Bagian 7
Pak Camat, datang tergopoh-gopoh ke perempatan jalan yang kian dipenuhi manusia. Ia memarkirkan mobilnya jauh dari lokasi yang ia tuju. Orang-orang memberi jalan kepada camatnya. Belum juga ia melihat apa yang menjadi pusat berkumpulnya warga air muka nya sudah terlihat bersedih hati. Warga hanya menunduk ketika mata mereka bersitatap. Camat pun tahu mereka semua sedang bersedih. Hampir lima belas menit camat berjalan menuju perempatan jalan. Semakin mendekati titik yang paling dicari semakin padat oleh manusia. Awas Pak Camat mau lewat! Pekik orang-orang yang dilewatinya. Jalan pun terbuka dengan sendirinya. Warga yang berkumpul memberi jalan pada pejabat itu.
Hampir tiga puluh menit Pak Camat ada dalam lautan manusia itu. Ketika ia keluar dari kerumunan, baju dinasnya sudah basah kuyup oleh keringat dan airmata. Pejabat negera itu menangis senggugukkan sambil terus mengusap airmatanya yang membanjir deras. Pak camat menundukkan kepala meninggalkan kerumunan manusia itu. Ia kembali ke mobilnya yang diparkir jauh dari perempatan jalan tempat berkumpulnya ribuan manusia. Warga yang melihat camatnya menangis pun tampak mendung mukanya. Banyak juga yang tidak sengaja menitikkan airmata.
Tidak lama datang lelaki tegap berseragam loreng, berkumis bapang seperti singkong bakar yang menyangkut di atas bibir. Mulutnya nyaris tidak kelihatan, tertutup rambut rimbun. Ia berjalan dengan membusungkan dadanya. Langkahnya teratur dan derap sepatu larsnya menimbulkan irama yang harmonis. Laki-laki gagah itu, Pak Danramil kecamatan ini. Danramil menyeruak masuk ke dalam kerumunan manusia yang kian lama kian menyemut. Langkah tegapnya membuat jalan seperti terbuka sendiri untuknya. Cukup lama Danramil itu tenggelam dalam lautan manusia, dan ketika keluar langkahnya menjadi lunglai. Kakinya seakan keberatan mengangkat sepatu lars nya. Gontai seperti daun ilalang tertiup angin. Matanya pun sembab memerah, airmata mengalir deras dari biji bola matanya yang keruh. Danramil itu terus berjalan meninggalkan kerumunan manusia yang tak pernah susut.
Ngatijo mendorong becaknya menjauhi perempatan yang kian ramai. Dengan langkah gontai ia berusaha mempertahankan supaya tubuhnya tetap tegak, tidak tersungkur mencium aspal. Beberapa kali ia berusaha menyeka airmatanya yang tetap saja mengalir. Ngatijo terdengar senggugukkan begitu dalam. Tangisnya kian pecah ketika ia makin menjauhi perempatan jalan pasar kecamatan. Lelaki sepuh itu naik ke sadel becaknya, mengayuh pedal teman mencari uangnya itu dengan tertatih. Tangannya gemetar memegang kendali becaknya, sesekali ia mengangkat tangan kanannya, mengusapkan punggung tangan ke matanya yang terus basah oleh airmata duka.
Bakul sayuran di pasar kecamatan langganan Ngatijo menghentian untuk meminta diantar ke rumahnya, tapi Ngatijo menggelengkan kepala. Kepalanya begitu lunglai tertunduk, seperti kepala ayam yang terserang tetelo. Ngatijo terus mengayuh becaknya makin menjauhi perempatan, sepertinya ia mengayuh becak tanpa tujuan, karena rumahnya ke arah Timur, sedang becak Ngatijo menggelinding ke arah Utara. Ia tidak lagi mau menoleh ke belakang, terus mengayuh becaknya ke Utara sampai tinggal serupa titik.
Perempuan tua bakul cenil di pasar kecamatan yang tadi semaput kini sudah bisa duduk. Ia bersandar pada pintu ruko yang sudah tertutup. wanita muda yang mengipasinya kini memijati kepala perempuan tua. Bau minyak kayu putih menyeruak dan menghardik hidung, perempuan tua pejual cenil yang dipijati wanita muda itu bersendawa. Matanya terpejam karam, tapi airmata menerobos dari sela-sela kelopak matanya yang keriput mengatup. Tangannya beberapa kali mengusap airmata itu dengan punggung tangannya. Tidak ada dialog antara mereka. Bisu dalam duka mendalam masing-masing. Meresapi dan menikmati rasa duka itu dengan masyuk. Wanita muda itu pun sesekali menyeka airmata dan ekspresi wajah duka tampak begitu dalam dan larut akut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro