Bagian 8
Ngatijo pulang membawa satu bundal besar aneka macam rerumputan yang digemari oleh kembingnya, Sarju mengiringinya dari belakang. Meski terbebani berat yang cukup tegas menindih kepalanya, Ngatijo masih bisa sambil bersiul menembangkan langgam jawa kesukaannya. Sarju hanya menunduk sambil meresapi tembang langgam jawa yang didendangkan Ngatijo dengan mulutnya menegang menahan beban penderitaan. Tangan Sarju membawa dua sabit dan batu asah milik karibnya. Mereka menyusuri pematang sawah yang lurus mengarah ke kampung mereka. Senja tampaknya sudah menyambut keduanya pulang dari medan perang.
Pendar-pendar kemerahan di langit Barat menandakan matahari tidak lama lagi segera terinjak kaki langit Barat. Sekawanan burung kuntul sudah pulang ke rumah-rumah mereka, dengan membawakan oleh-oleh untuk anak piyiknya yang tentu menunggu dengan gelisah ayah bunda mereka yang pergi mencari nafkah. Sekawanan burung sriti sibuk bersilat dan berakrobat di udara, menunjukan kepiawaiannya berenang di awang-awang. Suara cecuitan nya membelah angkasa yang kian merah rona merona. Semilir angin sore mengantarkan Ngatijo dan Sarju pulang ke rumah mereka di kampung. Kambing-kambing Ngatijo pasti akan berlonjak-lonjak melihat hijauan segar yang disunggi majikannya. Suara mengembik manja tentu dapat diterjemahkan dengan jelas oleh Ngatijo yang begitu setia mencarikan nafkah untuk mereka.
"Kamu langsung pulang, Ju?"
"Iya, Jo. Tadi Simbok pesan tidak boleh sampai Maghrib."
"O, ya sudah. Terima kasih." Sarju hanya membalasnya dengan senyuman segar dan ranum.
"Ketemu di surau ya, Jo."
"Siap, Pak Ngustad."
"Gundulmu!" pekik Sarju.
"Hahaha..." keduanya tertawa serempak, dan mereka berpisah di kandang kambing milik Ngatijo.
Kambing-kambing Ngatijo mengembik kegirangan. Meronta-ronta ingin segera menyergap santapan segar yang baru dibawa pulang oleh majikannya itu. Ngatijo memukuli mulut-mulut kambingnya yang menyeruak keluar dari jari-jari bambu kandang kambingnya. Kambing-kambing itu tahu arti isyarat dari tuannya. Mereka tidak meronta-ronta lagi, hanya mengembik tanda faham akan maksud majikannya.
"Sabar, Dhus! Jatahmu nanti malam setelah aku pulang ngaji," seru Ngatijo.
"Embeeeek!!!"
Ngatijo bergegas ke sumur yang ada di belakang rumahnya. Tubuhnya segera hilang tertelan bangunan semi permanen paduan batu bata dengan papan kayu mahoni. Kamar mandi itu sangat sederhana dan bersahaja, menunjukkan kasta dan strata ekonomi pemiliknya. Suara kecipak-kecipuk air ditabuh oleh gayung yang dimainkan oleh tangan mungil Ngatijo, mengiringi tembang langgam jawa yang disiulkan oleh mulut mungilnya. Harmonis dan menggambarkan kedamaian batin dan raga yang sempurna. Kebahagiaan yang sederhana, kental terasa dimiliki sang penembang.
Dengan balutan handuk buduk, Ngatijo berlari menuju pintu belakang rumahnya. Tubuh mungil itu tertelan bangunan sederhana semi permanen itu. Dapur rumah masih berasap, membumbung tinggi ke angkasa. Tanda Mbok Marto sedang memasak, menyiapkan makan malam sederhana untuk keluarga. Suara dentingan benda keras beradu dan desis masakan yang kepanasan menjadi irama harmonis di bagian belakang rumah sederhana itu. Lampu ublik sudah mulai disulut di ruang tamu. Lampu berbahan bakar minyak tanah itu ditempatkan pada meja panjang di tengah ruang tamu. Angin yang sedikit binal mengajak api yang menyala syahdu itu menari bergoyang meliuk-liuk. Ngatijo keluar dari kamar sudah mengenakan sarung yang sudah lusuh dan bergulung seperti pegas pada ujungnya, berpeci hitam kecoklatan karena sudah uzur umurnya dan memakai kaos seragam olahraga yang sudah robek bagian ketiaknya. Ia berlari-lari kecil menuju surau di dekat sawah kampung bersahaja itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro