Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. KONTRAS🍵

- Dedemit -

🍵🍵🍵

“Aku tidak tahu rencana apa di balik semua ini. Tapi aku percaya, semesta telah mengatur semuanya.”
- Kontras -

Risha terdiam mendengar ucapan itu. Seketika otaknya berpikir keras. Berbagai spekulasi banyak bermunculan dari sana. Namun, ia tetap enggan menyuarakannya.

"Nduk, besok Fata udah pulang pasti, kan?"

Mendengar suara itu, seketika Risha mengerjapkan matanya. "Sampun kayanya, Mbah. Tapi ndak tau besok berangkat apa enggak," jawabnya. Teringat Ardan yang saat ini tengah pentas di luar kota.

"Cah kae. Biasanya ngelibur," ujar Mulyadi-Mbah Kakung Risha-sembari terkekeh.

Risha ikut terkekeh. Ia sangat senang mendengar suara tawa simbahnya. Sangat berbanding terbalik saat beliau marah seperti kemarin.

"Yaudah, besok Mbah antar jemput lagi aja, ya."

"Oke, Mbah."

Tidak terasa, perjalanan mereka akhirnya telah sampai di pekarangan rumah.

Risha segera turun dari motor. Pandangannya melihat banyak sekali motor tanpa pemiliknya terparkir di halaman rumah sang sahabat. Letak rumahnya dengan rumah Ardan yang memang berhadapan membuat gadis dengan rambut dikucir kuda itu dapat melihat dengan jelas apa yang ada di sana.

Rumah itu tampak sepi. Hanya terlihat satu dua orang saja yang berkeliaran di sana. Sepertinya, rombongan anak barongan baru akan datang bila dilihat dari makanan-makanan yang sudah tersaji di teras rumah itu.

"Mbah Mul!"

Suara sapaan terdengar dari arah rumah Ardan. Membuat pria berusia lebih dari setengah abad itu menjadi membalikkan langkah yang tadinya hendak memasuki rumah.

"Eh, piye, Jo? Barongan anakmu kayanya tahun ini laris banget, ya?" kata Mulyadi saat melihat Paijo-ayah Ardan-berjalan ke arahnya.

"Alhamdulillah, Mbah. Berkat doa Panjenengan juga." Paijo terkekeh. "Eh, baru pulang ya, Nal?" lanjutnya saat melihat Risha mengulurkan tangan hendak menyalaminya.

"Iya, Pak De," jawab Risha. "Eh, Fatanya belum pulang, ya?" lanjutnya basa-basi. Walaupun Paijo sudah kenal Risha serta keluarganya sudah lama, tetapi Risha masih saja tetap sungkan bila bertemu dengan pria berusia 40 tahun itu.

"Bentar lagi katanya."

"Oalah ...." Risha manggut-manggut. "Yaudah, Nala masuk duluan ya, Pak De."

"Oh, iya, Nduk."

Setelah berpamitan, Risha pun berbalik, lalu berjalan memasuki rumah. Sepi. Sepertinya, adik serta simbahnya tengah berada di kamar saat ini.

Risha berjalan tanpa memedulikan sekitar. Ia masuk ke kamar, lalu kembali keluar dengan handuk biru muda sudah tersampir di pundak.

Gadis berkulit kuning langsat itu kemudian memasuki kamar mandi bercahaya temaram. Sebelum masuk, tangannya terlebih dahulu bergerak menyampirkan handuk miliknya ke pintu kayu. Tidak ada kapstok di dalam sana.

Tidak perlu membutuhkan waktu lama, Risha kini sudah kembali keluar dari kamar mandi. Jujur saja Risha takut berlama-lamaan di dalam tempat lembap itu. Apalagi di waktu setelah magrib seperti ini. Pikirannya yang memang suka paranoid sendiri semakin menjadi-jadi saja.

"Lho, udah pulang, Nduk?" tanya Marsinah saat melihat Risha keluar dari kamar mandi.

"Iya, Mbah. Nanas pikir Mbah Uti udah tidur, tadi," ujar Risha sambil nyengir. Tentu itu hanya alibinya saja. Tidak mungkin simbahnya tidur di waktu magrib seperti ini.

"Halah, bilang aja males ketemu adikmu," celetuk Marsinah. Membuat gadis berlesung pipi itu seketika tertawa.

"Bukan males ketemu, Mbah. Cuma males berantem aja," jawab Risha. Kakinya melangkah ke ruang tengah, mengikuti langkah simbahnya. "Sekarang Tiaranya ke mana? Tidur?" lanjut Risha.

"Iya. Dari tadi ngerengek minta krayon baru, tuh."

Mendengar itu, Risha sontak mendengkus. "Makanya jangan manjain Tiara terus, Mbah. Bisa kebiasaan nantinya. Kalo dia minta sesuatu pas kita ga punya uang gimana? Sekarang aja kita lagi begini, kan?"

"Lha gimana? Kalo ndak diturutin nanti dia nangis."

"Nah, itu ...."

Ucapan Risha terpotong oleh suara familiar yang bersanding dengan suara Mulyadi-seperti tengah berjalan ke arahnya. Risha mendengkus. Gadis itu lalu bangkit dari duduknya.

"Ke mana, Nduk?" tanya Marsinah.

"Kamar, Mbah. Orang itu dateng."

🍵🍵🍵

Pukul satu malam, seseorang terlihat mengendap-endap di sebelah rumah berdinding kayu. Di tangannya terlihat cahaya flash menyala dari ponsel yang ia bawa.

Setelah dirasa aman, cowok itu pun berhenti. Lampu flash yang tadi nyala pun dimatikan. Cowok itu kemudian terlihat membawa ponselnya ke sebelah telinga.

"Halo ...."

Suara parau dari ponsel itu akhirnya menyapa telinga, setelah lima kali hanya operator yang menjawab.

"Halo ... siapa?" tanya orang itu lagi saat tidak mendapati jawaban.

Sepertinya, orang di seberang sana hanya asal menjawab tanpa melihat siapa yang ada di panggilan.

"Buka jendela."

Hening.

Tidak lama setelah keheningan itu, jendela kayu yang berada di samping cowok itu berdiri terdengar seperti akan dibuka.

"El!" pekiknya.

"Sst!" Ardan yang tadinya berada di samping jendela seketika menjadi berada di depan Risha berdiri. "Nala jangan berisik!" ucapnya dengan jari telunjuk berada di bibir.

"El kamu ngapain? Kamu gak mabuk, kan? Kok jam segini belum tidur?" Risha bertanya bertubi-tubi saat melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya itu menunjukkan hampir pukul setengah dua dini hari.

"Gimana keadaanmu?" Bukannya menjawab, Ardan malah balik bertanya. Membuat Risha membulatkan matanya.

"Jawab dulu pertanyaanku, ih! Kebiasaan!"

Cowok berambut acak-acakan itu terlihat menghela napas. "Ya kali orang mabuk bisa lewat jalan sempit kayak gini," ketusnya. Ardan lalu menghela napas. "Aku ke sini cuma mau lihat keadaan kamu aja. Lagian rumah kita juga hadap-hadapan."

Risha memutar bola mata malas. "Aku baik-baik aja, El. Jangan lebay, deh."

"Bukan lebay. Takutnya kamu ngelakuin hal aneh aja gitu." Mengingat masalahmu akhir-akhir ini.

Risha hendak memukul kepala Ardan yang berada di hadapannya. Namun, cowok itu berhasil menghindar terlebih dahulu.

"Enggak kena," ledeknya dengan lidah menjulur. Membuat Risha seketika ingin keluar lalu menjambak rambut ikal cowok itu.

"Ish, kamu pulang aja, deh! Malem-malem ganggu orang tidur aja!" ketus Risha dengan muka garang, "lagian yang lain pada tidur kenapa kamu malah keluyuran, sih? Jangan-jangan kamu dedemit, ya?" Risha berucap was-was.

"Nggak ada demit bagus kayak aku. Yang ada, demitnya minder lihat aku."

Risha memutar bola mata jengah. Beneran bukan dedemit yang ada di hadapannya. Namun, jelmaan kalong pede-lah yang kini ada di sana.

"El, aku pukul, ya, kamu besok!" ancam Risha. Matanya melotot. "Kalo sama orang aja sok dingin. Eh, padahal aslinya cerewet, ga punya urat malu, suara toa, lagi!" cibirnya.

Ardan melotot. "Porah!" ketusnya.

"Ih, El, serius. Udah mau pagi juga ini. Ada apa?" tanya Risha setengah merengek. Rasa kantuk masih menyerangnya.

Seketika Ardan bergeming. Cowok berkaus polos itu seketika bergulat dengan pikirannya. Ia ingin bertanya. Ia ingin memastikannya. Namun, saat melihat wajah lelah dari gadis di hadapannya, Ardan jadi tidak tega ingin mengatakannya.

"Gak jadi." Kata itulah yang akhirnya terlontar dari mulutnya. Membuat Risha seketika membulatkan mata.

"Lah, edan!" ucap Risha tidak habis pikir.

"Besok aja."

Risha mengernyit. "Kenapa enggak sekarang? Uwes nanggung iki lho. Aku wes ora ngantuk."

"Aku yang ngantuk," ucap Ardan sambil pura-pura menguap.

"Ah, yo wes. Sana pulang! Ganggu aja!"

Bukannya marah, Ardan malah terkekeh. "Ganggu? Tenane ...," godanya, "padahal besok aku mau sekolah, lho. Engga mau bareng? Siapa tau ketemu Nofal."

"Ah, porah! Udah sana pulang! Pulaaang!"

Keterangan:
- Panjenengan: kamu untuk orang yang lebih tua
- Porah: biarin
- Edan: gila
- Bagus: bagus di sini artinya ganteng
- Iki: ini

———

©Wishasaaa
26 Juli 2020
Repub: 25 September 2020

Jangan lupa jejaknya ya :")
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro