Bagian 10
Setengah berlari Sarju yang masih memakai seragam sekolah itu hendak menyusul Sujinah yang belum pulang berjualan cenil di pasar kecamatan. Dari sekolahnya sampai ke pasar kecamatan cukup jauh, tidak kurang dari tiga kilometer. Baju bagian belakang Sarju sudah basah oleh keringat. Siang itu matahari memang sangat terik terasa. Udara seperti berhenti berhembus, mengendap di permukaan tanah. Pohon nyiur yang biasanya melambai-lambai kali ini diam tak menari. Pohon-pohon cemara di pinggir-pinggir jalan pun tak ada yang menggerakkan bagian tubuhnya. Terpaku tanpa laku, mematung seperti sedang merenung. Langkah kaki Sarju tidak surut oleh panas yang mencabik-cabik kulitnya.
Dari arah berlawanan orang-orang pulang dari pasar dengan sepeda ontelnya, di bagian depan sepeda ada belanjaan yang menggantung , pun ada yang dibonceng di belakang. Yang berjalan kaki pun hampir semua menjinjing belanjaan. Aneka sayuran yang menjuntai keluar dari kantong plastik, bumbu masak yang pasti ada dalam pastik itu juga, lauk-pauk yang tidak bisa dibuat sendiri biasanya dibeli juga di pasar. Mungkin juga ada cenil Sujinah dalam kantong-kantong belanjaan itu sebagai oleh-oleh untuk keluarga mereka.
Sampai di depan kantor Koramil, Sarju berhenti dan mengamati dengan teliti kantor itu. Jiwanya seketika melambung tinggi, tarikan nafasnya berat dan tersengal. Sarju tiba-tiba berhenti dan berdiri tegap menghadap bendera merah putih yang berkibar ceria di langit cerah nan biru, ia mengangkat tangannya dengan sikap sempurna. Hormat kepada sang saka merah putih, Hormaaat Grak! Jiwa Sarju makin melambung dan kakinya terpaku di bumi. Ia rasai kakinya berat oleh sapatu lars, berseragam loreng nan gagah. Dari seberang seorang sedadu melihat tingkah Sarju hanya senyum terkulum.
Dari belakang terasa pundak Sarju ada yang menepuk, ia terkejut dan segera menurunkan tangannya dari sikap hormat pada bendera merah putih itu.
"Ada apa kamu di sini, Le?" suara itu membuyarkan konsentrasinya menghormat bendera itu.
"Eh, Pak Margono. Hmmm..tidak ada apa-apa, Pak." Tergagap Sarju menjawab pertanyaan gurunya itu.
"Kamu mau jadi tentara?"
"Itu mimpi dan cita-cita saya, Pak."
"Bagus, Le. Belajar yang rajin dan harus disiplin."
"Iya, Pak."
"Tidak cukup dengan gagah, tegap, dan kekar saja. Tentara juga harus cerdas dan pintar."
"Biar negeri ini tetap abadi terjaga oleh mereka ya, Pak?"
"Tentu, Le. Keamanan dan pertahanan negeri ini ada di tangan mereka, meski itu tugas semua warga Negara, tetapi merekalah yang paling bertangungjawab."
"Iya, Pak."
"Kamu mau kemana, Ju?"
"Menyusul Simbok di pasar, Pak Guru."
"Ya sudah, sana di susul. Mungkin simbokmu sudah menunggumu."
"Baik, Pak Guru. Saya permisi. Assalamu'alaikum."
Sarju berlalu dari hadapan gurunya. Langkahnya dipercepat, kakinya lincah menapak jalanan berbatu tanpa canggung. Margono memandangi anak muridnya dengan senyuman mengembang. Ia sedikit menggeleng-gelengkan kepala, Margono mengagumi keteguhan cita-cita anak muridnya untuk menjadi serdadu kelak jika sudah dewasa. Sarju menghilang dari jalanan itu, tubuhnya sudah tertutupi barisan becak-becak yang parkir di dekat pasar kecamatan. Margono kembali menaiki sepeda ontelnya , mengayuh dengan teguh dan tanpa ragu. Guru itu akan mampir sejenak ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Istri Margono belum bisa pergi jauh karena baru tiga hari melahirkan anak ke-6.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro