Bagian 2
Sujinah berjalan menapaki jalanan kampung yang sepi senyap. Ia tergopoh-gopoh. Tangannya memegang ujung jarik yang membalut bagian bawah tubuhnya. Ia menanyakan nama anaknya setiap menemui kerumunan anak kecil yang bermain di pelataran depan rumah mereka. Tak juga ia mendapati anak lelaki satu-satunya. Janda yang tidak mau bersuami lagi itu terus berjalan sambil mulutnya memanggil anak tunggalnya.
"Ju..., Sarju.. Sarju! Di situ ada Sarju, Le?" Tanya Sujinah pada kerumunan anak-anak yang sedang bermain gundu.
"Enggak ada, Bulek..!" jawab mereka seragam.
Di ujung jalan desa yang berbatasan langsung dengan hamparan sawah, Sujinah berhenti. Pandangan matanya menyapu hamparan permadani hijau yang rancak kompak tingginya. Tanaman padi yang kira-kira umur satu bulan itu seperti gelaran karpet warna hijau mahaluas. Di ujung kaki langit tampak barisan pepohonan menghijau berjajar rapi dengan latar belakang lukisan bukit hijau yang menjulang. Langit sedang cerah-cerahnya. Bunyi-bunyian komunitas sawah menjadi irama harmonis nan syahdu. Kodok mengorek, burung terbang sambil bercuit-cuit, ikan membuat gejolak di air saluran irigasi beriak.
Di pematang sawah yang lurus dan rapi, daun–daun padi mulai menjuntai ke arah pematang. Dari kejauhan tiga anak belia di kepalanya dibebani ikatan besar dedaunan dan rumput-rumputan yang tertata rapi berjalan mendekati Sujinah yang masih memandang jauh hamparan sawah. Sambil bersiul-siul mendendangkan lagu-lagu tentang kedamian alam perkampungan, tiga anak belia itu makin mendekati tempat Sujinah berdiri.
"Le, ketemu Sarju tadi?" Tanya Sujinah pada ketiga anak belia itu.
"Oh.. Tadi dia mancing belut sama rombongan Ngatijo, Bulek." Jawab salah satu anak belia itu.
"Oalah.."
"Ada apa, Bulek?"
"Tidak apa, Le. Dia belum makan siang."
"Oh..." jawab ketiga anak belia itu kompak.
Kaki-kaki mungil yang kusam dan berlumpur terus melangkah menyusuri jalanan desa kembali ke rumah mereka masing-masing. Beban berat pakan kambing dan sapi peliharaannya tidak mereka rasai, terlihat ringan saja, meski urat leher mereka terlihat menegang. Kaki-kaki anak kampung itu tidak ada yang memakai alas. Telapak kakinya sudah menebal, seperti ladam sepatu kuda. Batu-batu hitam yang berbaris tidak rapi dan runcing pada ujung-ujungnya tidak mampu melukai telapak-telapak kebal nya.
Sujinah merasakan lelah juga matanya menyapu terus menerus hamparan lukisan bentang alam nan indah. Setelah mendengus ia membalikkan badan dan kembali menapaki jalanan desa dengan sedikit berjinjit-jinjit menghindari batu-batu yang runcing. Jalanan desa sepi. Di kanan kiri jalan rumah-rumah penduduk banyak yang tertutup pintunya. Mereka rata-rata masih berkecimpung di sawah dan ladang mereka. Berbudidaya tanaman untuk menghasilkan ratnamutumanikam yang bisa ditukar dengan uang atau barang kebutuhan lain.
Sujinah tidak bertani. Ia tidak kuat mencangkul dan membudidayakan tanaman. Sawah dan ladang pun tidak punya. Uang pensiun suaminya pun disimpan untuk masa depan anak semata wayangnya, Sarju. Untuk bertahan hidup, sujinah berjualan cenil di pasar kecamatan, hasilnya cukup untuk bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Jam satu siang seperti sekarang ini Sujinah sudah berada di rumahnya. Membuat cenil untuk dijual esok harinya. Sarju anak sematawayangnya biasanya menyusul ke pasar sekitar jam sebelas siang, pulangnya membawakan senik berisi belanjaan kebutuhan sehari-hari yang dibeli di pasar. Sarju biasanya menyunggi senik itu sampai rumahnya.
Sukarjo meninggal saat Sarju masih berusia tiga bulan. Sarju tidak pernah tahu wajah bapaknya. Ia hanya mendengar deskripsi tentang wajah pemilik sebagian gen dalam tubuhnya itu, dari ibunya.
"Ia mirip sekali denganmu, Le. Tidak ada yang dibuang. Dagu, hidung, rambut, pipi, warna kulit, cara jalan, semua seperti bapakmu, kecuali.."
"Kecuali apa, Mbok?"
"Kecuali bibirmu, Le. Itu milik Simbok."
Sarju sejenak langsung melamunkan deskripsi wajah bapaknya itu. Ia langsung meninggalkan ibunya dan berdiri tegap di depan cermin lemari. Sarju dengan teliti mengamati wajahnya sendiri. Meraba pipi, hidung, menjambak rambut dan tidak terasa di sudut matanya mengalir air bening namun panas sekali, sepanas lahar gunung berapi. Lahar itu menggelinding deras melintasi pipi yang kokoh dan kencang. Matanya seketika memerah dan terasa terbakar bara yang luar biasa panas. Mendapati anak semata wayangnya bersedih hati Sujinah langsung mendekap erat. Membawa ke ruang tamu dan mengajak bercerita tentang sekolahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro