Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Telepon Larut Malam

Atmosfer mencekam menyusup ke sekitaran ruang keluarga apartemen Jingmi dalam larutan malam yang ada.

Kedua netra cokelat Jaehwan membulat.

Jantung Changyi mencelus setelah teriakan Jingmi, diiringi kedua netra cokelat Jaehwan yang membuka sempurna di hadapannya. Mendapati itu, ia menarik sebelah kaki yang tertekuk jongkok ke belakang, membuat jarak dengan Jaehwan, disusul sebelah kakinya lagi ke belakang hingga punggung bawahnya menabrak meja kayu yang ada.

"Apa yang akan kau lakukan, hah?! Jangan bilang kau ...," selidik Jingmi yang sudah berhasil melangkah mendekati mereka berdua, mencondongkan tubuh jangkungnya, menarik keras kerah hoodie hitam Changyi dengan sebelah tangan. Tak kuasa meneruskan kata berisi asumsinya akan tuduhan pada Changyi. Sebuah sangka menjijikan.

Jaehwan sudah berhasil mengangkat badannya, duduk. Menatap penuh curiga akan Changyi.

"Jangan menunduk, Pengecut!" cecar Jingmi penuh amarah. Lebih menarik kuat kerah hoodie Changyi hingga menyesak ke leher.

Changyi bergeming takut dengan menunduk. Rasa bersalah merundungnya. Membodohi dirinya sendiri akan sebuah niat yang barusan hendak dilakoninya.

"Apa yang akan kau lakukan padaku barusan, Changyi-ya?" Kini suara bass Jaehwan yang menanya. Menatap Changyi penuh selidik, curiganya bertambah besar. Sangka sudah bercokol di otaknya, tinggal mencari kebenaran, berharap sangkanya salah.

Bukan menjawab, Changyi malah semakin dalam menunduk. Ketakutannya memuncak hingga hidung mancungnya kembang kempis, napasnya berat, pendek-pendek.

"Angkat dagumu, heh!" perintah Jingmi sembari sebelah tangannya melayangkan satu pukulan ke kepala Changyi. Geram sekali.

Kali ini Jaehwan memilih diam menyaksikan perlakuan kasar Jingmi pada Changyi. Sangka yang tengah singgah di otaknya menjadikannya sungkan mencegah ulah Jingmi itu. Netranya terus mengilat penuh engkangan emosi.

"Katakan, apa yang akan kau lakukan padaku, Changyi-ya?" ujar Jaehwan.

Diawali meneguk ludah, akhirnya Changyi mengangkat dagu, memberanikan diri menatap balik Jaehwan yang tengah memperhatikan penuh ke arahnya.

Membisu sesaat dengan menatap Jaehwan penuh rasa bersalah yang semakin membesar saja, lalu bibir kenyal Changyi mulai membuka jawab, "Mianhae, Hyeong." Ucapan maaflah yang terlepas.

Kini tinggal jantung Jaehwan yang terasa mencelus, rahang kokohnya terasa ambruk ke lantai. Ia lemas mendapati permintaan maaf Changyi itu. Permintaan maaf yang akhirnya menjelaskan kebenaran sangkanya. Sebuah gerak bukan skinship pada sosok teman yang hendak Changyi lakukan padanya. Membuatnya seketika mual hanya dengan membayangkannya.

"Jeongmal mianhae, Hyeong," ulang Changyi sembari kedua tangannya meraih sebelah tangan Jaehwan untuk meminta maaf lebih khidmat.

Namun, Jaehwan segera mengalihkan kedua tangan Changyi itu yang menyentuhnya. Amarahnya sudah berhasil membakar perasaannya. Ia ingin segera pergi dari apartemen untuk meredakan panasnya amarah itu. Bergegas menyambar jaket semi parkanya yang terlampir di leher sofa. Keluar apartemen. Tak hirau akan Changyi terkena marah Jingmi lagi, entah dengan cara apa.

Malam semakin larut. Seiring dengan langkah panjang-panjang keluar dari apartemen Jingmi, perasaan rapper Dazzle itu pula kian berang.

***

Bukan skinship sebagai teman. Itulah yang membuat Jaehwan marah besar pada Changyi.

Ketika Jaehwan membuka mata, wajah Changyi begitu dekat dengan wajahnya yang sudah miring ke samping, membuatnya mengantensi jika Changyi hendak memberi kecupan di wajahnya. Ia sangat merasa terhina akan itu. Masygul berlebihan akan sikap tidak bisa menghargainya sebagai sosok normal.

Jaehwan merasa, semua itu terkonteks dalam ibarat "air susu dibalas air tuba".

Pasca tragedi larut malam itu, Jaehwan tidak menghubungi atau pun menemui Changyi lagi. Jelaslah masih marah, pula ingin membuat sedikit gertakan pelajaranagar Changyi bisa merenungkan sikapnya, syukur-syukur bisa menjadi lantaran untuk Changyi bisa berpikir lebih jernih dan menambah tensi tekad untuk berubah.

Memang, setelah melihat kerja keras Changyi, Jaehwan menyimpulkan jika keluar dari homoseksual itu sulit. Sulit sangat bahkan, apalagi hingga menjalani terapi konversi yang memang sangat kontroversial di banyak kalangan. Ini ibarat kita saja yang normal dipaksa menyukai sesama jenis. Ah, jelaslah seperti apa rasanya.

Hingga menginjak tiga hari, Jaehwan mendiamkan Changyi.

Jaehwan sudah berikrar pada dirinya sendiri untuk mendiamkan Changyi hingga hari pertama adik Jingmi itu melakukan hipnoterapi klinis. Karena memang, ia juga mempunyai janji hendak menemani Changyi hipnoterapi klinis pertama bersama Jingmi.

Namun, pemikiran Jaehwan berbeda dengan Changyi. Bukan tensi tekad untuk berubah yang bertambah, tetapi justru rundungan putus asa dan rasa bersalah besar yang memenuhi perasaan dan pikirannya.

Atas kecerobohannya pada Jaehwan, Jingmi melarang Changyi untuk berangkat sekolah hingga hipnoterapi klinis. Itu berhasil membuat Changyi sedikit merasa lega karena bisa terlepas sesaat dari ketidakanyamanan gunjingan murid BHS. Namun, rupanya demikian tidak bisa menjadi sedikit obat untuknya akan rasa bersalah kepada Jaehwan yang belum berkenan memaafkan.

Changyi terus membodohi diri, tentang kenapa bisa ia manghinakan derma Jaehwan dengan hendak melakukan laku tak senonoh malam itu. Ia sungguh muak akan sikapnya. Merutuk perasaannya yang memang sudah beberapa hari ini menafsirkan "rasa sayang berbeda" pada Jaehwan yang begitu perhatian padanya.

Sebenarnya, Changyi menginginkan bisa menjadi remaja normal seperti teman-temannya, tapi nyatanya sulit sekali. Ia pula tidak tahu kenapa bisa mempunyai kelainan seperti ini. Dulu, memang ia sudah tidak tertarik kepada kaum hawa sejak kecil, kecuali hanya untuk menjadi teman. Tetapi tak pernah terpikir juga, ternyata ia mempunyai kecenderungan homoseksual sejak sedini itu.

Apakah semua ini sebuah kutukan?

Entahlah, sekalipun bahkan sejak tahun 1987, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) menghapus homoseksualitas dari Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DMS), disusul juga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1992, tetapi nyatanya satu polah ini ditentang oleh norma agama manapun. Di agamanya sendiri pun, sekalipun homoseksualitas tidak secara terbuka disebutkan oleh Buddha dan termaktub dalam Pali Canon atau Tripikana, tetapi sebagian ahli tafsir menyebutkan; hal itu harus diperbaiki menjadi cara yang sama, menjadi heteroseksualitas.

Entahlah, jikapun ini bukan sebuah kutukan Buddha, Changyi tetap sadar ia memang tengah diuji dengan ketidaknormalan itu. Ia harus bisa keluar dari ruang hitam ini, merangkak menjadi abu-abu, berjalan perlahan menjadi putih, dan itu jelaslah sulit.

Kini, tubuh Changyi tertekuk jongkok di kamar mandi seiring dengan power shower yang menyemburkan derasnya air hangat. Menangis dalam dengan dada menyesak kesal dan sesal seraya memeluk kedua lipatan kakinya yang terbalut celana baggy biru tosca.

"Hyeong," rintihnya lemah.

Changyi sungguh berharap Jaehwan memberinya maaf, memberinya kesempatan satu kali lagi untuknya berubah, kalau tidak, ia kehilangan sebuah hal berharga untuknya bertahan hidup.

Sungguh.

***

Mentari sudah tumbang sempurna ke ufuk barat. Kelam merajai langit Seoul.

Jika kau mendapat telepon atau pesan Line dari Changyi malam ini, tolong, kau respon, ya, Oppa.

Changyi nekat berangkat sekolah hari ini. Entahlah, apakah ini kabar baik atau bukan, mendapati setelah penyebaran foto itu, dia sungkan sekali untuk berangkat sekolah, terpaksa karena takut pada Jingmi Oppa.

Apakah dia baru saja mendapat pencerahan? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku masih cemas.

Kumohon, maafkan Changyi, Oppa. Beri dia satu kesempatan lagi. Ini sudah tiga hari kau mendiamkannya. Aku sungguh tidak yakin apakah dia baik-baik saja, menghampa akan Hyeong terbaiknya.

Jaehwan meneguk ludah setelah membaca habis pesan Line di kamar dorm Dazzle. Menyempatkan memijat-mijat pelipisnya yang memang tengah berkedut pening dari tadi siang saat pemotretan majalah. Lalu mengetik balasan.

Baik, Mayleen-ie. Sebenarnya aku sudah memaafkanya, hanya saja aku ingin mendiamkannya hingga hipnoterapi klinis pertamanya itu. Tapi itu tidak lagi, aku akan berbicara dengannya saat dia mencoba meneleponku kembali.

Jangan cemas, Changyi akan baik-baik saja. Teruslah berdoa untuk kesembuhannya.

Saat hipnoterapi klinis Changyi yang pertama besok, sempatkan kau juga ikut mengantar, ya? Dia butuh dukungan dari keluarganya agar tidak kehilangan motivasi.

Mengirim balasan pesan Line ke Mayleen.

Jelaslah bukan hanya pelipis, tempurung kepalanya juga berdenyut pening sekali. Itu menjadikan Jaehwan malas berlama-lama memegang ponsel. Ia letakkan ponsel ke nakas. Bergegas bebersih diri ke kamar mandi. Kemudian tidur.

Alhamdulillah, tidur Jaehwan nyeyak berkat perantara obat yang diuntalnya sebelum tidur. Namun, ia menjadi mengabsikan hal lain; Changyi meneleponnya dan mengirim beberapa pesan Line.

Hingga, akhirnya Jaehwan terbangun juga setelah entah ke berapa kali teleponnya memekak dering. Mendesah sesaat, kemudian dengan super malas sebelah tangannya meraba-raba nakas untuk mengambil ponsel, masih dengan kedua netra mengerjap-ngerjap.

Tidak sampai melihat jelas siapa si penelepon di tengah malam, Jaehwan mengangkatnya dengan kedua netra memejam lagi, jelaslah masih terbaring dalam kasur terbalut bed cover.

Si penelepon adalah Changyi.

Yoboseyo, Jaehwan Hyeong. Begitu pembuka telepon Changyi.

Sebuah telepon larut malam yang ternyata, beberapa saat ke depan membenarkan kecemasan Mayleen.

Changyi sedang tidak baik-baik saja.

______________

Translate:
Yoboseyo= halo (dalam telepon)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro