Bagian 17
Melewati Koramil Sarju memang selalu berhenti sejenak dan memberikan penghormatan kepada bendera merah putih yang berkibar-kibar di langit biru. Namun baru kali ini ibunya mengetahui tingkah aneh anaknya itu. Mungkinkah Sarju memang terobsesi untuk menjadi tentara seperti ayahnya? Sujinah hanya bisa menghela nafas panjang. Dalam ceruk kalbu terdalamnya ia sungguh tidak rela jika kelak Sarju menjadi tentara. Wanita cantik berambut hitam lurus, berdagu lancip, bibir tipis dan mata yang sayu seperti setengah mengantuk itu tidak ingin kehilangan orang yang sangat dicintai yang kini hanya satu-satunya.
Sujinah sebenarnya merasa menzalimi anaknya ketika ia tidak bisa mengabulkan permintaan untuk memiliki mainan replika senjata untuk berperang tadi. Itu hanya mainan, bukan alat untuk membunuh. Bukan alat yang telah menghabisi nyawa Sukarjo sebelas tahun yang lalu, tapi apapun namanya bentuk senjata itu telah mengingatkan pada kenangan manis dan pahit masa lalunya. Mata sayu itu terus minitikkan airmata sepanjang perjalanan dari pasar kecamatan ke rumah mungilnya di kampung damai itu.
"Mbok...." Panggil Sarju, sambil kaki mungilnya tegap melangkah.
"Apa, Le?"
"Besok kalau sudah punya cukup uang, belikan aku bedil-bedilan ya.."
"Kok masih ingat mainan itu lagi?"
"Simbok enggak mau belikan karena tidak punya cukup uang kan?"
"Hmm...."
"Apa, Mbok?
"Ah sudahlah, Le. Bukannya mobilan lebih bagus."
"Tapi aku ingin punya bedilan, Mbok. Kalau mobilan bisa aku buat sendiri dari kulit jeruk bali, atau dari bambu pun aku bisa."
"Sarju! Bisa nurut kata Simbok tidak! Tidak usah beli bedilan!" Bentak Sujinah sambil terus melangkah.
"Kenapa, Mbok?"
"Tidak ada kenapa! Tolong kali ini ikuti kata simbok, Le."
Sarju menangis mendengar bentakan ibunya. Ia mulai menyeka airmata yang membanjiri pipinya dengan punggung tangannya. Anak laki-laki satu-satunya janda Sukarjo itu terisak. Sujinah bukan tidak hancur hatinya. Perempuan tangguh itu ingin sekali membahagiakan anaknya, menuruti segala apa yang dinginkan Sarju selagi bisa ia penuhi, tapi untuk maianan senjata tentara itu ia sungguh tidak mau menuruti. Ia tidak ingin Sarju terobsesi menjadi tentara, menjadi serdadu, berperang mempertahankan kedaulantan bangsa tapi nyawa harus tercabut dari raga dan tidak pernah kembali.
Meski halusinasi Sujinah terlalu jauh tapi trauma masalalunya sungguh telah mengubah cara pandang terhadap hidup dan bagaimana cara mencintai bangsanya. Mencintai bangsanya tidak harus berangkat ke medan perang, menyerahkan nyawa ke musuh, dan tidak pernah di kenang sebgai pejuang. Sujinah ingin anaknya menjadi orang yang bisa mewujudkan cinta kepada negerinya tanpa harus berperang. Ia ingin Sarju menjadi orang yang bisa berbagi kepada sesama dengan kebaikan, cinta kasih, dan ilmu yang kelak ia miliki. Jadi guru, mungkin itu lebih baik dan jauh dari kesan kekerasan dan menyabung nyawa. Kasihan orang-orang yang dicintai jika harus ditinggal selamanya karena mati berperang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro