29. Hukuman Jingmi
Malam masih merajai bumi Seoul.
Setelah asyik membuat dan menyantap BBQ, mereka berempat tinggal seru-seruan adu panco. Pertama yang melakukan adu panco adalah Jee dan Bora. Pertarungan mereka terlaksana dengan tidak sengit, sebab Bora mengalah begitu saja, tidak membuat perlawanan berarti.
"Aish! Tidak seru!" Begitu yang didecakkan Jaehwan tatkala mendapati polah Bora.
Bora cengengesan sembari merapikan gulungan kaos di sebelah tangannya. Kemudian mendapat hukuman kalah dari Jee untuk memijat leader Dazzle itu.
Selanjutnya adalah Jaehwan dan Jingmi untuk adu panco.
Jaehwan tampak semangat menggulung lengan sebelah koas hitamnya. Pun sama dengan Jingmi, semangat menggulung kemeja flanel-nya.
"Ayo lawan aku dengan sekuat tenagamu, Jingmi-ya," ungkap Jaehwan sembari pemanasan dan peregangan sejenak.
Masih bisu seperti patung, Jingmi menatap Jaehwan sinis.
Bora dan Jee antusias menyimak mereka berdua setelah sesi hukum-menghukum usai.
Pertandingan adu panco Jaehwan dengan Jingmi dimulai.
Jaehwan maupun Jingmi mulai meletakkan sebelah siku tangan mereka ke atas meja. Kemudian lembaran tangan mereka saling menggenggam kuat dan start.
Sesi adu panco Jaehwan dan Jingmi sangat sengit. Mereka berdua mengeluarkan semua tenaga yang mereka miliki. Apalagi ditambah dengan tatapan mata sinis Jingmi, semakin membuat mood Bora dan Jee berlipat antusias menontonnya, sayangnya sebaliknya dengan Jaehwan yang tetap sesekali cengengesan.
Jingmi adalah member Dazzle yang paling lihai dalam teknik adu panco setelah Sejoon, Jaehwan bukanlah tandingannya sekalipun mempunyai lengan tangan yang cukup berotot. Terlihat dari detik-detik akhir, Jaehwan sudah tidak lagi cengengesan, melainkan membungkam kuat mulutnya sebagai salah satu kode; bahwa ia sedang dalam mode serius menghadapi serangan Jingmi.
Sedangkan, tatapan Jingmi semakin sinis menatap mata Jaehwan. Sedikit menambah daya menyerang Jaehwan.
Beberapa saat ke depan, akhirnya sebelah tangan Jaehwan ambruk. Kalah sudah.
Jee bersorak untuk kemenangan Jingmi dengan mengepalkan kedua tangan, menarik lepas ke atas. Bora menepuk sebelah bahu Jaehwan sembari tertawa ejek, berujar, "Sudah kuprediksi dari awal, kau tidak akan menang dari Jingmi, Jaehwan-ah."
"Iya, aku juga sudah berfirasat kalah sebelumnya, tetapi setidaknya aku tetap berusaha untuk menang, tidak sepertimu yang pengecut sekali dengan langsung mengalah," decak Jaehwan, membuat pembelaan.
Tidak menjawab, Bora tertawa renyah.
"Apa hukumanmu untukku, Jingmi-ya?" tanya Jaehwan sembari merapikan gulungan lengan kaosnya.
Jingmi tampak masih tak acuh karena sedang sibuk menenggak soju.
"Kau mau menghukumku untuk memijat juga, Jingmi-ya?" selidik Jaehwan, tak sabaran mendapat hukuman.
"Jangan begitu, hukum saja Jaehwan untuk memotong kuku-kuku jari kakimu yang panjang itu, Jingmi-ya," saran Jee.
"Ya! Jangan dihukum begitu. Lebih baik hukum Jaehwan untuk membelikan jjajangmyeon saja besok, Jingmi-ya," interupsi Bora yang pikirannya kebanyakan tentang makanan.
Tidak ada satu pun yang didengarkan sarannya oleh Jingmi. Lelaki Tiongkok ini menyudahi meminum soju-nya. Mengelap sudut bibir dengan jemari. Menaruh botol soju-nya ke meja dan menyodorkan segelas kaca ke arah sisi meja yang dihadapan Jaehwan.
Tawa rusuh Bora dan Jae pudar. Cengengesan Jaehwan pun mengendor secara signifikan. Mereka beralih tumpu menatap gelas kaca kosong itu.
"Apa maksudmu, Jingmi-ya?" selidik Jaehwan menatap Jingmi penuh kebingungan.
Pun begitu dengan Bora dan Jee, beralih menatap Jingmi penuh tanya perihal kejelasan.
Seperti biasa, Jingmi selalu pandai menghadapi Jaehwan dengan bungkam. Sebelah tangannya yang berbicara, menaruh cairan soju ke gelas kaca kosong itu.
"Jingmi-ya!" Jee langsung berseru cemas.
Jaehwan menatap belum percaya gelas kaca kosong di hadapannya yang kini tertuang cairan bening komunal alkohol.
"Jangan bilang kau menghukumku dengan--"
"Aku memberimu hukuman untuk meminum soju," interupsi Jingmi seraya menatap sinis Jaehwan.
"Tapi Jing--"
"Kenapa semakin ke sini kau menjadi manusia sok suci? Padahal kau selama ini juga hidup cukup bebas seperti kami. Apakah sekarang kau takut dengan istrimu dan pura-pura menjadi manusia alim, hmm?" sulut Jingmi, "Dan ya, padahal kau juga adalah seorang pembunuh adikku."
"Jingmi-ya!" seru Jee dan Bora berjamaah.
Jaehwan mengepalkan sebelah tangannya di atas meja. Tatapannya berubah sinis ke arah Jingmi, tetapi juga tercampur nelangsa.
"Apakah salah jika aku ingin berubah lebih baik setelah menikah? Apakah aku juga salah jika menjadikan istriku sebagai jembatan aku untuk berubah lebih taat? Apa aku salah memilih jalan ini sebagai pilihan hidupku sekarang, Jingmi-ya?" ujar Jaehwan, dadanya mengilu di setiap hentak kata yang keluar dari mulutnya.
Jingmi tersenyum sinis. Bora dan Jee menyimak dengan ikut tegang dan kesal.
"Dan aku juga bukan pembunuh Changyi, Jingmi-ya! Pembunuh Changyi adalah kau! Kaulah yang membuat dia depresi dengan terus menekannya berlebihan! Berhenti menyalahkanku sebagai muara kematian Changyi, karena sejatinya muara kematiaannya adalah dirimu!" decak Jaehwan, remasan tangannya semakin kuat.
Bukan marah, Jingmi malah tersenyum meremehkan, bersungut, "Aku hanya ingin menghukummu untuk meminum soju, tetapi sekarang kenapa kau malah banyak ceramah, heh?!"
"Jingmi-ya! Kau tidak boleh menghukum Jaehwan melebihi batas seperti ini!" seru Jee. Menatap garang Jingmi di sampingnya.
"Aku tidak peduli, Hyeong. Hukuman adalah hukuman. Harus dilaksanakan, tidak ada toleransi bagiku," jawab Jingmi enteng, semakin sengit menatap Jaehwan.
"Jingmi-ya!" Kini Bora yang berseru.
Jee gesit menarik kerah kemeja flanel Jingmi. "Jaga omonganmu, Jingmi-ya!"
Jingmi tak acuh akan ancaman Jee. Air muka Bora kian cemas dalam menonton. Remasan sebelah tangan Jaehwan amat mengeras. Pikirannya mendadak sangat semrawutan.
Sesaat kemudian dengan Jee masih menarik kerah kemeja flanel Jingmi sebagai ancaman, seiring dengan sorotan mata Jingmi yang semakin menajam, Jaehwan meraih gelas kaca berisi soju itu. Menenggaknya perlahan, membiarkan cairan bening vodka ala Negeri Ginseng itu melintasi tenggorokannya.
"Jaehwan-ah!" Terdengar seruan sangkal Bora dan Jee berjamaah.
***
Sambil menunggu Jaehwan pulang, Uzma tadarus al-Qur'an di sofa ruang keluarga. Ia membaca ayat-ayat kalam Allah itu dengan tartil dengan suara yang lembut. Hingga akhirnya tadarusnya ia akhiri saat mendapati Jihan Ahjumma datang, memberi kabar jika Jaehwan pulang.
Uzma menutup mushaf-nya, mencium lembut sebelum meletakkannya di rak atas, menyambut kedatangan Jaehwan.
"Annyeong, Uzma-ya," sapa Jee yang masih bertumpu di depan pintu dengan sebelah tangan menopang tubuh Jaehwan. Dan Bora berada di samping Jaehwan.
"Nado anyyeong, Oppa ...," sahut Uzma dengan ramah, lalu melirik ke arah Jaehwan yang tampak seperti tertidur dengan berdiri dan menyandarkan kepalanya ke bahu Jee.
"Suamiku kenapa?" tanya Uzma dengan mengerutkan kening.
"Bangun, Yeobo." Uzma menepuk sebelah bahu Jaehwan.
"Aku tidak tidur. Aku hanya merasa pusing, Yeobo," sahut Jaehwan sembari menyentuh tangan Uzma yang barusan menepuknya, masih dengan memejamkan mata, tersenyum aneh.
Kening Uzma semakin mengerut. Ia merasakan hal aneh dalam diri Jaehwan.
"Aku pusing sekali. Buatkan aku gingseng madu, Yeobo," omong Jaehwan setelah membuka mata, melangkah sempoyongan ke arah Uzma dan berakhir ditarik oleh Jee lagi saat hendak jatuh.
Uzma meneguk saliva-nya.
"Lepaskan aku, Hyeong! Aku ingin memeluk istriku, heh!" omel Jaehwan dengan sinis, mencoba melepas cengkeraman tangan Jee di lengan atas tangannya.
Uzma meneguk saliva-nya lagi. Mulai paham ada apa dengan suaminya.
"Mianhae, Uzma-ya. Kami ceroboh sekali dengan tidak kuasa mencegah Jaehwan meminum soju," maaf Jee dengan rikuh.
Jaehwan berkelit untuk berusaha melerai cengkeraman Jee.
"Maaf. Kami sungguh minta maaf, Uzma-ya ...." Kini Bora yang rikuh meminta maaf.
Uzma terpatung, menatap nanar Jaehwan yang sedang mabuk. Pikirannya mendadak semrawutan. Lalu hanya bisa menjawab permohonan maaf Bora dan Jee dengan anggukan.
"Jika kau mengizinkan, aku akan mengantarkan Jaehwan hingga kamar, Uzma-ya," izin Jee, memecah sunyi yang genting di antara mereka.
Lagi, Uzma hanya dapat menjawab dengan anggukan.
Jee pun beringsut menitah Jaehwan ke kamar. Bora memilih menunggu di ruang tamu.
Tak berselang lama, setelah berhasil mengantarkan Jaehwan ke kamar, Jee dan Bora mohon pamit.
"Apa yang kau pikirkan hingga beraninya meminum soju dan mabuk seperti ini?" tanya Uzma dengan duduk di pinggiran ranjang, menatap nanar Jaehwan yang kini terbaring di kasur.
Bukan merasa bersalah, dengan euforia yang ada dan kesadarannya yang hilang, Jaehwan justru tertawa renyah.
"Kenapa kau bersungut seperti itu, Yeobo? Sini, tidur di sampingku, aku tahu kau sedang merindukanku, makanya kau jadi galak seperti itu." Enteng sekali Jaehwan menjawab itu setelah memiringkan tubuhnya, menepuk area kasur kosong di sampingnya.
Uzma jelaslah enggan memenuhi perintah Jaehwan. Ia membeku di tempat. Kedua mata kelamnya mulai memanas.
Jaehwan terus menepuk-nepuk kasur dengan merekahkan senyum simetris ke arah Uzma.
"Jadi begini tabiatmu di luar jangkauanku, hmm?" gumam Uzma. Panas di matanya semakin menyiksa. Dadanya bergemuruh kesal.
"Aish! Kau lama sekali, Yeobo," cicit Jaehwan mendapati Uzma tidak membuat pergerakan apa pun. Memberengut. Beringsut meraih sebelah tangan Uzma, tetapi gesit ditampik.
Jaehwan tersentak. Setelahnya ia muntah hingga mengotori seprei kasur abu-abu.
***
Dengan perasaan masih memendam marah, Uzma mengganti seprei kasur kamarnya. Menyuruh Jaehwan untuk bergantian pakaian juga.
Orang dalam keadaan mabuk memang menjadi sangat tidak becus, lama sekali Jaehwan mengenakan sweater-nya, malah sibuk membolak-balik bagian dalam dan luar sweater. Alhasil, Uzma yang mau tidak mau membantu memakaikannya, lantas menuntun Jaehwan berbaring di kasur.
Tidak bicara sepatah kata pun, Uzma menyelimuti tubuh Jaehwan. Setelah itu dirinya cepat-cepat untuk beringsut pergi, karena untuk malam ini ia malas tidur di samping suaminya yang masih dikendalikan oleh alkohol itu. Namun, saat ia hendak turun dari ranjang, Jaehwan cekatan meraih sebelah tangannya, menahannya untuk pergi.
"Jangan tinggalkan aku, Yeobo," rintihnya.
Uzma tidak peduli, ia menengok sejenak ke arah Jaehwan yang memelas, mencoba mengurai simpulan tangan Jaehwan.
"Jangan tinggalkan aku. Kumohon ...." Merintih lagi. Lebih menguatkan simpul tangannya di pergelangan tangan Uzma.
"Jangan tinggalkan aku, Yeobo. Kumohon ... Sudah cukup aku kehilangan Changyi. Sudah cukup aku kehilangan persahabatanku dengan Jingmi. Sudah cukup, Yeobo .... Jangan tambah penderitaanku dengan kau meninggalkanku juga ...."
Tidak peduli. Uzma melengos.
Jaehwan tersenyum kecut. Air mukanya semakin keruh. Kemudian ia menangis dalam diam.
Uzma tetap mencoba tidak berempati.
"Aku lelah dengan semua ini, Yeobo. Harus berapa kali aku meminta maaf pada Jingmi? Harus berapa kali aku mengakui kesalahanku atas kematian Changyi? Pun harus berapa kali aku untuk mencoba kuat menanti sesuatu yang tidak pasti ini, untuk akhirnya bisa berbaikan dengan Jingmi, hmm?"
Ada rasa melas rungunya mendengar itu. Namun, buat apa peduli dengan omongan orang yang sedang mabuk. Uzma memilih bebal untuk berempati.
"Aku juga lelah dengan semua ini, Yeobo. Lelah dengan pura-pura tidak tahu tentangmu. Lelah pura-pura tidak bisa mendengar isi hatimu selama ini."
Jaehwan menjeda omongannya dengan melirik ke pergelangan tangan Uzma yang masih dicengkeramnya.
"Selama ini aku selalu takut untuk melepaskan. Selama ini aku sangat takut akan kehilangan. Namun, aku tahu ini sangat egois jika terus dipertahankan. Pada akhirnya, selama ini aku tidak pernah sungguh merasa bahagia atas pernikahan ini, tetapi aku memilih bebal ..."
"... Bukan karena aku tidak mencintaimu. Bukan itu. Aku jelaslah sangat mencintaimu lebih dari yang kau tahu. Namun, ini adalah tentang dirimu yang pura-pura semuanya baik-baik saja hidup denganku. Ini adalah tentang dirimu yang pura-pura mencintaiku. Ini adalah tentang dirimu yang kerap merasa sakit, tetapi bisa tetap tersenyum semringah di hadapanku, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Ini semua adalah tentangmu, Yeobo. Aku sangat tahu isi hatimu ...."
Kedua bola mata kelam Uzma membulat mendengar kesaksian Jaehwan itu. Tenggorokannya terasa tercekik. Hatinya berasa tersembilu. Perlahan, ia menengok ke arah Jaehwan.
Suaminya tidak lagi menangis, tetapi masih ada sisa air mata di sudut kelopak matanya. Kemudian merekahkan senyum manis perlahan, dengan memamerkan lesung pipit yang dimiliki. Melepaskan cengkeraman tangannya sembari berujar, "Jangan menipuku lagi, Yeobo. Jika kau ingin aku melepaskanmu, katakan saja padaku, aku pasti akan melepaskanmu ...."
Tenggorokan Uzma semakin tercekik. Sembilu di hatinya kian melukainya. Kedua mata kelamnya mengembun, kemudian terjatuh tanpa bisa dibendung lagi.
Sedangkan Jaehwan, idola hallyu ini sudah memejamkan mata, tertidur begitu saja.
_____________
Notes:
Soju: arak khas Korea
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro