Bagian 16
Sujinah ingin Sarju tumbuh menjadi anak yang normal meski tanpa seorang bapak yang ikut mendidik dan membentuk karakternya. Sujinah sudah bersumpah dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadikan Sarju orang yang berhasil, kelak di masa dewasanya, tetapi tidak untuk menjadi seorang serdadu seperti bapaknya. Kepiluan demi kepiluan masih ia ingat ketika belum genap tiga bulan suaminya gugur di medan perang, ia dan bayinya harus meninggalkan rumah dinas di perumahan Kodim karena ada personil pindahan yang lebih membutuhkan rumah itu. Sujinah tidak bisa mempertahankan rumah milik negera itu karena memang bukan hak nya.
Sujinah terntu masih ingat ia terpaksa kembali kepada orangtuanya di kampung bersama bayi kecilnya. Rasa sakit itu begitu membekas di hatinya, bagaimana suaminya gugur membela Negara tapi ia dan anaknya harus angkat kaki dari rumah yang penuh romansa manis bersama Sukarjo suaminya. Kadang ia menyesal mengapa Sukarjo terpilih untuk di kirim ke daerah operasi militer itu. Jika tidak tentu Sarju tidak pernah kehilangan figure seorang Bapak yang gagah.
Malam itu Sukarjo sebenarnya ragu-ragu untuk menyampaikan surat perintah yang ia terima untuk berangkat ke provinsi bungsu itu kepada Sujinah. Sukarjo tidak tega melihat Sujinah sedang hamil besar anak pertamanya harus ditinggal ke medan tugas. Mungkin tidak lebih dua bulan lagi istrinya akan melahirkan.
"Nduk, aku harus berangkat minggu depan." Bisik Sukarjo sambil memeluk istrinya di atas ranjang asmara.
"Berangkat? Kemana, Mas?"
"Tugas Negara, Nduk. Ke provinsi bungsu."
"Perang?"
"Ya. Memberantas pemberontak Negara di sana."
Sujinah hanya diam tanpa menanggapi lebih lanjut. Ia menarik telapak tangan Sukarjo untuk lebih mengeratkan pelukannya. Tangan Sukarjo langsung memeluk erat istrinya. Airmata hangat tidak terasa mengalir dari ujung kelopak mata Sujinah, mengalir dan membasahi tangan Sukarjo.
"Kamu menangis, Nduk?"
"Aku takut, Mas."
"Takut apa?"
"Takut anak kita tidak pernah melihat bapaknya."
"Hust! Ngomong yang baik, tidak boleh mendoakan yang jelek begitu!" bentak Sukarjo.
"Bukan doa, Mas. Aku hanya khawatir yang wajar, mungkin semua istri serdadu akan punya perasaan yang sama jika kondisinya seperti saya. Hamil tua ditinggal perang."
"Semua akan baik-baik, sayang."
Sujinah berbalik, memeluk erat suaminya dan menangis senggugukkan di pelukan Sukarjo. Sukarjo hanya bisa membelai-belai rambut lurus istrinya. Sukarjo dengan lembut mengusap dengan ujung-ujung jarinya yang kokoh air mata Sujinah yang terus membanjiri bola mata bening itu.
"Mas, apa tidak bisa minta ganti sama yang lain?"
"Tidak mungkin, Nduk. Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Doakan yang terbaik untuk keutuhan keluarga kita."
"Aku selalu berdoa kalau itu, Mas. Selalu! Tapi..."
"Apa, Nduk?"
"Anakmu belum lahir, Mas."
"Dia akan lahir normal, Nduk. Menjadi anak yang baik, soleh, pintar, gagah, lincah, lucu..."
"Bukan itu, Mas."
"Lalu?"
"Aku takut anak kita tidak pernah melihatmu dan kamu pun tidak pernah melihatnya."
"Hust!" Tangan kekar Sukajo membungkam mulut istrinya. Sukarjo pun memeluk dan menciumi istrinya penuh kasih sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro