15. Mimpi Buruk
"I-itu ...."
Jaehwan tampak kelu sekali untuk menjawab sesuatu. Sedangkan sorot mata cokelat tua Uzma semakin mengilat tuntut dengan kedua tangan masih mengasih lihat baretan aksara hanguel di dalam sarung tangan hitam Ant-Man.
"Itu tulisanku di enam tahun lalu, Yeobo." Lesatlah kalimat itu dari mulut Jaehwan. Diakhiri meneguk saliva.
Masih belum puas dengan jawaban demikian, Uzma menaikkan sebelah alis. Bibir kenyalnya menyakap tuntut.
"Enam tahun lalu? Kau sudah mengenaliku dari enam tahun lalu?" Masih meraut heran. Belum menemukan celah percaya Jaehwan mengenalinya 6 tahun lalu, belum bisa dinalar.
"Bukan begitu," sanggah Jaehwan.
Uzma kian kebingungan. Memilih menaikkan sebelah alis lagi. "Maksudmu?"
Mengulas senyum tipis, Jaehwan menyentuh pucuk kepala Uzma.
"Maksudnya baretan tanggalnya, bukan tulisan nama lengkapmu. Jika nama lengkapmu, aku membaretnya belum lama ini, saat berkunjung ke sini tanpa sepengetahuanmu," jawab Jaehwan membuat pengertian pada Uzma.
Kukuh membisu, Uzma memilih menurunkan kedua tangannya yang masih terangkat memegang sarung tangan hitam Ant-Man.
"Mianhae, aku membuatmu gagal paham barusan, terkejut seperti tadi." Kini Jaehwan mengatakannya seraya menepuk pucuk kepala Uzma. Pula mengurvakan bibir hingga membentuk lekuk kecil di sebelah pipi.
"Tidak apa-apa, hanya saja kau tampak terperangah barusan. Kupikir kau sedang was-was karena menyembunyikan sesuatu dariku," sahut Uzma. Ia menimpali senyum Jaehwan. "Jangan sungkan," lanjutnya.
"Gomawo," gumam Jaehwan. Menepuk pucuk kepala Uzma satu kali lagi sebelum mengenyahkan sebelah tangannya dari area kepala Uzma.
Sesaat kemudian, Uzma mencoba mengenakkan sarung tangan hitam ke patung manekin. Namun, ditahan oleh Jaehwan yang justru mengambil alih sarung tangan hitam di tangan Uzma yang hendak memasangkannya.
"Wae?" interupsi Uzma setelah menengok ke arah Jaehwan.
"Tidak usah dipakaikan lagi, aku hendak membawanya pulang," timpal Jaehwan dengan memasukkan sarung tangan hitam yang disitanya, ia masukkan ke saku celana jeans.
Uzma masih belum paham akan maksud Jaehwan ingin membawa pulang sebelah sarung tangan Ant-Man. Aneh, pasalnya membuat patung manekin di Wink Cafe yang mengenakan kostum Ant-Man satu ini kurang keren dengan gaya satu lembaran tangan patung terbuka. Berakhir tak menanggapi, hanya memonoton menatap heran Jaehwan yang kini masih menunduk dengan memasukkan sarung tangan ke saku celana jeans. Rambut poni blonde Jaehwan tampak menjuntai di jidat.
"Assalamualaikum, Uzma-ya."
Suara seseorang yang menyapa mengalihkan atensi Uzma. Menengok ke muara suara di depan panggung. Sesaat kemudian kedua netra cokelat tuanya membulat.
Sosok muslimah tinggi semampai di samping Tuan Ahn dengan tampilan pinafore warna putih dan abu-abu, berbalut hijab abu-abu motif bunga. Muslimah itu yang berhasil membuat netra Uzma membulat, familiar dengan beberapa saat lalu ia mendapat sebuah foto dengan deskripsi tampilan tersebut di Instagram, Helwa.
Kemudian Uzma melambaikan tangan dengan mengembangkan senyum.
"Waalaikumsalam, Helwa-ya," jawab Uzma dengan semangat. Aura wajahnya dalam balutan hijab peach-pun berubah semringah nian. Bersegera beringsut ke arah Helwa yang langsung diantar masuk Tuan Ahn.
"Senang, akhirnya kau datang," ucap Uzma seraya langsung memeluk Helwa.
"Aku juga senang, akhirnya bisa bertemu denganmu," sahut Helwa sembari menimpal pelukan Uzma.
Terselang Jaehwan nimbrung ke mereka bertiga--masih ada Tuan Ahn. Berkenalan singkat dengan Helwa. Kemudian Uzma menyilakan Helwa duduk.
"Jaehwan-ie, Appa ingin bicara denganmu," interupsi Tuan Ahn ketika Jaehwan hendak melangkah nimbrung ke meja Uzma dan Helwa.
"Oh, baik, Appa," jawab Jaehwan setelah menengok ke belakang. Beralih mengekori ayahnya yang sudah enyah duluan, duduk di salah satu kursi yang lumayan jauh dari Uzma dan Helwa.
Jaehwan mengambil posisi duduk di depan ayahnya. "Ada apa, Appa?" tanyanya kemudian.
"Appa cukup terkejut, rupanya kau masih melakukan hal bodoh di masa lalu itu," ungkap Tuan Ahn dengan raut muka tertekuk samar.
Bergeming sesaat, Jaehwan menenggak salivanya. "Aku sudah terlalu nyaman, Appa. Aku justru merasa ketergantungan dari waktu ke waktu. Aku ....," Jaehwan mengambangkan ucapannya. "Aku terus melangkah lebih jauh dengan kebodohan ini. Mianhaeyo, Appa."
"Jangan minta maaf kepada Appa. Minta maaflah kepadanya," sangkal Tuan Ahn dengan kedua tangan yang disilangkan ke dada. Menyempatkan melirik sesaat ke meja seberang, meja Uzma dan Helwa.
Mendengar sanggahan ayahnya, Jaehwan menunduk sesaat. Berlanjut mengikuti alur lirikan ayahnya ke arah Uzma dan Helwa yang tampak sedang mengobrol seru. Menjadi melamun sadar, jika langkah awal yang dilakoni beberapa tahun lalu itu sungguh salah. Ia ingin segera meninggalkan langkah itu setelah apa yang diinginkan di masa lalu akhirnya tercapai. Namun, nyatanya dirinya semakin ketergantungan, tidak bisa melepaskan begitu saja, seperti orang yang sudah tercandu narkoba.
Sulit sekali meninggalkan langkah bodoh itu. Jaehwan sadar benar. Pada akhirnya, semua ini akan berakhir menyakiti seseorang yang amat berharga untuknya.
Jaehwan masih menatap lamun ke arah Uzma dan Helwa dengan Tuan Ahn bahkan sudah meninggalkan dirinya sendirian di meja mereka. Ia masih meratap jika meninggalkan langkah bodoh yang semakin membuatnya nyaman ini adalah sebuah hal yang tidak ingin dilakukannya sekarang. Sebab ia masih sangat membutuhkannya.
Benar. Jaehwan masih sangat membutuhkan langkah bodoh itu. Karena dengan langkah bodoh itu, ia menjadi melihat sesuatu yang seharusnya tidak bisa ia lihat. Karena dengan langkah bodoh itu, ia menjadi paham akan perasaan yang seharusnya tidak bisa dirasakannya. Karena dengan langkah bodoh itu, ia menjadi tahu benar perihal satu hal yang selalu ingin dirinya perhatikan, walau ia tetap tidak bisa berbuat lebih dari hanya sekedar "pura-pura tidak tahu".
Mendadak perasaan Jaehwan menjadi rancu antara kesal dengan pedih sendirian. Ia mengepalkan sebelah tangannya yang berada di atas meja dengan masih menatap Uzma dan Helwa yang kini tampak tertawa renyah bersama. Hingga ayahnya kembali, menginformasikan sesuatu, mengalihkan atensinya.
"Sudah saatnya kau mengisi panggung musik, Jaehwan-ie."
***
Wink Cafe dikonsepkan untuk tempat nongkrong di malam hari dengan pertunjukan musik setiap jam 9 malam hingga 11 malam. Buka mulai jam 6 sore dan tutup jam 2 dini hari. Ini pula adalah salah satu kafe burger yang ramah untuk dikunjungi oleh Muslim. Pasalnya masuk dalam kategori kafe Muslim-Friendly; kafe yang menyajikan menu halal, tapi masih menyediakan minuman beralkohol. Tak luput, juga terdapat tempat salat.
Jaehwan, Uzma, dan Tuan Ahn pun pulang jam setengah 12 malam. Setengah jam setelah Helwa pamit, dijemput oleh suaminya.
"Sudah kuduga, Helwa adalah pribadi yang sangat hangat," gumam Uzma setelah masuk ke kamar, melepas sling bag-nya dan meletakkannya ke atas nakas. Senyumnya mengembang.
Jaehwan yang baru saja mendaratkan pantatnya ke pinggiran kasur menginterupsi, "Kenapa kau bisa mempercayai Helwa sebegitunya, Yeobo?"
Pertanyaan suaminya barusan berhasil membuat Uzma mengangkat sebelah alis. Gerakan kedua tangannya yang tengah mencoba melepas bros di hijab tertahan. Menengok ke arah Jaehwan.
"Mwo?" sahut Uzma. Ia merasa bingung dengan ucapan Jaehwan.
"Bukankah kau kenal dengannya di medsos? Kenapa kau begitu bisa percaya dengannya hingga menjadi sosok sahabat, bukankah itu aneh?" Jaehwan menyelidik lagi. Nada bassnya berhasil membuat Uzma menaikkan sebelah alis.
"Aneh? Apa yang aneh dengan pertemanan kami, Yeobo? Karena lewat medsos begitu? Kau tidak percaya Helwa orang baik dan bisa dipercaya, hmm?" Balik menyelidik, Uzma meneruskan gerakan melepas bros dihijabnya.
Masih menatap Uzma, Jaehwan mengangguk pelan.
Uzma memilih meletakkan bros ke nakas dahulu, baru menengok ke arah Jaehwan dan menimpali.
"Rupanya kau orang yang cukup siaga seperti Sabina. Dia juga menganggap aneh pertemanan kami. Namun, bagiku tidak, mau mengenal seseorang lewat medsos atau tidak itu bukan suatu masalah. Kau tahu? Aku mempunyai insting yang kuat, Yeobo. Aku bisa memilih teman dengan instingku ini. Aku percaya dengan apa yang kurasakan. Helwa membuatku merasa nyaman selama ini dan barusan memang cukup terbukti, dia wanita yang baik. Jadi, apalagi yang dipermasalahkan, hmm?"
Jaehwan membisu. Bermonoton menatap Uzma. "Tidak ada," sahutnya kemudian.
"Kau tahu, apa yang sedang diresahkanku sekarang, Yeobo?" alih topik Uzma masih menatap Jaehwan dengan berdiri.
Jaehwan tampak mengerutkan kening, berpikir. Namun, ia tidak menemukan apa pun tentang keresahan Uzma. Hingga akhirnya menggeleng pelan.
"Aku sedang curiga denganmu," ungkap Uzma dengan tatapan berubah menajam.
Ungkapan Uzma itu berhasil membuat Jaehwan tertegun, seketika ia menjadi beku.
"Aku masih curiga denganmu. Saat aku menemukan ukiran namaku di sarung tangan hitam Ant-Man bertanggal enam tahun lalu itu. Lalu kau mendadak jadi membawanya pulang," keluh Uzma, "Ya! Itu aneh. Itu mencurigakan, Yeobo." Wajahnya semakin tampak masygul dengan hijab yang sudah terbuka, memamerkan leher jenjangnya.
Saat ini, Jaehwan sungguh benar tengah merasa diadili. Mendadak tak bisa berkutit apa pun. Satu rasa yang kini tengah merasukinya. Cemas.
"Tapi aku bohong," lanjut Uzma, ia hanya sedang ngejaili Jaehwan saja. Ia tertawa renyah.
Jaehwan langsung tampak linglung dengan tetap bergeming kaget kesaksian Uzma selanjutnya, hingga perlahan bibirnya mengerucut dengkus.
"Nakal sekali kau, Yeobo!" cicitnya, mencoba tampak kesal dengan sesakan dada melonggar.
Uzma masih tertawa ringan dengan sebelah tangan menutupi mulut.
"Wajahmu tadi menjadi kusut sekali. Aku tidak bisa untuk tidak menahan tawa terlalu lama," saksinya. Lalu tertawa renyah lagi.
"Ya!" Jaehwan hanya memilih decakan singkat itu dengan dada semakin terasa plong.
Uzma sudah tak acuh dengan melepas hijab dan ke kamar mandi untuk bebersih diri sebelum tidur.
"Mianhae," pinta Uzma yang tetiba membuka pintu kamar mandi dengan melihatkan kepalanya dengan rambut sudah tercepol ke arah Jaehwan yang masih duduk di tempat yang sama.
"Hmm," singkat Jaehwan dengan muka dibuat masam, pura-pura kesal. Berhasil membuat Uzma tertawa renyah singkat sebelum menutup pintu kamar mandi.
***
Halo, Jaehwan Hyeong.
Kenapa kau masih mendiamkanku? Kau tahu, aku merasa begitu kehilangan sosok yang bisa dipercaya selama tiga hari ini.
Mianhae, aku tahu kau sangat marah kepadaku. Tapi kupikir, kau akan memaafkanku.
Nyatanya, aku sungguh salah. Kelakuanku kemarin itu sungguh di luar batas. Membuatmu membenciku. Iya, itu memang pantas untukku.
Jujur, aku ingin sekali berubah, Hyeong. Namun, keluar dari semua ini sungguh sulit, pula menyakitkan, apalagi terapinya Tuan Kim, aku membencinya.
Ketika aku mendengar hipnoterapi klinis ajuanmu dan disetujui Jingmi Hyeong, itu membuatku sedikit lega. Namun, aku tetap ragu, apakah aku sungguh bisa?
Hyeong, aku merasa lelah dengan semua keadaan yang menimpaku. Mianhae, aku tidak bisa menjadi sosok Changyi yang normal. Aku tidak bisa menjadi sosok Changyi yang tidak memalukan. Aku putus asa. Aku merasa aku tidak bisa keluar dengan cepat seperti yang Jingmi Hyeong mau. Aku tidak bisa.
Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kau berikan kepadaku, Hyeong. Mianhae, aku berkali-kali membuatmu kecewa, hingga kemarin yang paling mendalam. Aku ini memang sungguh terkutuk.
Aku sudah lelah dengan seluk beluk rasa dalam dunia ini. Aku ingin menyamankan orang-orang yang kusayangi yang berada di sekitarku dengan melesapkan diri ini yang sungguh tidak berharga. Aku ingin membuat kau bahagia. Begitu dengan Jingmi Hyeong dan Mayleen Noona. Pula mendiang ayah dan ibu yang sudah pergi dari dunia ini lebih awal. Dan mereka, guru-guru dan teman-temanku di BHS yang selalu risih denganku.
Jaehwan Hyeong, jaga baik-baik kedua kakakku, ya? Katakan pada mereka, aku menyayangi mereka, bukan sebaliknya seperti yang mereka asumsikan. Sampaikan pula maafku untuk mereka.
Gomawo ....
Mianhae ....
Selamat tinggal, Jaehwan Hyeong.
Dalam keremangan lampu kamar, tubuh Jaehwan tampak mengejang dengan raut muka cemas berlebihan dengan kedua netra yang masih memejam. Kening dan lehernya berpeluh. Hingga sesaat kemudiaan ia tersadar dengan badan yang diangkatnya tanpa terasa, menjadi duduk berselonjor dalam balutan bed cover abu-abu, berteriak.
"Jangan lakukan itu, Changyi-ya! Jebal!"
Teriakan itu berhasil membuat Uzma yang tidur lelap di samping Jaehwan kaget. Mengerjap perlahan.
"Ada apa? Gwaenchanha?" selidik Uzma setelah berhasil mengangkat tubuh mungilnya, duduk seperti Jaehwan, menatap ke arah suaminya yang bernapas sengal-sengal.
Jaehwan belum bisa mengacuhkan Uzma, ia kalut sendirian akan mimpi suara Changyi barusan. Setelah kecemasan di alam mimpi, kini dirinya merasa ketakutan di alam sadarnya. Kenangan-kenangan di lima tahun lalu menghantuinya lagi. Bahkan, hingga mimpi lama itu bisa hadir kembali setelah sekian lama, ini membuatnya frustasi.
Jaehwan meremas bed cover dengan kedua tangannya, mulutnya meringis menahan sesak di dada. Ia merasa tertekan sekali. Suara Changyi bertalu-talu lagi dalam kepalanya, hingga sampailah pada satu kalimat yang mampu menyayat hatinya lebih dalam.
'Hyeong, aku merasa lelah dengan semua keadaan yang menimpaku.'
Kalimat itu menyayat sekali, hingga menyentuh rasa pilu untuk dirinya sendiri. Menjawab dalam benaknya.
'Sama, Changyi-ya. Aku juga lelah dengan semua keadaan yang menimpaku kini. Aku lelah untuk terus berpura-pura, tapi aku tak berdaya untuk menghentikannya'
______________
Translate:
Appa: ayah (non-formal)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro