Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Tamu Spesial

Jaehwan sudah tidak sabaran menunggu siapa sosok tamu spesial itu. Ia barusan diberi clue oleh Uzma; jika tamu spesialnya malam ini adalah seseorang yang tidak pernah terpikir akan bertamu olehnya. Saat ditanya, apakah sosok itu aku kenal? Uzma malah menyebalkan menjawab, itu rahasia dan jangan banyak bertanya lagi, itu salah satu hukumanku untukmu. Alhasil, ia munurut sudah untuk tidak menanyakan apa pun lagi.

Setelah salat isha dan tarawih berjamaah, Uzma mengajar mengaji Sarah dan Amala. Selama bulan puasa, jadwal mengaji mereka berdua diganti; yang awalnya sehabis maghrib menjadi sehabis isha. Setelah habis mengaji dan Sarah-Amala sudah pulang, Uzma melongok Jaehwan yang masih duduk bersila di atas sajadah di musala rumah, nderes al-Quran.

Rasanya adem mendengar suaminya itu membaca kalam-kalam-Nya. Ia pun tergerak untuk lebih mendengar khidmat. Melangkah pelan tanpa suara. Duduk di belakang Jaehwan--tanpa disadari Jaehwan karena saking khusuknya. Mendengar suara dalam itu membaca surah Maryam dengan tartil.

Uzma pun memilih tetap duduk diam di belakang Jaehwan, hingga suaminya selesai tadarus.

"Sejak kapan kau di situ, Yeobo?" selidik Jaehwan tatkala beringsut meletakkan mushafnya ke lemari kayu yang ada, di bagan atas.

Uzma merekahkan senyum mendapati Jaehwan yang sedang berbalik hendak manaruh mushaf di lemari belakangnya. Menimpal, "Sejak tadi."

"Kenapa duduk di belakang dan tidak memberitahuku kau datang, hmm? Sarah dan Amala sudah pulang?" tanya Jaehwan, lalu beringsut menaruh mushafnya ke lemari, melepas peci miki hat abu-abu yang senada dengan kemeja lengan panjang yang dipakainya.

"Sengaja agar kau tidak tahu. Jugaan aku sungkan mengganggumu yang sedang nderes. Dan ya, Sarah dan Amala baru saja pulang bersama ibunya."

Jaehwan tampak mengangguk pelan, kemudian berjalan keluar musala rumah berdampingan dengan Uzma.

"Apakah tamunya sudah datang?"

"Belum. Kayaknya sebentar lagi."

"Baiklah, mari kita menunggunya."

Jaehwan menyempatkan mengganti pakaian dengan sweater rajut gradasi hitam-silver. Sedangkan Uzma melangkah ke dapur, membuat teh lemon dan menggoreng cireng yang adonannya sudah dibuatnya saat sore.

Fokus Jaehwan yang sedang membaca sebuah buku di ruang keluarga teralihkan ketika Uzma datang. Istrinya membawa sebuah nampan kayu yang diisi dengan teko keramik berisi teh lemon, 2 gelas cangkir keramik, sepiring cireng, dan semangkuk saus rujak.

"Wah, kau membawakan apa, Yeobo? Hidungku sudah dicumbui bau-bau gurih lezat saja," komentar Jaehwan tatkala Uzma meletakkan nampan ke meja kayu.

"Aku kan sudah bilang sebelumnya, jika aku membuat salah satu makanan Indonesia, namanya cireng," jelas Uzma sembari meletakkan sepiring cireng yang masih panas ke bagan meja hadapan Jaehwan.

Muka Jaehwan tampak serius mengamat makanan putih gepeng di piring. Meletakan buku yang barusan dibacanya ke meja. Langsung mencomot cireng saat Uzma menuangkan teh lemon panas ke 2 cangkir.

"Bagaimana rasanya?" tanya Uzma setelah duduk di samping Jaehwan.

Jaehwan menyempatkan menelan kunyahan cireng tanpa saus rujak yang ia makan.

"Wah, enak sekali. Gurih asin, krenyes tapi juga lembut. Pokoknya apa pun yang dimasak oleh istriku selalu terbaik." Jaehwan menjawabnya dengan antusias sembari memamerkan jempolan pada Uzma. Lalu mencocolkan cireng ke saus rujak.

Uzma merekah senyum dengan polah Jaehwan yang selalu berlebihan memujinya. Ikut memakan cireng dengan mencocolkannya ke saus rujak.

***

"Kenapa kau mau menerimaku lagi, padahal kemarin adalah peluangmu bisa hidup dengan lelaki yang jauh lebih baik dariku, Yeobo?"

Pertanyaan barusan terlontar dari Jaehwan di sela-sela menunggu tamu spesial datang dengan memakan cireng.

Uzma yang sedang menyesap teh lemon tertegun, menengok ke arah Jaehwan yang sedang menatapnya serius.

"Karena pada akhirnya aku sadar; bahwa memang kaulah lelaki terbaik yang dikirimkan-Nya untukku."

"Terbaik?" Dahi Jaehwan mengerut.

"Iya."

"Aku bukan lelaki baik, Yeobo. Lantas bagaimana aku bisa menjadi yang terbaik untukmu di saat ... di luaran sana banyak sekali lelaki baik yang lebih pantas mendampingi hidupmu?"

Sengaja membisu, Uzma memilih menatap dalam kelereng mata cokelat Jaehwan, menemukan kesenduan di sana.

"Karena aku tidak lagi menginginkan yang sempurna," jawabnya kemudian.

"Mwo?" Jaehwan belum percaya.

Uzma tersenyum tipis. Memilih meletakkan cangkir teh lemonnya ke meja. Baru beringsut menatap Jaehwan lagi. Meraih sebelah tangan Jaehwan, menggenggamnya.

"Mianhae. Jeongmal mianhae ...," maaf Uzma sembari menunduk dalam, mencium sebelah tangan suaminya itu dalam genggaman tangannya.

Jaehwan semakin tidak paham pola pikir Uzma. Sebelah tangannya yang menganggur beringsut mengelus kepala Uzma. Menitah dengan suara bass-nya, "Jangan meminta maaf. Kau tidak bersalah. Jangan seperti ini. Angkat wajahmu, Yeobo."

Menurut. Uzma mengangkat wajahnya perlahan yang berubah sendu. Menatap dalam kelereng mata cokelat Jaehwan lagi.

"Maaf, selama ini juga aku berbohong padamu layaknya kau membohongiku dengan Helwa. Aku membohongimu jika aku dulu bukanlah penggemarmu. Dan yang paling fatal adalah ... aku pernah membuat kesalahan dengan menganggap kau bukanlah yang terbaik untukku. Aku terus merundungkan takdir ini kemarin-kemarin. Aku telah menyia-nyiakanmu selama ini. Aku ... " Tenggorokan Uzma terasa tercekik oleh rasa bersalah amat besar. Kedua mata kelamnya mulai memanas dengan masih sedikit mendongak menatap Jaehwan.

"Maaf, aku terobsesi menginginkan sesuatu yang sempurna kemarin, padahal tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna di dunia ini kecuali dzat-Nya. Aku sungguh tidak menginginkan kesempurnaan itu lagi seperti kemarin. Dan aku juga perempuan yang jauh sekali dari kata sempurna, maka diri itu, mohon terima aku yang banyak kekurangan ini, biarkan aku berbakti kepadamu di sisa hidupku, dan ridhoi aku ...."

Semua ini di luar atensi Jaehwan. Uzma terlalu lolos membuat hatinya terenyuh. Himpunan kata-kata Uzma barusan terlalu spesial ia dengar, terlalu berharga untuk bisa ia terima. Untuk kali pertamanya, setelah setengah tahun menikah, baru kali ini dirinya merasa begitu spesial untuk Uzma, hingga ia terbesit jemawa. Rasanya membahagiakan sekali tatkala akhirnya ia tahu kebenarannya, jika ini bukanlah sebuah kebohongan. Pun tidak ada luka lagi yang Uzma-nya simpan dalam kotak hati, malah memunculkan pura-pura baik saja.

Jaehwan masih membisu. Menatap dalam Uzma yang kini sudah meloloskan satu tetes cairan bening yang menggenang di kelopak mata, mengaliri kulit pipi.

"Terima kasih, kau mau memercayaiku lagi untuk menjadi teman hidupmu. Katamu tidak ada sesuatu yang sempurna, maka dari itu, mari saling melengkapi satu sama lain. Aku akan dengan senang hati menerima kekurangan dan kelebihanmu. Dan kuyakin, kau juga akan melakukan hal demikian padaku. Aku janji akan perlahan-lahan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, Yeobo. Sekali lagi terima kasih, telah mau bertahan dan mengupayakanku hingga saat ini ...," ujar Jaehwan. Menyeka air mata Uzma.

Uzma mengangguk pelan. Ada rasa lega di ruang batinnya. Perasaan yang kemarin saat ditinggal Jaehwan menghantuinya, hilang sudah. Perasaan yang membuat dirinya sungguh merasa naif karena baru sadar; bahwa kemarin ia terlalu fokus melihat kekurangan Jaehwan tanpa memerhatikan sisi baik yang ada.

Sebelumnya, Uzma pikir dirinya sudah simpel sekali mengidamkan suami dalam kriterianya. Yang mana, kriteria itu sudah menjadi sesuatu yang muluk-muluk dalam hidupnya tanpa ia sadar.

Benar. Sesuatu yang muluk-muluk karena ia sudah ditakdirkan menjadi istri Jaehwan, tetapi masih mengharapkan orang lain untuk hidupnya. Menjadi tidak lagi simpel karena ia tidak bisa mensyukuri apa yang telah ditakdirkan untuknya.

Ah, hidup ini kadang terlihat sederhana, tetapi kadang juga tampak sebaliknya. Terlalu banyak sesuatu yang tidak bisa disingkap oleh sosok hamba, menjadikan hamba ini kadang buta. Mengeluh kalau-kalau sesuatu yang kita dapatkan berbanding balik dengan apa yang kita inginkan, dengan apa yang kita yakini bahwa itulah yang terbaik lewat kaca mata kita, berujung kerundungan maha dalam yang sebenarnya tidak diperlukan.

Beginilah hamba. Kadang malah buta dengan takdir yang justru terbaik untuknya. Barangkali semua itu terjadi sebab keterbatasan yang ada. Keterbatasan pemikiran yang tidak bisa menembus pemikiran Allah yang Maha Mengetahui. Barangkali itulah kenapa kita selalu dianjurkan berprasangka baik pada Allah dalam segala hal, termasuk dalam keadaan seburuk apa pun karena ... hakikatnya kita tidaklah tahu apa-apa.

Kepergian Jaehwan kemarin sungguh membuat Uzma banyak merenung, menemukan jawaban-jawaban keresahan dalam kesepian itu; bahwa Jaehwan memanglah lelaki terbaik untuknya, lelaki yang ia butuhkan, dan Jaehwan jugalah membutuhkannya, itulah kenapa akhirnya dipersatukan.

Entah, apa saja konkretnya. Namun yang jelas adalah bagaimana cara Jaehwan bisa menghargai dirinya, yang mana belum tentu ketika ia diberikan kesempatan untuk menikah dengan lelaki lain, lelaki lain ini belum tentu bisa melakukan hal spesial ini, demikian sudah cukup bukti bahwa Jaehwan adalah sesuatu untuknya. Bisa jadi, kenapa akhirnya ia dipertemukan dengan Jaehwan; adalah sebagai jembatan Jaehwan untuk kembali lebih dekat kepada-Nya. Dan tentunya ada banyak hal lain yang belum dirinya mengerti dan pahami kenapa akhirnya dipersatukan, tetapi ia yakin ... memang beginilah garis hidup terbaiknya.

Kini beralih kedua tangan Uzma digenggam oleh Jaehwan, lantas menyentuh tengkuk Uzma agar istrinya ini bersandar ke dada bidang miliknya.

"Mari kita sama-sama membuka lembaran baru, Yeobo. Kupikir ... pernikahan kita kemarin memang terlalu kekanak-kanakan. Mari kita untuk saling terbuka dalam banyak hal mulai saat ini, jangan ada kebohongan lagi seperti kemarin. Sebentar lagi kita mempunyai seorang anak, aku sungguh ingin menjadi teladan baginya kelak, kau pasti juga mengingkan itu, 'kan?" kata Jaehwan sembari mengelus pundak Uzma.

"Pasti. Aku akan melaksanakan nasihat suamiku ini dengan baik. Aku akan terbuka padamu dan aku tidak mau berbohong lagi padamu. Dan ... aku jelaslah mengidamkan menjadi ibu teladan bagi anak-anak kita nanti," jawab Uzma. Air matanya sudah tidak lagi mengalir.

Jaehwan tersenyum lebar, merangkul Uzma.

"Omong-omong, aku ingin menghukummu untuk nonton film horor bersama kapan-kapan, Yeobo," ungkap Uzma, sudah membelokkan topik beberapa saat ke depan.

"Mwo? Nonton film horor?" Air muka Jaehwan langsung berubah keruh mendengar itu.

"Iya, film horor. Kebetulan aku punya rekomendasi film horor Indonesia yang sedang tren. Aku baca ulasannya, katanya serem banget." Uzma mulai meledek dengan mengurai rangkulan Jaehwan, sedikit mendongak untuk menatap suaminya itu.

"Ya!" decak Jaehwan yang malah terkena senyum jail Uzma.

"Kau takut, ya?" Uzma tambah meledek dengan menunjuk wajah Jaehwan dengan jari telunjuk.

"Tidak. Aku tidak takut. Hanya saja kadang merinding lihat film begituan," sangkal Jaehwan.

Senyuman jail Uzma semakin lebar. "Jika merinding lihat begituan, itu tandanya kau takut. Dan parahnya, bisa jadi merindingmu itu sebab hantu itu malah sedang mendatanganimu, duduk di sampingmu kini."

"Ya! Yang benar saja. Jika begitu, hantu itu berarti adalah dirimu karena kaulah yang duduk di sampingku kini, dan aku merinding sekarang," cicit Jaehwan.

Uzma mendengkus telah disamakan dengan hantu.

Jaehwan giliran tersenyum jail.

"Yeobo ...."

"Hmm ...."

"Mianhae. Sejujurnya aku tidak takut tentang film horor atau apa pun yang berbau horor. Aku hanya mengerjaimu dulu, sebab itu membuatmu senang untuk meledekiku," jujur Jaehwan, lalu nyengir lebih.

Tidak sesuai atensi Jaehwan, Uzma tidak kaget sedikitpun. "Aku tahu. Dan aku sengaja mengikuti alur kebohongan ini," jelasnya.

"Sungguh?"

"Hmm .... Aku menyadari dari awal, ekspresi berlebihanmu itu yang menunjukkannya, tetapi aku suka saja meledekimu seperti ini, jadi hiburan tersendiri," ujar Uzma, lalu ia beringsut mengambil cangkir teh lemonnya yang sudah mendingin, menyesapnya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Baiklah. Kalau begitu, ayo nonton film horor nanti sebelum tidur, dan aku akan pura-pura takut lagi," ajak Jaehwan, bersemangat.

Uzma yang tengah menuangkan teh lemon ke cangkir Jaehwan yang nyaris kosong, tersenyum tipis. Lalu mengulurkan secangkir teh lemon itu pada Jaehwan seraya berkata, "Ayo. Aku sangat bersemangat."

Jaehwan mengusap kepala Uzma sebagak ekspresi senangnya, sebelum meraih uluran teh lemon.

Sepersekian detik, ketika Jaehwan tengah meneguk teh lemon, Jihan Ahjumma datang, membawa kabar jika tamu spesial mereka sudah datang.

Jaehwan dan Uzma pun bergegas enyah dari ruang keluarga, melangkah berdampingan ke ruang tamu.

Hingga sampailah momen netra sipit Jaehwan menangkap siapa gerangan tamu spesial itu. Menangkap sesosok tubuh jangkung yang kini sedang duduk di sofa ruang tamu. Berpakaian atasan kaos motif strip dengan celana ripped jeans, rambut hitam yang ditutupi oleh topi snapback. Sosok kentara familiar yang sesuai sekali dengan clue yang dberikan Uzma.

Sosok itu .... Jingmi Ju? Jaehwan masih kurang percaya, bertanya bingung dalam benak selaras dengan kakinya yang semakin mengarah mendekati meja tamu, dengan netra sipit sosok Tiongkok itu yang akhirnya berserobok dengan netranya.

'Jingmi-ya?' benak Jaehwan masih saja bertanya, kurang percaya, padahal sudah jelas; bahwa tamu spesial itu .... Jingmi Ju, partner rapp-nya di Dazzle, Kakak Changyi.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro