4. KONTRAS🍵
- Sisi Lain -
🍵🍵🍵
“Malaikat diri akan terlihat saat merasa nyaman, dan iblis dalam diri juga akan terlihat saat seseorang merasa terancam.”
- Kontras -
Risha, gadis yang masih memakai seragam Paskibra dengan kedua tangan memegang kamera DSLR itu tengah duduk di taman dengan muka jenuh.
Ia terlihat benar-benar sudah lelah untuk sekadar mengambil gambar bersama. Apalagi saat banyak teman cowok seangkatan—bahkan kakak kelas—yang tiba-tiba menjadi sok akrab dengan mengajaknya foto bersama. Apa-apaan, coba?
Risha jadi menyesal tidak langsung pulang setelah bertugas tadi. Batinnya terus menggerutu lantaran ia malah menolak ajakan Ardan untuk pulang bersama.
Harusnya kalau tadi dirinya ikut Ardan, ia pasti sekarang sudah bisa menonton sahabatnya itu pentas di desa seberang, bukannya malah celingukan seperti orang hilang di sini.
"Ey, Ris. Sendirian aja. Gak ikut foto bareng mereka-mereka?" Raka—teman sekelas Risha—berucap sembari ikut duduk di sampingnya.
"Gak, ah. Tadi udah banyak. Pegel."
"Cie ... Risha si barbar punya banyak fans sekarang, nih, cieee," cibir cowok yang tengah memakai seragam Karate itu sambil tertawa.
Risha melirik Raka sinis. "Kalo mau ngajak ribut, jangan sekarang, deh. Aku lagi males. Besok-besok aja."
"Dih!" Raka kembali terbahak melihat wajah sebal Risha. "Iya, deh, iya ... eh, betewe, mana si Ratu Selpi yang sering sama kamu itu? Biasanya dia paling gercep kalo liat sahabatnya pake ginian."
"Tuh!" Risha melirik kerumunan di sebelahnya malas.
Raka mengikuti arah pandang Risha. Di sana, terlihat seorang gadis dengan nametag Laura Maharani Putri—si tukang selfie—tengah sibuk berfoto dengan para anggota Paskibra. Wajahnya tampak berseri-seri saat seseorang yang ia mintai foto bersama, setuju dengan ajakannya.
Seseorang yang menjelma menjadi sahabat Risha semenjak menginjak bangku SMA itu memang rempong sekali bila ada hal seperti ini. Ia seolah orang pertama yang harus punya kenangan tentang kejadian dan peristiwa itu sebelum orang lain punya.
"Dih, dasar Ratu Selpi!" cibir Raka. Kekehan terdengar setelahnya. "Aku heran sama kapasitas memori di HP-nya. Kok muat gitu nampung poto dia yang seabrek itu."
"Hm ... kamu gak tau aja, Rak. Ini ...."
"Woy, Rish! Sini kumpul!" Teriakan dari seorang cowok berseragam sama dengan yang Risha pakai itu berhasil memotong perkataan Risha.
"Wes ya, Rak. Besok lagi. Udah dipanggil sama Bapak Ketua, tuh," ucap Risha sembari beranjak dari duduknya.
"Ah, tuman. Yaudah, deh. Aku di sini sendirian gak apa-apa."
"Gak usah drama, woy! Gilani!" Risha menoyor kepala Raka sambil tertawa. "Ikut pulang sana. Biar gak keliatan jomlonya," lanjutnya dengan tawa yang semakin keras.
"Kampret! Kamu ga liat aku pake pakean apa ini?" ucapnya kemudian berdiri dengan gerakan memamerkan bajunya.
"Dih, sombong! Ya udah, iya deh. Aku mau ke sana dulu. Bye! Ga usah kangen!" teriak gadis itu sambil berlalu menjauhi Raka.
🍵🍵🍵
Di tengah lapangan hijau yang luas itu, terlihat gerombolan orang berdiri membentuk lingkaran.
Alunan suara gamelan terdengar dipukul seirama dari arah panggung yang terletak di sana. Menciptakan melodi indah yang seakan menghipnotis penonton untuk tetap stay tanpa mengindahkan terik matahari.
Di depan panggung, tujuh pemuda—lengkap dengan make-up, serta pakaian berselendang dengan kuda kepang berada di tangan masing-masing—terlihat menari mengikuti irama gamelan yang tengah dimainkan.
Satu di antaranya yang berada di posisi paling depan terlihat membawa pecut. Sesekali benda itu dibunyikan mengikuti irama kode dari gamelan.
Bunyi gamelan terdengar semakin nyaring dan meriah menit demi menit. Tempo yang dihasilkan pun semakin cepat, sehingga membuat hentakan serta gerakan dari penari Jaran Kepang itu semakin menggila dan bersemangat.
Seolah kode khusus, tempo cepat dengan nada yang lain dari sebelumnya itu membuat sang pembawa pecut mengitari enam penari lain yang berada di belakangnya sembari membunyikan pecut itu. Membuat enam pemuda itu semakin menggila. Gerakan yang ditimbulkan pun menjadi tak beraturan dan cenderung asal-asalan.
Tidak ingin lebih lama terlena dan malah menjadi hilang kesadaran karena alunan gamelan juga pecut itu, satu persatu dari mereka pun berjalan memasuki ruangan khusus yang sudah disediakan. Kebanyakan dari mereka berlari dengan gerakan hampir jatuh. Menandakan separuh kesadaran mereka sudah hilang dan hampir kerasukan.
Kini tinggal seorang pemuda yang ada di tengah kerumunan. Pemuda yang membawa pecut itu berputar-putar dengan tangan yang tanpa henti menyambuk tanah.
Lalu tanpa ba-bi-bu, pemuda itu masuk ke ruangan. Membuat orang yang tadinya mengira ia kerasukan menjadi mendesah lega. Tepuk tangan terdengar meriah setelah kepergian pemuda pembawa pecut itu.
"Kampret! Tak kira sampeyan kerasukan, tadi!" seloroh seseorang dengan make-up yang masih utuh menempel di wajahnya sembari menoyor kepala cowok itu pelan.
"Aku juga ngiranya gitu tadi. Uwes jaga-jaga takutnya kerasukan beneran," timpal yang lain.
Pemuda yang baru masuk itu tertawa sembari meletakkan pecut juga kuda lumping yang berada di tangannya.
"Sans, Mas. Aku gak mungkin kesurupan, kok," ucapnya sambil itu mengedarkan pandangan.
Di sekelilingnya, semua orang yang tadi ikut menari bersamanya tampak tepar dengan keringat mengucur serta make-up yang masih utuh di wajahnya. Membuat orang yang tidak ikut menari—alias orang yang khusus menangani bagian belakang—menjadi kalang kabut untuk menyadarkan mereka.
"Hilih. Sekarang bilang gitu, awas wae kalo nanti tiba-tiba ada kabar kerasukan."
"Kalo dia kerasukan, cemplungin kali aja, Dam," ucap Bayu sambil tertawa, kemudian lari begitu saja.
Adam ikut tertawa. Namun, sedetik kemudian tawanya hangus saat melihat tatapan tajam orang yang ia tertawakan.
"Tinggal obatin," sahut pemuda itu enteng.
"Ngomong mah, gampang. Gak tau ... eh ada Kutu Kupret." Ucapan cowok kulit sawo matang itu terpotong saat matanya menangkap Risha berjalan ke arah mereka.
"Dih, apa kamu, Kutil Kambing!" sinis Risha sambil berjalan ke meja tempat di mana aneka jajan dan minuman diletakkan.
"Tuh, Ar. Kalo mau liat kelakuan orang gak ada unggah-ungguh ya kaya gitu contohnya," cibir Adam sambil menunjuk Risha yang tengah memakan semangka.
Cowok yang dipanggil 'Ar' itu hanya menoleh sekilas lalu kembali membersihkan wajahnya. "Udahlah biarin. Bersihin mukamu. Kaya orang habis kena bom gitu," cibirnya. Membuat Risha yang mendengar itu menyemburkan tawanya seketika.
Risha mendekati Adam dengan tawa yang semakin keras. Tampak puas melihat cowok itu dikatain.
"Kampret! Bagus gini, kok!" ujarnya dengan bibir mencebik. Kedua telapak tangannya bergerak menyentuh pipi. "Ya udahlah. Mas Adam yang ganteng mau mandi sekalian aja. Biar gantengnya jadi maksimal!" ucapnya kemudian berlalu begitu saja.
Risha tampak semakin menyemburkan tawanya mendengar penuturan Adam tadi. Perutnya bahkan sampai sakit menertawakan cowok itu.
"Mingkem, woy! Mulutmu bau naga, tau, nggak!" cibir cowok itu. Membuat Risha seketika terdiam dengan bibir mengerucut.
"Dih, wangi gini. Badan kamu tuh, bau kemenyan," cibir Risha tidak ingin kalah.
Cowok itu terlihat selesai membersihkan riasan di wajahnya. Ia berdiri, lalu menatap Risha dari atas sampai bawah. "Kamu belum pulang?"
Keterangan:
- Sampeyan: Kamu (halus). Bisa juga pake koe (kasar)
- Tuman: kebiasaan
- Gilani: menjijikkan (jijik)
- Unggah-ungguh: sopan santun, tata krama.
- Bagus: bagus di sini artinya ganteng.
———
©Wishasaaa
22 Mei 2020
Repub: 24 September 2020
Jejaknya, ya❤
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro