Bagian 11
Suara sirine kian mendekati perempatan jalan yang kini makin dijejali oleh lautan manusia, bahkan Masjid Al Ikhsan di pojok perempatan jalan itu halamannya penuh lautan manusia. Pagar pembatas jalan dengan masjid pun dipanjat oleh para lelaki muda. Semua mata tertuju pada titik tetap di tengah perempatan jalan itu.
Seorang Ajun komisaris Polisi mengumumkan dengan pengeras suara kalau Bapak Bupati akan segera hadir di tengah-tengah warga, untuk ikut melihat titik objek yang penjadi perhatian bersama ribuan manusia yang hadir di perempatan jalan itu. Warga tak acuh terhadap pengumuman itu, mereka tetap larut dalam kesedihan masing-masing. Larut dalam suasana hatinya masing-masing. Suara pengumuman itu terabaikan begitu saja, layaknya kentut yang menyelinap di sela-sela selangkangan ribuan manusia. Puluhan polisi dan Satpol-PP berusaha menyibak lautan manusia untuk memberi jalan kepada bupati berserta rombongan.
Benar saja, Ibu Bupati mengenakan pakaian terbaiknya. Kebaya batik mewah dengan warna tajam melukai hati rakyatnya yang rata-rata kere. Tas yang dijinjing di tangan kirinya pun berkelas dan konon harganya setara rumah Koh A Lung saudagar terkaya di kecamatan ini. Tidak bisa diterka dari kulit apa gerangan tas itu dibuat. Mungkin dari kulit buaya darat. Oh, Tuhan benar saja sanggulnya lebih besar dari ban skuter milik Suyono, seorang penilik sekolah di kecamatan. Bibirnya berwarna hitam pekat seperti tungku dapur Mbok Ngatman, penjual tahu goreng pasar kecamatan ini. Bulu matanya seperti sapu ijuk milik Dokter Mirna. Bedak yang membaluri mukanya serupa bedak badut yang biasa menghibur anak-anak di pasar malam. Oh, itu Ibu Bupati atau ondel-ondel?
Rombongan itu tidak cukup menarik perhatian warga. Umbaran senyum lebar dari Bupati beserta Ibu tidak mendapatkan sambutan setara. Semua dingin dan kaku, seperti lukisan hantu. Muka-muka berduka itu semua datar. Bupati dan rombongan sudah tertelan lautan manusia yang ada di perempatan jalan itu. Hampir lima belas menit mereka hilang membaur menjadi buih di tengah segara. Tidak lama suara peluit kembali menderu-deru, membuka jalan untuk rombongan bupati keluar dari lautan manusia. Bupati berulang kali menyeka airmatanya yang mengalir dari biji matanya. Ibu bupati terisak senggugukkan, dan aliran airmata dari sudut kelopak matanya membentuk alur seperti sungai terbesar di negeri ini. Semua sandiwara pencitraan itu tak digubris rakyatnya. Bahkan mereka dengan serempak berseru, "Huuuuuuuuu!! Pencitraan! Pencitraan! Pencitraan!" Tapi bupati dan istrinya tidak mempedulikan suara-suara itu, mereka tetap meraung-raung menangis dengan suara tersedu-sedu.
Rombongan bupati kian menjauhi kerumunan warganya, sambil terus menangis mereka menuju mobil yang diparkir di lapangan bola depan kantor Polsek. Tubuh mereka sudah tidak terlihat lagi dari perempatan jalan pusat berkumpulnya ribuan rakyatnya.
"Bune, kenapa rakyat tidak mempedulikan tangis empati kita ya?" Tanya bupati pada istrinya.
"Mungkin mereka tidak percaya kalau Bapak tulus menangis."
"Oh, saya memang tidak tulus, Bune."
"Pantaslah kalau begitu, Pak. Hati nurani rakyat tidak bisa dibohongi."
"Ibu tulus menangis tadi?"
"Hehehe.. tidak, Pakne."
"Dasar sundel!" Pekik bupati.
"Lah Bapak saja bersadiwara kan?"
"Aku kan bupati, Bune."
"Lah aku kan istrinya bupati to, Pak."
"Hehehe...." Mereka sama-sama terkekeh seperti kuntilanak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro