Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3

Sarju muncul di ambang pintu sambil membawa serenteng belut yang masih hidup. Binatang melata  mirip ular itu saling membelit, seperti pilinan tali tampar pengikat sapi. Tubuh Sarju terlihat kotor penuh balutan lumpur. Bau amis  sawah menyeruak masuk ke ruang tamu rumah mungil itu. Rumah yang terasa lapang karena hanya ditinggali berdua saja dengan ibunya. Dinding gedeg berkapur putih masih terlihat bersih. Tidak ada sarang laba-laba satupun yang menggantung di langit-langit rumah. Hanya para kampret yang bersembunyi di lubang bambu usuk rumahnya yang ujungnya memang berlubang menganga. Kampret senang sekali memasuki lubang-lubang itu untuk berlindung dari dinginnya malam.

Sarju langsung menuju dapur dan mendapati ibunya sedang membuat cenil untuk dijual di pasar kecamatan esok hari.

"Mancing kok seharian, Le."

"Diajak Ngatijo, Mbok."

"Bukan kamu yang mengajak?"

"Bukan.."

"Awas, jangan merusak galengan punya orang, nanti dilempar sabit, Le."

"Tidak, Mbok."

"Ya sudah siangi sekalian belutnya, biar Mbok goreng untuk lauk makanmu."

"Iya, Mbok."

"Habis itu mandi."

"Iya, Mbok."

Bulan melata di langit, berjalan pelan menapaki mega-mega yang bergelantungan di cakrawala. Bintang-bintang timbul tenggelam di lautan hitam maha luas, pohon jengkol di belakang surau itu setia menunggu bulan hinggap di rantingnya. Suara anak-anak mengaji sorogan di surau itu menjadi puja puji kepada Gusti setiap malamnya. Sesekali terdengar suara canda gurau mereka menyelinap diantara puja-puji itu. Tawa anak-anak yang riang, kadang tangis melengking ulah kejahilan kawannya turut menghiasi riuhnya ritual itu. Ada suara Sarju di antara suara-suara itu. Suaranya paling lantang dan berisi.

Mbah Mahmud selalu memuji kecerdasan Sarju dalam menyerap pelajaran baca tulis Al Qur'an. Kepintarannya di atas rata-rata teman sebayanya. Ia sering diminta membantu mengajari anak-anak yang baru sampai turutan. Anak-anak pun senang karena suara Sarju yang jelas dan tegas saat mengajari, tidak pelo seperti suara Mbah Mahmud. Mbah Mahmud giginya sudah tanggal semua sehingga suaranya pun sudah seperti pita kendor, vibranya terlalu banyak.

Malam itu sekitar lima anak-anak duduk bersila di hadapan Sarju. Satu per satu Sarju membimbing anak-anak  mengeja aksara-aksara arab dalam turutan yang sudah kumal. Semua mengikuti bimbingan anak Sujinah yang tinggi dan kekar. Perawakannya paling sempurna di antara kawan-kawan sebaya. Meski baru kelas enam sekolah dasar Sarju sudah menunjukan bakal memiliki fisik yang bagus. Tulang belulang yang kuat, rahang kokoh, muka berbinar, jalan nya tegap. Di sekolah pun paling sering menjadi komandan upacara. Lengkingan suara yang kuat  membuat suasana upacara bendera menjadi lebih khidmat.

Usai mengaji, saat Isya tiba pun Sarju yang selalu mengumandangkan azannya. Suaranya menggaung memenuhi ruang cakrawala kampungnya. Warga pun sudah hafal suara siapa penyeru azan. Warga berbondong-bondong menuju surau kecil di pinggir sawah itu, untuk salat Isya berjama'ah. Mbah Mahmud selalu menjadi imam nya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro