Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 15

Sujianah sebenarnya menyesali tidak mengabulkan permintaan anaknya untuk membeli senjata mainan. Ingatannya tentu tidak bisa lepas dari dari kenangan pahit sekitar sebelas tahun silam, kala itu Sarju baru berusia tiga bulan ketika seorang utusan dari Kodim tempat bapak Sarju mengabdi mengabarkan telegram dari tempat tugas suaminya. Isi telegram itu mengabarkan kalau Sukarjo gugur dalam tugas. Betapa hancurnya hati Sujinah saat itu. Sujinah lari ke dalam kamar setelah membaca isi telegram itu, ia meraih Sarju yang masih bayi dan menangisi bayinya itu.

Sujinah pun tidak pernah menceritakan apa pekerjaan dan sebab bapaknya meninggal, bahkan foto bapaknya berseragam tentara yang gagah sengaja disimpan rapat oleh Sujinah. Ia menyimpannya dalam peti beserta pakaian Sukarjo yang tersisa. Sujinah hanya bercerita kalau bapaknya orangnya gagah, tegap, dan kekar seperti Sarju. Hanya beda bibirnyanya saja, bibir Sarju milik Sujinah. Sujinah menatap mata anaknya yang tampak kecewa sekali dengan permintaan yang tidak dipenuhi ibunya. Sarju menerka kalau ibunya tidak mau membelikan mainan itu karena tidak cukup uang untuk menebus mainan itu.

Sarju tidak pernah tahu kalau setiap awal bulan Ibunya ke kantor pos untuk mengambil pensiun bapaknya. Sujinah pun tidak pernah memakai uang itu, melainkan menabungnya untuk sekolah Sarju kelak. Sujinah masih sangat ingat ketika seragam Sukarjo tiba di rumah mereka saat itu di perumahan Kodim di ibukota kabupaten saat itu. Sujinah hanya bisa memeluk erat seragam suaminya itu sambil menangis senggugukkan sejadi-jadinya. Sarju yang masih bayi saat itu juga ikut menangis, tapi ia tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mungkin ia menangis karena melihat ibunya menangis.

Sujinah tidak mau kawin lagi bukan karena takut kehilangan uang pensiun suaminya, tapi karena ia tidak mau menghilangkan rasa cinta yang masih tumbuh subur di hati dan sanubarinya bahkan hingga saat ini. Sukarjo meski gagah, kokoh, kekar, dan dingin mukanya tapi ia adalah lelaki yang sangat penyayang terhadap keluarga. Bahkan sebelum suaminya tugas ke provinsi bungsu itu, saat Sujinah hamil semua pekerjaan berat Sukarjolah yang mengerjakan. Mencuci, menimba air sumur, mengangkat beban berat, bahkan sampai urusan masak Sukarjo lah yang mengerjakannya.

Airmata Sujinah menitik dari sudut matanya tanpa Sarju ketahui, mereka masih terus berjalan menyusuri jalanan utama dari pasar kecamatan  ke rumah mereka di kampung. Sujinah  kaget dan tergagap ketika melihat Sarju tiba-tiba berhenti dan menghormat kepada bendera merah putih yang berkibar-kibar di depan kantor Koramil.

"Hust, apa yang kamu lakukan, Le?"

"Menghormat bendera, Mbok."

"Untuk apa?"

"Mbok, bendera itu kata Pak Guru diperjuangkan dengan darah dan airmata oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan."

"Gurumu benar, Le."

"Lalu apa salah saya menghormat bendera itu?"

"Tidak ada yang salah, Nak."

Sujinah tidak bisa menahan haru yang menghardikanya.  Ia menangis senggugukkan sambil memeluk Sarju dengan erat.

"Kenapa Simbok nangis?"

"Tidak apa-apa, Le. Simbok hanya terharu dan bangga punya anak seperti kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro