7. KONTRAS🍵
- Awal Mula -
🍵🍵🍵
"Masa lalu itu penentu. Terkadang, maaf yang kita lisankan tak sejalan dengan hati. Membuat luka kecil kembali melebar saat tak sengaja terusik."
- Kontras -
"Putri, pinjem bukumu, ya. Nanti aku balikin. Sebentar, kok." Risha berkata sambil mengambil buku yang pemiliknya tengah berada di toilet itu, secara diam-diam.
Tangannya segera membawa benda itu ke tempat duduk yang langsung disambut antusias.
"Mantap, Rish!" sambut Laura dengan kedua jempol terangkat.
"Woiya dong! Eh, cepetan tulis, Ra! Aku awasi di depan pintu, ya!"
"Siap! Kalo Mput dateng kamu kode, ya!"
"Beres!"
Setelah berkata demikian, Risha langsung melangkahkan kakinya menuju ke pintu kelas. Keadaan yang ramai membuat ia bisa dengan mudah mengambil buku si Juara Kelas yang pelit ilmu itu.
Hari ini kelas Risha sedang ada jam kosong. Pak Bejo, guru Matematika yang seharusnya mengajar, sedang ada urusan mendadak di luar kota.
Satu kelas girang? Tentu. Namun, jangan harap Pak Bejo membiarkan anak didiknya bernapas dengan lega begitu saja. Sepuluh soal beranak masing-masing dua pun ia berikan dengan dalih agar anak didiknya bisa belajar mandiri.
Belajar mandiri bagaimana? Lha wong diajarin aja pasti pada ngantuk. Ini malah disuruh mandiri. Jadilah, nyontek menjadi jalan ninja kaum ngantukan seperti Risha.
Kepala Risha terlihat celingukan was-was. Matanya melirik teman-teman kelasnya yang kali ini terbagi menjadi beberapa kelompok di meja-meja tertentu-yang tentunya, meja itu milik seseorang yang dianggap pandai dalam Matematika.
"Rish, wes!" teriak Laura dari bangkunya.
Risha yang tengah fokus menatap ke luar kelas seketika menoleh ke arah gadis itu. Kakinya langsung berlari kembali ke bangkunya.
"Udah, Ra?" tanyanya.
"Udah, dong! Balikin, gih."
Risha mengambil buku milik Putri untuk dikembalikan ke tempat semula. Ia melihat teman-temannya terlihat kalang kabut menyontek satu sama lain. Tidak ada yang berani mengambil buku Putri, karena, mereka tidak paham dengan tulisan gadis berkacamata itu.
Sebuah ide seketika muncul di kepala Risha. Gadis itu menjentikkan jari dengan seringaian menghiasi bibirnya.
Risha melangkah keluar kelas. Detik berikutnya, ia kembali berlari secepat kilat masuk ke dalam.
"BALIK BANGKU, WOY! PAK KEPSEK TEKO! PAK KEPSEK TEKO!" teriaknya sambil berlari masuk.
Semua teman-temannya terlihat kalang kabut kembali ke tempat. Terdengar grasah-grusuh bunyi bangku yang ditarik secara tidak sabar oleh pemiliknya.
"Woy, woy. Meneng, woy!" Ketua kelas menginterupsi. Membuat kelas mendadak hening seketika.
Risha yang sudah duduk di bangkunya tampak memegang perut kuat-kuat. Bibirnya mengatup rapat. Berusaha meredam tawanya sekuat tenaga.
"BHAHAHAHAHA!"
Sial! Risha tidak kuat. Tawanya seketika menyembur saat melihat teman-temannya mendadak duduk rapi seolah anak rajin di bangkunya masing-masing.
Semua pandangan menoleh ke arah Risha. Dahi mereka mengernyit curiga.
Salah seorang cowok berbadan tinggi yang duduknya berada di sebelah jendela berdiri sambil melihat ke luar. Kepalanya terlihat celingukan.
"KAMPRET! GAK ONO SOPO-SOPO, WOY!" teriaknya. Membuat satu kelas seketika menyoraki Risha yang tengah terbahak di bangkunya.
Bahkan saking kesalnya, banyak yang sampai meloncat dari bangku dan langsung berlari ke arah Risha guna menjitak kepala gadis itu.
"Pengen gorok koe aku, Ris!" geram Laura. Membuat Risha kembali menyemburkan tawanya.
🍵🍵🍵
"Untuk mengakhiri latihan kita sore ini, berdoa ... mulai."
Semua anggota Paskibra menundukkan kepala setelah mendengar instruksi itu.
"Selesai," ucap orang itu lagi. Membuat semuanya mendongakkan kepala.
"Silakan kalian bisa kembali ke rumah masing-masing. Yang bawa kendaraan, naik angkutan umum, maupun dijemput sama orang tua, hati-hati, ya. Jangan lupa selalu berdoa. Sampai jumpa!" ucap Pak Sidiq-pelatih Paskibra-sebelum pergi meninggalkan anak didiknya.
Semuanya membubarkan diri. Ada yang langsung berlari ke parkiran, berlari ke pinggir jalan raya untuk menunggu angkutan umum, dan ada juga yang langsung ke gerbang untuk menunggu jemputan. Risha adalah salah satu yang berada di gerbang itu.
"Rish, dijemput?" tanya Naura, teman Paskibra Risha.
Risha yang tengah berusaha menelepon Mbah Kakungnya itu mendongakkan kepala dari ponselnya. "Iya, Nau. Kamu dijemput juga?" tanyanya
"Iya, nih. Lagi otewe katanya."
"Cie ... dijemput Mas Pacar, ya?" tanya Risha menggoda.
Gadis berkulit putih itu tertawa. "Sekalian, Rish. Dia juga baru pulang katanya."
"Hahaha, iya, deh. Iya."
Risha kembali mengirim SMS ke simbahnya. Saat gadis itu hendak meletakkan ponsel ke telinga, seorang pria paruh baya dengan motor matic biru yang dikendarai itu berhenti tepat di hadapannya.
Senyum Risha merekah. Mbah Kakung-orang yang ditunggu-akhirnya sampai juga.
"Nau, duluan, ya," ucapnya kepada Naura yang ternyata tengah memandangi simbahnya.
"Eh, iya, Rish," jawabnya dengan senyum kikuk menghiasi bibirnya.
Tanpa menunggu lama, Risha segera naik ke motor matic itu.
"Uwes?" tanya pria paruh baya itu.
"Sampun."
Motor pun akhirnya melaju di jalanan. Kali ini Risha melewati jalan raya. Jalan di tengah sawah yang biasa ia lewati bersama Ardan tidak cukup aman untuk dilewati di jam magrib seperti ini.
Perjalanan keduanya diselimuti keheningan. Masing-masing sibuk dengan pikiran.
Risha mencengkeram kanan kiri jaket yang tengah simbahnya pakai. Udara malam ini sedikit dingin. Ia jadi tidak tega dengan simbahnya-yang harus mengantar pulang-pergi-di usia yang sudah tidak lagi muda.
Risha sudah terbiasa seperti ini. Bahkan, dari kecil ia sudah hidup bersama kedua simbah dari ibunya. Kedua orang tuanya sudah cerai semenjak ia berumur satu tahun dan hak asuh jatuh ke Safitri-ibunya. Jadilah, ia besar bersama keluarga ibunya.
Sifat Mbah Utinya yang penyayang, sekaligus sifat Mbah Kakungnya yang sangat keras, sudah biasa Risha hadapi di setiap harinya.
Safitri sendiri pergi merantau ke negara tetangga untuk mencukupi kehidupan. Sesekali pulang untuk menghapus rasa rindu yang melanda.
Ibu Risha bukan orang yang betah merantau ke satu negara. Ia bahkan sudah keliling ke tiga negara.
Pertama, ke negara Singapura. Saat itu, Risha masih berumur satu tahun dan ibunya pulang saat gadis itu menginjak usia empat tahun. Beliau di rumah hampir lima tahun.
Safitri lalu pergi lagi ke negara tetangga, Malaysia, selama kurang lebih dua tahun. Ia di rumah terbilang lama setelah pulang dari sana.
Saat itu, Risha tengah duduk di bangku kelas tiga SD. Entah bagaimana ceritanya, Safitri tiba-tiba menikah dengan seorang pria yang umurnya lebih muda darinya. Risha tentu tidak terlalu memedulikan hal itu. Karena yang ia rasakan masih tetap sama, kasih sayang kedua simbahnya.
Usia pernikahan Safitri dengan pria itu tidak berlangsung lama. Bahkan, belum genap satu tahun mereka sudah bercerai karena pria yang dinikahi Safitri itu ternyata pemabuk. Ibu Risha kembali menjanda setelah itu.
Karena tidak betah berada di rumah yang menurutnya serba kekurangan, ia pun memutuskan untuk merantau kembali. Kali ini ia mencoba merantau ke Hongkong.
Saat Safitri merantau ke Hongkong, cobaan tiba-tiba menghampiri Risha. Gadis kecil yang saat itu memasuki bangku kelas lima SD itu di-bully oleh teman satu kelasnya. Mereka semua mengejek Risha. Katanya, ibu Risha orangnya suka nikah cerai.
Kata itu terus terngiang di pikiran Risha. Bayangan tentang teman kelasnya yang menyanyikan sebuah lagu, tetapi liriknya diganti dengan kata itu berhasil membuat matanya berair setiap kali teringat. Ditambah lagi dengan tarian yang mereka ciptakan saat mengucapkannya. Sungguh, Risha ingin sekali menyobek mulut laknat mereka saat itu juga.
Hal itulah yang membuat Risha tidak ingin dipanggil Nala. Ia tidak ingin hal itu terulang. Ia tidak ingin menjadi Nala yang hanya diam saja saat ditindas. Ia tidak ingin.
Bahkan, Risha sempat berpikir ingin membuat semua teman dan orang rumahnya memanggil dengan nama "Risha".
Namun, ia sadar, itu tidak mungkin terjadi. Bila mungkin pun, pasti akan sangat sulit dan harus banyak penjelasan supaya mereka bisa mengerti. Itu sangat sulit. Apalagi Risha tipe orang yang sulit mengutarakan masalah yang tengah dialami.
Waktu itu, selama satu minggu Risha mogok berangkat sekolah. Ardan yang saat itu tidak tahu apa yang tengah Risha alami karena ia satu tingkat di atas Risha, juga gadis itu sama sekali tidak cerita, akhirnya hanya bisa terdiam saat Mbah Kakung gadis itu memarahinya.
Ardan hanya bisa menebak-nebak, sampai akhirnya, ia mengetahui fakta yang sebenarnya. Cowok itu pun lantas menceritakan hal itu kepada kedua simbah Risha, yang akhirnya berhasil membuat satu kelas beramai-ramai meminta maaf.
Namun, sayang. Maaf mereka hanya diucapkan saat simbah Risha melabrak saja. Setelahnya, hal yang sama kembali Risha alami.
Ardan yang tiba-tiba berubah posesiflah yang setiap hari menghibur gadis itu. Ia bahkan sampai berani memukuli seorang cowok yang mem-bully Risha.
Perjuangan Ardan pun akhirnya tidak sia-sia. Cowok yang dipukuli itu akhirnya takut sehingga ia bisa membuat teman-teman satu kelas Risha tidak mem-bully lagi.
Safitri kembali pulang saat Risha hendak memasuki bangku SMP. Wanita berumur 38 tahun itu di rumah cukup lama. Saat itulah kisah keluarga baru Risha dimulai.
"Nal, besok Mbah anterin lagi, ya?"
Pertanyaan dari Mbah Kakung Risha itu seketika membuyarkan lamunan.
"Eh, besok Mbah mau ke sawah jauh lagi?"
"Endak. Mbah mau ke bank."
Ket:
Wes: sudah
Teko: datang
Meneng: diam
Ono: ada
Sopo-sopo: siapa-siapa.
Koe: kamu (kasar)
Sampun: sudah
======
©Wishasaaa
7 Juni 2020
Repub: 24 September 2020
Jejaknya, oke👌
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro