34. Penjelasan Jingmi
Jingmi paling paham kalau Jaehwan adalah lelaki cengeng. Karena saking pahamnya, ia bisa membaca pola tubuh Jaehwan dari belakang, tatkala menangis dalam diam di pinggiran danau, dalam remangnya malam langit Seoul.
Jingmi menyaksikan Jaehwan menangis lewat pohon sakura, mengintip lelaki cengeng satu ini yang duduk sendirian di tanah bererumputan cepak, di pinggiran danau yang tenang. Lelaki satu ini berkali-kali tampak menyeka lelehan tangisnya di pipi, mencopot masker mulut yang dikenakannya, mengalihkan tudung hoodie di kepala, menatap ponselnya lagi dengan miris.
Jingmi tidak tahu apa isi pesan di ponsel Jaehwan, tetapi ia bisa menduga jika sesuatu yang barusan diamati Jaehwan dalam ponsel tentulah bukan perkara baik, karena setelahnya lelaki cengeng ini mendesah berulang-ulang, menyebut nama Uzma dengan pilu dengan ditutup kalimat, "Jangan tinggalkan aku, berikan aku satu kesempatan, kumohon .... Aku tidak mau berpisah denganmu, Yeobo ...."
Aigo, lelaki cengeng ini ceroboh sekali jika terlampau cemas, bisa-bisanya berkata cukup transparan seperti barusan tentang problematika rumah tangganya di sini, sekalipun ia juga paham bahwa tempat ini selalu sepi jika malam, tetapi bisa saja tetiba ada papprazi yang menguntit karena Jaehwan adalah seorang idol populer, lalu tersebarlah berita miring esoknya. Untung saja yang mendengar hanyalah sosok Jingmi sahabatnya, ralat ... hanyalah sosok Jingmi mantan sahabatnya.
Sebenarnya ini adalah salah satu kelemahan Jaehwan yang tidak diketahui publik, bahwa rapper utama Dazzle ini sangatlah cengeng dan pemurung. Di layar kamera, Jaehwan memang selalu tampil kuat, pandai membuat suasana menjadi hangat, dan membuat siapa pun di sekitarnya lepas bahagia. Namun, tatkala sendirian, lelaki satu ini bisa secengeng barusan jika ada masalah dan sifat pemurungnya tampak sudah. Jaehwan adalah tipikal orang yang pandai menghibur orang lain tatkala susah, tetapi sangat bodoh untuk menghibur dirinya sendiri di situasi seperti ini.
Jaehwan bisa menangis dalam diam di kamar jika sendirian atau bahkan di toilet, dan di pinggiran danau ini ... tempat strategisnya untuk menyepi. Jikalau tidak, Jaehwan akan menangis pada orang yang paling dipercayainya; yaitu dirinya, dulu. Yang mana, Jingmi yakin, sekarang yang menjadi tempat Jaehwan bisa berkeluh kesah dan menangis adalah istrinya. Namun, barangkali karena sebuah problematika yang ada dengan Uzma, akhirnya Jaehwan kembali ke danau ini untuk menyepi, untuk menuangkan semua unek-uneknya, seperti maksud dirinya malam ini.
Benar. Seperti maksud Jingmi malam ini ke danau ini, untuk membuang unek-uneknya, berbicara pada alam. Danau ini adalah tempat strategi Jingmi juga untuk menyepi, tepatnya tempat strategis mereka berdua.
"Melalui barusan itu, aku menjadi paham, jika hubunganmu dengan Jaehwan sedang tidak baik-baik saja, 'kan?" tanya Jingmi, setelah puas menceritakan perkara tak segaja memergoki Jaehwan, menangis di pinggiran danau malam ini.
Uzma memilih membisu. Risih dengan pertanyaan barusan, membuatnya tidak nyaman duduk di sofa ruang tamu.
"Mianhae, bukan maksudku ikut campur masalah rumah tangga kalian, tetapi aku hanya ingin mengatakan ... jika Jaehwan sudah mencintaimu sejak lama. Hanya kau satu-satunya wanita yang berhasil meluluhkan hatinya. Apa pun itu ... apa pun masalah yang sedang kalian hadapi, kumohon jangan perpisahan yang menjadi solusi, Uzma-ya ...."
Uzma tersentak dengan jawaban Jingmi. Bukan tersentak sebab ikut merusuhi problem rumah tangganya, tetapi di letak permohon untuk tidak berpisah. Oh, permohonan macam apa barusan itu, lelaki Tiongkok ini sungguh tidak sadar diri dengan apa yang telah diperbuatnya kepada Jaehwan; sebuah perpisahan, memutus persahabatan.
"Memang kenapa, jika pada akhirnya aku memilih solusi berpisah?" Akhirnya Uzma membuka suara dengan jawaban seperti itu.
"Jaehwan akan terpuruk terlalu dalam, Uzma-ya." Suara bariton Jingmi terdengar tegas. Percaya diri sekali jika Jaehwan akan terkena resiko besar untuk terpuruk.
"Seperti terpuruk karena terputusnya persahabatan denganmu, Oppa?" selidik Uzma. Ada emosi membara dalam benaknya melontarkan pertanyaan barusan.
Kini tinggal Jingmi yang tersentak. Dadanya ngilu seketika.
"Mianhae, jeongmal mianhae ....," maafnya dengan aura muka berubah rikuh.
Hati Uzma tersenyum sinis mendengar ucapan maaf Jingmi. "Apa maksud utamamu tetiba datang ke sini? Dan apa maksud dari permintaan maaf barusan?"
Aura muka Jingmi semakin rikuh menatap Uzma, ia kehilangan kata-kata hingga hanya mampu bergeming menatap Uzma yang menyirat kesal. Dadanya berasa semakin ngilu oleh rasa bersalah yang selama ini dipikulnya, terus dipikul sebab keegoisan yang dirinya jaga sedemikian.
"Alasan kenapa aku datang ke sini dan alasan kenapa aku meminta maaf barusan, tak lain karena aku ingin mengakhiri semua penderitaan Jaehwan, Uzma-ya ..."
***
Potongan puzzle yang dulu dicari Uzma saat Jaehwan ketakutan perihal Changyi, akhirnya sempurna sudah ia temukan. Jingmi menceritakan semua perihal itu padanya. Menjadi satu kesatuan yang saling berkelindan dengan curhatan Jaehwan kepadanya, dulu.
Ternyata alasan utama Jingmi menyalahkan Jaehwan sebagai muara sebab kematian Changyi adalah egoisme. Keegoisan untuk menjadikan dirinya sendiri tidak bersalah di atas sebuah salah. Jingmi tidak mau disalahkan atas keteledoran gagal menjaga Changyi, lalu mengambil sebuah kesempatan dalam situasi kurang baik antara Jaehwan dan Changyi, untuk membuatnya tampak tidak bersalah. Mudahnya, mencari orang lain yang bisa disalahkan untuk menutupi kesalahannya dan Jaehwanlah yang menjadi kambing hitam itu.
Jingmi tidak mau disalahkan atas gagalnya menjaga dan mendidik Changyi, terutama oleh mendiang ayah dan ibunya yang sudah berada di Nirwana. Memilih menyudutkan Jaehwan sebagai jembatan. Hingga pada akhirnya, setelah kejadian menghukum Jaehwan untuk meminum soju, lalu mendapati tangisan Jaehwan di danau, rasa bersalahnya memuncak, tergerak hati untuk kakinya melangkah ke rumah Jaehwan malam ini, menemui Uzma segera, memberi satu permintaan.
Uzma ikut melangkah saat Jingmi undur diri untuk pamit, mengantarkan hingga pintu, menatap punggung lelaki Tiongkok itu yang berjalan menjauh dari beranda rumah. Masih ada sisa rasa kesal di hati mendapati perlakuan lelaki itu pada Jaehwan. Bagaimana sosok sahabat bisa berubah senaif itu, Uzma tidak habis pikir. Namun, sudahlah, semua sudah tertinggal di belakang. Ada sebuah kesalahan yang telah dilalui, tetapi selalu ada pelajaran baik setelahnya jika kita mau mempelajarinya, dan ini sudah cukup menjadi penyeimbang dari semua itu.
"Mianhae, jeongmal mianhae, atas penghukuman Jaehwan meminum soju."
Uzma menutup pintu rumahnya begitu Jingmi meminta maaf untuk kali terakhir dan dijawabnya dengan anggukan. Berjalan pelan dengan melamun. Bertanya-tanya pada senyap perihal bagaimana keadaan Yusuf-nya kini. Ia sungguh ingin menemui Yusuf-nya, menyeka air matanya, menggenggam kedua tangan lelaki itu untuk membuatnya tenang dan jangan cemaskan apa pun.
Dalam lamun, sampailah Uzma melangkah masuk kamar, duduk di pinggiran ranjang, menatap potret manis mereka berdua di Cappadocia lagi.
Ia merindukan senyum itu. Senyum simetris dengan lekuk kecil di sebelah pipi yang tampak. Tawa renyah Yusuf-nya dan sederet tingkah jailnya. Pun, ia rindu bagaimama cara Yusuf-nya memanggilnya mesra dengan Yeobo, dengan nada bass yang lelaki itu miliki.
Uzma merekahkan senyum tatkala jemarinya menyentuh wajah Jaehwan dalam foto, rindunya semakin membuncah, dan ia sadar kini ... bahwa kenyataannya ia sudah benar-benar mencintai Jaehwan secara sempurna. Kepergian Jaehwan inilah yang menyadarkannya dari kebutaan itu, bukan rasa lega Jaehwan pergi, tetapi rasa sesak dirundung rindu yang tak kunjung terobati.
Lagi. Uzma merekahkan senyum, tetapi terkesan mencemooh, untuk dirinya. Selama ini ia terlalu bebal akan perasaannya, kerap memanipulasi perasaannya pada Jaehwan, hingga buta mana perasaan yang sesungguhnya yang ia miliki. Kemudian hatinya tertawa akan kebodohannya itu.
Sedangkan, di rumah Zahid, di kamarnya, Jaehwan tengah menelepon Appa-nya.
"Berikan aku petuah, Appa. Setelah berpandai-pandai menutupi kelicikan perkara Helwa, akhirnya aku ketahuan juga oleh Uzma. Dan pada akhirnya, aku sangat menyesali kenapa tidak mengikuti saran Appa untuk jujur lebih awal ...."
"Appa ... maaf, jika pada akhirnya aku gagal menjadi sosok suami yang baik untuk istriku ...."
"Appa .... Aku sudah banyak merenung barusan; bahwa jika diberi keluasan berpikir seperti ini, pada akhirnya Uzma tidak akan tega meninggalkanku. Wanita itu terlalu baik dan kupikir dia akan tetap menerimaku dan pura-pura semuanya baik-baik saja seperti sebelumnya. Aku tidak mau melukainya lagi, sekalipun egoisku tetap ingin Uzma hidup bersamaku. Sepertinya, pada akhirnya aku memilih berpisah saja. Melepaskan untuk dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang diidamkan selama ini ...." Napas Jaehwan terasa sesak setelah mengakhiri curhatan panjangnya. Ia putus asa, tetapi ia tetap mencoba berpikir jernih dan banyak menimbang-nimbang, hingga sampailah pada kesimpulan itu. Berpisah saja.
Sedangkan, dari seberang telepon, Tuan Ahn mulai menyahut, "Jaehwan-ah ...."
________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro