02. Bukan Yusuf
Sesampai di kamar asrama, Uzma langsung merebahkan tubuh mungilnya ke kasur berbalut seprei warna tortilla. Menghempaskan napas panjang seraya menatap langit-langit kamar.
"Tadi berasa nyata banget kalo dia itu Yusuf, Bin. Suara bassnya, aku paham bener," ungkap Uzma sembari masih bermonoton menatap langit-langit kamar.
Sabina, teman seangkatan kuliah sekaligus teman sekamar Uzma si pemilik marga Siregar itu tengah menaruh sling bag-nya ke atas meja belajar. Lalu beringsut duduk di pinggiran kasurnya yang berletak sejajar dengan kasur Uzma, berjarak kisaran dua meter.
Kamar di dorm ini adalah salah satu akomodasi kampus yang diberikan kepada mereka berdua secara gratis karena lolos masuk universitas dengan mode EGPP--Ewha Global Partnership Program. Beasiswa ini menanggung biaya hidup, biaya kuliah, serta tempat tinggal. Setiap kamarnya pun disediakan dengan fasilitas cukup lengkap; selain tempat tidur dan kamar mandi, dilengkapi juga dengan meja belajar, telepon ekstensi, akses gratis internet, hingga kulkas mini. Belum lagi fasilitas umum asaramanya yang juga tak kalah memadai; dapur dan tempat makan, ruang cuci, ruang belajar, toko, pusat kesehatan, hingga tempat fitnes.
Sedangkan, teman Indonesia lainnya yang barusan berjalan-jalan bersama mereka berdua, Namira dan Nazel, mengambil mode ISS--International Student Scholarship. Beasiswa ini hanya menanggung biaya kuliah. Jadi mereka berdua tinggal di hasuk atau kos-kosan jika menyebutnya di Indonesia.
"Bisa jadi iya, bisa jadi nggak. Pemilik suara bass nggak hanya Yusuf kali, Uzma." Sabina rupanya justru mengasumsi demikian.
"Tapi kalopun sama-sama punya suara bass, pasti punya kekhasan sendiri, Bin. Dan suara barusan beneran banget khas-nya Yusuf, suami halu aku," Bibir kenyal Uzma tetap meliuk ucap, kukuh menguatkan dugaannya, lalu beralih mengerucut cemberut.
Sabina menggeleng kepala pelan.
"Walloohu a'lam, Uzma." Lalu merebahkan tubuhnya pada kasur, ia lelah. Pula tak tertarik dengan percakapan, soalnya ia bukan sosok fangirl K-Pop layaknya Uzma.
Uzma melirik ke arah Sabina yang kini merebahkan tubuh, lalu melepas bros di hijab warna merahnya, menanggalkan kain hijab dari kepalanya, memamerkan rambut hitam sebahunya yang lurus.
Uzma masih menatap wajah Sabina yang ketimuran--turunan dari ibunya yang mengalir darah Jordania. Wajah yang sebenarnya kerap membuatnya kagum akan pahatan yang ada dengan kontur oval, mata besar seperti bentuk almond dengan sepasang kelereng amber, hidung mancung, alis tebal tinggi melengkung, bibir berisi dengan garis bibir tebal. Diselaraskan dengan kulit putih cerah dan tubuh tinggi proposional dengan bentuk seperti jam pasir.
Sempurna. Satu kata itu yang selalu Uzma simpulkan atas kekagumannya pada sosok Sabina akan fisik itu, begitu menawan, bahkan untuk kalangan dirinya sendiri yang sesama kaum hawa.
Sesaat kemudian, Uzma mengucap istighfar dalam benaknya. Perihal kenapa menjadi begitu. Kagum pada Sabina, tapi ujung-ujungnya menjadikan dirinya insecure pada diri sendiri, melihat dirinya tak seberuntung Sabina dengan fisik menawan itu. Menjadi kurang bersyukur.
'Astagfirullah!' Uzma beristighfar berulang-ulang dalam hati.
Semua manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan. Tak ada yang sungguh sempurna. Adanya manusia terlihat sempurna di mata manusia pula tak luput dari karunia Allah yang masih menutup cela. Untuk apa dikeluhkan jika satu kekurangan melekat pada diri sendiri sedangkan tidak untuk orang lain. Untuk apa diresahkan, adanya tetap harus disyukurkan karena semua itu bukankah akan tetap terasa nikmat jika kita pandai bersyukur, ya?
Uzma menukik senyum untuk mengenyahkan perasaan kurang baik dalam benaknya. Hingga saat dirinya lengah memperhatikan Sabina, kini justru gadis asal Medan itu yang memperhatikannya.
"Kenapa kamu senyum-senyum nggak jelas gitu, heh?!" Mata amber Sabina menyelidik.
Uzma kelabakan, mengoreksi letak bibir tipisnya agar cepat kembali ke letak semula dengan normal.
"Nggak, Bin. Cuman aja--"
"Kenapa? Masih ngebayangin suara bass itu yang nabrak kamu di restoran bulgogi, hm?" interupsi Sabina. Ia tersenyum meledek.
Uzma mendengkus. "Nggak tahu deh. Tapi kalo benar bukan dia, sumpah, dia lancang banget genggam sebelah tangan aku, Bin," jawabnya seraya mengangkat sebelah tangan itu ke depan wajah. Mengamat dengan melanglang kenangan--bagaimana sentuhan hangat kedua telapak tangan lelaki penabrak--dalam serebrum.
"Dan akhirnya kamu ngutuk kalo cowok itu bukan Yusuf, tapi sebaliknya kalo cowok tadi benaran Yusuf Jaehwan, kamu justru aduhai riang sampai tremor, baper sampai kejedug, kebanting sampe langit ketujuh. Terus kamu senyum-senyum, terus sambil bayangin, sampai bibir kamu mau sobek," sarkas Sabina, malah berhasil membuat Uzma tertawa.
Dengan renyahan tawa, Uzma beringsut duduk bersila menghadap Sabina.
"Itu benar, Bin. Maafin aku. Aku emang semunafik itu." Tertawa renyah lagi.
Sabina mendengkus. Lalu tertawa juga.
"Coba kamu periksa. Barangkali hari ini Si Ucup posting apa gitu di Instagram. Kita bisa cari petunjuk kalo dia posting; kalo dia emang Yusuf atau Jaehwan." Sabina beringsut meraih ponsel di sling bag yang berada di meja belajar dan duduk di kursinya.
"Yusuf atau Jaehwan? Itu satu orang, Bin," sela Uzma. Ia mulai melepas hijab warna nude-nya.
Sabina tertawa lagi. "Iya-iya. Dibawa serius amat. Bercanda aku, Bestie." Jemarinya mulai membuka ikon Instagram.
Kisaran lima menit, Sabina tak menemukan postingan terbaru apa pun perihal Jaehwan hari ini. Adanya ia justru menemukan postingan terbaru Bora, member satu grup dengan Jaehwan. Member Dazzle yang ia suka karena selera humor yang tinggi, wajah imut dengan gaya nyentrik sepasang mata ber-eyeliner.
Jangan salah, sekalipun Sabina bukanlah seorang fan K-pop, tapi karena dirinya berteman dekat dengan Uzma, ia jadi lumayan tahu dan paham perihal satu boygrup populer ini. Jelasnya lewat cerita-cerita Uzma, merambah ke batinnya sendiri yang kepo dengan tindakan mengikuti Instagram mereka, menilik You Tube, pula langganan lagu mereka di Spotify. Lama-lama menjadi candu juga memang.
Sesaat kemudian, setelah Sabina like postingan Instagram Bora, notifikasi jika akun Instagram Jaehwan sedang melakukan siaran langsung mengalihkan perhatiannya.
"Uzma!" terik Sabina secara otomatis.
"Yusufmu live Instagram nih!"
Uzma yang tengah menyikat gigi di kamar mandi, mendengar teriakan lantang Sabina, cepat-cepat berkumur, lalu bergegas ke titik Sabina berpijak--duduk di depan meja belajarnya.
"Topi item, kemeja merah kotak-kotak ama garis item, celana jeans biru, lalu sneakers putih," ucap Uzma penuh semangat selama beringsut keluar dari kamar mandi. Mendeskripsikan detail perihal outfit si penabrak yang diyakininya Jaehwan.
"Topinya jenis apa? Si Ucup pake beanie nih."
"Beanie?" ulang Uzma yang baru sampai di belakang tubuh Sabina.
"Iya. Beanie."
"Kalo cowok itu pake baseball cap, Bin." Nada bicara Uzma mulai melesu dengan mencoba menatap layar ponsel Sabina yang tengah dipegang gadis ketimuran itu.
"Ya udah deh. Selamat! Yang pegang tangan kamu di restoran itu cowok gatel. Hahaha ...." Sabina tertawa kencang sekali.
Melenguh lesu, Uzma memilih beringsut memakai kaca matanya, meraih ponselnya di atas meja belajar sendiri, duduk di kursi, menilik Instagram.
Uzma mengerucutkan bibir tipisnya. Ber-huh lemah.
Benar. Rupanya Uzma memang terlalu berharap lebih. Kini ia dapat menangkap jelas bagaimana sosok Jaehwan yang mengenakan outfit sungguh kontras dengan lelaki si penabrak barusan di restoran bulgogi. Tertawa renyah bersama Sejoon, bercerita bahwa dirinya baru saja menghabiskan liburan Chuseok di Busan dengan keluarga. Kembali ke dorm dengan membawa oleh-oleh songpyeon untuk member lain yang tidak bisa pulang kampung.
"Ternyata emang bukan Yusuf, si ayang halu aku, penyemangat hidup aku," gumam Uzma seraya membenahi letak kaca matanya. Lalu beberapa saat kemudian, dirinya menilik DM Instagram setelah live Instagram Jaehwan yang mengikutsertakan Sejoon usai.
Jemari Uzma menyentuh salah satu ikon akun yang mengirimnya DM. Membacanya perlahan deretan kata dengan aksara hangeul yang terlampir.
Menggeleng pelan. Dahi lebarnya mengerut.
"Nggak! Ini nggak mungkin!" sergah Uzma. Mendadak ia berubah was-was dengan sepasang netra cokelat tua yang masih mengilat ke arah layar benda pipih yang tengah dipegangnya.
"Ada apa kamu? Masih nggak percaya cowok itu bukan Si Ucup?" Disusul pertanyaan Sabina. Namun, si pemilik tubuh mungil itu tetap apatis. Tambah tampak resah.
_______________
Notes:
Hangeul: penyebutan nama alfabet Korea yang berjumlah 40 karakter.
Songpyeon: kue beras.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro