura sambil tersenyum ramah.
"Nggak usah sok akrab dan sok peduli sama gue, deh!" bentak Bara dengan nada tinggi.
Naura tertegun. Tentu saja ia tidak percaya, bahwa dirinya akan dibentak seperti itu. Alhasil, air matanya menetes perlahan karena itu adalah kali pertama ia dibentak dalam hidupnya.
"Terkadang kepedulian yang benar-benar tulus dari hati pun seringkali dianggap tak berarti," tutur Naura diiringi isak tangis, kemudian ia melenggang pergi dengan langkah cepat.
Bara mengernyit, mencoba memahami maksud dari kalimat yang diucapkan Naura tadi. Apa ia sudah terlalu keterlaluan? Apa ucapannya telah menyakiti hati gadis itu?
Pria es itu menatap kepergian gadis bermata indah itu, melirik secangkir kopi hangat yang Naura tinggalkan di atas hamparan rumput dan bunga daissy, kemudian menyesapnya dengan penuh rasa bersalah.
Detik selanjutnya, ia kembali terhanyut ke dalam dimensi kenangan yang kian menjadi-jadi kala sang mentari mulai tenggelam, dipagut malam. Kenangan itu melembayang bebas di atap-atap pikirannya. Membuatnya betah melamun. Namun sebelum semburat jingga benar-benar hilang dari permukaan langit, Bara mengeluarkan kameranya lalu memotret panorama di atas awan yang begitu menakjubkan.
"Setelah dua tahun berlalu tanpa kamu, ternyata perasaanku padamu tak jua berubah. Rasa ini belum punah. Hanya saja, aku telah kehilangan sepotong hati yang kupunya saat kau pergi." Entah dari mana Bara mendapatkan kata-kata sepuitis itu. Mungkin, itu adalah bukti dari kenangan dan kehadiran seseorang yang benar-benar nyata. Dan mungkin memang benar, bahwa beberapa kejadian di masa lalu bisa merubah seseorang. Entah itu karena keadaan, pelajaran di dalamnya, atau juga perasaan.
🥀🥀🥀
Bara menghampiri Bang Epy dan anggota MAPAGAMA lain yang sedang duduk santai sambil menghangatkan badan di depan api unggun nan menyala. Ada pula yang tengah memasak singkong, ubi ungu, dan pisang rebus untuk menu makan malam. Semuanya sibuk dengan tugasnya masing-masing.
"Bang, loe liat Naura?"
"Lah! Gue kira Naura lagi sama loe, Bar," jawab Bang Epy dengan raut wajahnya yang keheranan.
"Emang loe dari mana aja, sih, Bar?" imbuh Hema sambil membolak-balikkan sosis bakar yang belum matang.
"Abis dari spot bunga daissy sambil liat senja."
"Roman-romannya loe lagi galau, nih, Bar. Masih belum move on juga, hm?" kata Bang Epy yang tampaknya sudah tahu betul bagaimana Bara karena sudah berteman cukup lama.
"Apa, sih!" kata Bara sewot, lalu menarik Bang Epy dan Hema ke tempat yang lebih sepi.
"Gue cari Naura dulu, ya. Abis dinner, loe lanjutin aja agendanya apa," ucap Bara cemas.
"Loe sendiri? Nggak mau kita bantuin?"
"Nggak perlu, Bang. Gue bisa handle ini, kok. Lagian, mungkin Naura nggak jauh-jauh dari sini." Bara menepuk-nepuk pundak Bang Epy, seniornya yang masih setia mengabdi di komunitas Mapala.
"Jangan lupa bawa walkytalky, Bar. Biar gampang dihubungin misalkan ada apa-apa," tambah Hema. Dibalas Bara dengan satu anggukkan saja.
Beberapa jenak kemudian, Bang Epy dan Hema kembali bergabung dengan komunitasnya, lalu makan malam. Sedangkan, Bara melenggang di puncak Prau, melewati sekumpulan pendaki lain yang tengah bermain ukulele sambil menghadap api unggun, dan ia berjalan seorang diri di bawah terangnya sinar rembulan.
"Naura!" teriak Bara ke arah hutan nan gelap gulita. Ia berharap bisa menemukan Naura secepatnya. Karena kalau sampai gadis itu hilang, dialah dalang dari semuanya, dan patut disalahkan.
"Nau! Naura! Loe di mana?" teriak Bara entah yang ke berapa kalinya setelah berjalan lagi sepanjang 300 meter. Sungguh, ia benar-benar kalut dan merasa bersalah karena sudah membentak Naura.
"Kak Bara!" teriak Naura yang melihat cahaya lampu senter di kepala seorang pria yang ia yakini, bahwa itu adalah Bara, kakak tingkatnya.
"Naura!" Dengan segera, Bara berlari menghampiri gadis yang ternyata sedang menangis itu. Matanya sembap karena tersesat di area hutan yang sangat gelap dan sunyi. Saking ketakutan, tubuh Naura gemetaran di sela-sela isak tangisnya, kemudian spontan memeluk Bara yang kini berada tepat di hadapannya.
"Aku takut, Kak. Di sini gelap. Aku takut...," isak Naura dengan posisi masih memeluk erat tubuh pria es itu.
Bara bungkam sejenak sebab pikirannya terbang ke masa lalu. Ia merasakan De Javu. Dan memang iya, ia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Bedanya, dulu ia dipeluk karena seseorang itu takut petir bukan gelap. Lantas, lamunannya pun buyar begitu mendengar isak tangis Naura yang kian menjadi-jadi.
"Gak usah takut lagi, ada gue di sini." Bara ragu-ragu mengucapkannya. Canggung, iya karena dia tidak pandai menenangkan hati seorang wanita sejak kejadian tragis yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lagipula, selama ini ia pun jarang bicara. Sebab baginya, hidupnya tak lagi berwarna dan sempurna. Tertawa pun jarang sekali. Pasalnya, kedua orang tuanya tinggal di luar negeri dengan alasan bisnis demi masa depan Bara, putra semata wayangnya.
Untuk apa ia tersenyum bila sudah tidak ada lagi alasan yang membuatnya tersenyum seperti dulu? Untuk apa? Untuk apa ia tertawa, bila orang-orang yang ia sayangi memilih pergi? Padahal, menetap masih bisa jadi opsi. Jadi untuk apa?
Setelah tangisan gadis itu mulai mereda, ia melepaskan pelukannya. Dengan gerak yang teramat kaku, ragu-ragu Bara menyeka air mata yang masih tersisa di pipi Naura sembari menatapnya. Ia pun berkata dengan nada tulus, "Maaf, Ra. Tadi gue udah ngebentak loe."
Naura tertegun oleh dua hal. Pertama, karena perlakuan lembut Bara beberapa detik yang lalu. Dan kedua, karena pria es itu sudah berani meminta maaf padanya. Padahal menurut Bang Epy yang telah mengenalnya cukup lama, memohon maaf adalah kata yang tidak ada dalam kamus kehidupan Bara Arkana Prajingga.
"Gapapa, Kak. Aku udah maafin, kok."
"Bentar, ya. Gue tinggal sebentaaar aja," kata Bara.
Dengan sigap, Naura menahan lengan pria itu untuk mencegahnya pergi. "Jangan! Kak Bara mau ke mana?"
"Sebentar kok, janji." Kemudian, ia berlalu entah ke mana. Yang pasti, ia berjalan ke hutan gelap itu. Tak lama kemudian, Bara kembali lagi dan menunjukkan sesuatu kepada Naura.
"Buat loe, karena loe udah maafin gue," tutur Bara sambil memberikan sebuah toples kaca kecil berisi binatang yang bisa kelap-kelip di kegelapan malam.
"Wah! Kunang-kunang ini buat aku, Kak? Beneran?" Pahatan indah itu kini melengkung bak sabit di bibir gadis itu. Ya, cukup mudah untuk membuatnya tersenyum kembali. Karena dengan cara-cara sederhana pun ia pasti akan menghargainya.
🥀🥀🥀
Bersambung.
Jangan lupa vote& komentar yaaa... 😊😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro