Bagian 18
Sujinah bersandar di pilar kayu penyangga rumahnya yang sederhana. Tatapannya kosong, mata sayu itu menerawang jauh menembus dimensi ruang waktu. Lamunan nya menenggelamkan alam sadarnya di dasar negeri lamunan niskala. Sujinah berusaha menarik kenangan indah masa lalu untuk menghibur rasa gundahnya. Sukarjo tiba-tiba memeluk dari belakang saat Sujinah sibuk memasak di dapur. Sujinah yang kaget hanya melenguh dan tetap melanjutkan kesibukan menyiapkan masakan untuk mereka berdua.
"Masak apa, Nduk?"
"Sayur bening bayam, sambal terasi, dan tempe goreng kesukaanmu, Mas."
"Hmmm, jadi lapar."
"Belum matang tempenya, Mas. Eh, sambalnya juga belum.."
"Iya, aku sabar kok menunggu semua siap di atas meja makan."
"Hmmm.." lenguh Sujinah lagi. Sukarjo mengecup bibir Sujinah dengan mesra. Sujinah gelagapan seperti tenggelam di kolam kedukan batu bata. Sukarjo tetep memeluk istrinya dari belakang, tidak menggendurkan ikatan tangannya. Tubuh mereka rapat saling menghangatkan.
"Bau bawang, Mas. Sudah sana salin dulu."
"Harum, Nduk. Bau wanita sejati, istri yang hangat, dan penuh kasih sayang."
"Gombal! Eh, Mas. Aku telat tiga hari loh."
"Kamu serius?"
"Iya!"
"Nanti bocor lagi seperti bulan lalu."
"Kali ini sepertinya tidak, Mas. Karena rasanya tubuhku aneh, rasa yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Lemes, ngantuk kalau pagi, dan...."
"Apa?"
"Suka dengan bau keringatmu, Mas."
"Hahaha..." Sukarjo terkekeh.
Sukarjo menuntun istrinya masuk ke bilik asmara, melucuti semua yang menempel di tubuh istrinya hingga polos seperti bayi. Sujinah tidak bisa menolak, pasrah dalam hasrat yang sama.
"Mas, tempenya gosong!"
"Tidak kok, Nduk. Kemerah-merahan begini kok gosong?"
"Buka tempe ini. Itu yang di dapur sudah bau gosong.."
"Oh, waduh..."
Tanpa mengenakan dulu pakaian, Sujinah lari ke dapur. Ia mendapati semua tempe dalam wajan sudah berubah menjadi arang. Ia terbahak-bahak melihat tempenya gosong. Asap putih membumbung dari tempe hitam pekat itu.
"Maaaas, gosong semua tempenya."
"Ah, sudahlah tak apa asal tempe yang itu tidak ikut gosong."
"Hust..."
Mereka melanjutkan mengejawantahkan kasih sayang menjadi tarian-tarian mahaindah. Lembut seperti sutera, meliuk-liuk seperti asap jelaga lampu ublik, dan merdu seperti nyanyi burung-burung pipit menyambut bangunnya sang matahari pagi. Mereka tahluk dalam puncak kasih sayang yang agung, meneguk rasa madu manis kehidupan sampai dasar cawan dan tetesan terakhir.
Bersambung ke bagian 2....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro