Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Kontras🍵

Telepon

"Dek, ini tuh, yang angka satu di belakang, ditambah juga sama angka di bawahnya yang belakang. Jadinya satu ditambah lima itu enam."

"Aaah ... nggak bisa ... aku nggak bisa ...."

"Coba dulu. Coba yang depan ikutin yang ini." Risha menunjuk angka-angka yang tertulis di buku di hadapannya.

Namun, bukannya mengikuti instruksi sang kakak, malah tiba-tiba napas Tiara memburu. Matanya menatap Risha tajam, sebelum akhirnya membanting pensil di tangannya begitu saja.

"MBAH UTIII!" Tiara berteriak histeris. Gadis kecil itu berjalan keluar kamar sembari berteriak tanpa henti.

Risha berdecak. Gitu terus. Ngadu terus! Wes adu aja aku nggak papa.

"Nah, kan."

Suara Mulyadi langsung menyapa begitu mendengar teriakan Tiara. Risha menghela napas. Dirinya tau hal apa yang akan terjadi setelah ini. Apa lagi mengingat pikiran kedua simbah-nya yang sedang dilingkup banyak beban.

"Yang gede juga gitu. Mbok dajari adeknya yang bener gitu lho!"

"Mbah, aku udah ngajari. Adek--"

"Nah, gitu. Jawab!"

Mulut Risha langsung terkatup mendengar bentakan Mulyadi itu. Dadanya seketika sesak. Risha tersenyum getir. Berhasil, Dek. Selamat.

"Orang tua belum berhenti ngomong udah dipotong dulu! Meh koyok pakmu, koe, srowal-srowol koyok ngono kui? Rono, nek pak melu bajingan kae!" (Mau kayak bapakmu, kamu, main serobot gitu aja? Sana kalo mau ikut bajingan itu!)

Deg!

Hati Risha mencelus. Pandangannya langsung mengabur diikuti napas yang semakin menyesak.

Air mata tanpa permisi langsung luruh dari kedua mata Risha. Membuat gadis itu buru-buru mengusap ketika mendengar langkah kaki mulai mendekat ke kamarnya.

Benar saja. Tidak lama kemudian, Tiara datang dengan muka basah. Entah dari kapan gadis itu menangis, yang pasti, setelah ini Risha akan kenyang dengan berbagai cacian.

"Nala, mbok tolong dibantu gitu adeknya. Diajari yang bener. Masih kecil-kecil, perempuan, tiap hari ribut terus." 

"Mbah, coba Tiara-nya ditanya, apa dari tadi aku nggak bantu? Dari tadi udah aku ajarin baik-baik, tapi bukannya ngikutin malah dia lari gitu aja. Masak harus aku yang garap semua PR-nya?"

"Mbaaah!" Tiara semakin merengek mendengar kata-kata Risha. Tangisnya malah semakin menjadi-jadi.

"AH!" Terdengar suara kursi dibanting dari luar. "Wes nggarek digarapke wae opo susahe, sih! Mengko nek wes gedhe lha iso garap dewe!" (Udah tinggal buatin aja apa susahnya, sih! Nanti kalo udah besar pasti bisa garap sendiri!)

Mata Risha semakin memanas. Bibirnya tersenyum getir. Iya, Mbah. Tapi kalo nanti ada apa-apa sama Tiara, aku nggak mau tanggung.

Semenjak hari itu, semua tugas Tiara adalah tugas Risha juga. Sedikit pun gadis kecil itu tidak pernah berpikir untuk mengerjakannya, pun tidak pernah disuruh untuk mengerjakan sendiri. Hanya menyalin apa yang Risha tulis dan mengisi apa yang sudah Risha gariskan.

Alih-alih Tiara yang dimarahi karena tidak mau mengerjakan sendiri, malah jadinya Risha yang kena marah karena Tiara yang tidak mau nurut padanya.

Risha hanya bisa diam-diam menangis saat melihat tugasnya yang sering terbengkalai karena harus memprioritaskan tugas Tiara terlebih dahulu. Bahkan, tak jarang dirinya tidak tidur karena harus mengerjakan tugas individu dan tugas kelompoknya. Semenjak kejadian Laura waktu lalu, kini Risha benar-benar seperti dikucilkan di dalam kelas.

***

"Gimana? Nomornya udah dikasih sama ibumu?"

"Belum, Mbah. Katanya siang ini."

Mulyadi lalu berjalan ke arah ruang tamu. Langkahnya tampak linglung.

Beberapa menit yang lalu, Naufal baru saja pulang dari sini. Cowok yang senang memakai kemeja itu sudah baikan dengan Risha, dengan syarat, Risha tidak boleh satu bangku lagi dengan Raka. Membuat gadis berlesung pipi itu akhirnya menjadi duduk dengan Yuka, cewek manis, tetapi penuh luka di tubuhnya hingga tidak ada orang yang berteman dengannya.

Bagi Risha itu tidak apa. Yang terpenting, dirinya masih mempunyai orang yang mau membela. Mau menerima dirinya di saat semua orang menjauh tiba-tiba.

Ibu
08999777666
Iku nomere wonge, nduk. Jenenge Arif Rizki
(Itu nomor orangnya, nduk. Namanya Arif Rizki)

Satu pesan itu berhasil membuat kesadaran Risha kembali ke alam nyata. Gadis itu menghela napas pelan. Semoga apa pun yang akan Mulyadi katakan nanti, tidak mengundang lebih banyak lagi masalah di keluarga ini.

Setelah menyimpan nomor yang Syafitri beri, Risha pun buru-buru menemui Mulyadi yang tengah menyesap rokok lintingannya di ruang tamu.

"Mbah." Pria paruh baya itu menoleh. "Ini ibuk udah ngasih nomernya. Namanya Arif Rizki."

"Ya udah coba telepon."

Risha mengangguk pelan. Entah mengapa, atmosfer di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih panas dari yang tadi.

"Bisa?" tanya Mulyadi, terdengar tidak sabar.

"Bentar, Mbah. Sinyalnya jelek."

Jujur, bukan karena sinyalnya yang jelek, tetapi Risha yang belum siap dengan apa yang akan terjadi nanti. Entah mengapa, semenjak mbah kakungnya menyuruh untuk meminta nomor orang yang suka minta uang ke Syafitri itu, hati Risha sudah tidak enak. Berbagai spekulasi langsung bermunculan di pikirannya.

Risha menghela napas. Diamatinya nomor di layar touch screen itu lamat-lamat, sebelum akhirnya, menekan tombol panggil.

Tut ... tut ... tut ....

Suara panggilan tersambung berhasil membuat keadaan semakin panas. Silir angin yang tadi terasa, kini seolah hilang entah ke mana. Berganti dengan hawa panas, yang seolah merebus tubuh-tubuh menjadi semakin tak terkontrol kesadarannya.

Degupan jantung terdengar semakin keras detik demi detik. Sorot mata waswas pun kian terlihat saat pandangan gadis yang tengah duduk di ruang tamu itu jatuh ke pria paruh baya di hadapannya.

"Mati?" tanyanya.

Risha mengangguk.

"Coba telepon lagi."

"Iya, Mbah." Gadis itu berkata sembari menekan tombol 'panggil' di ponselnya. Tangannya sedikit gemetar. Ia takut kalau dugaannya tepat sasaran. Ia takut kalau hal yang tidak ingin ia ketahui itu ternyata sebuah hal yang pasti.

"Halo ...."

Suara sapaan itu seketika mengalihkan atensi Mulyadi. Ia langsung mengambil ponsel itu dan menempelkannya ke telinga.

"Halo!" balasnya. Matanya memerah, badannya seketika tegap, dadanya pun terlihat naik-turun beriringan dengan napas yang terdengar memburu. Apalagi setelah mendengar suara prialah yang mengangkat telepon itu.

"Siapa kamu?"

Hening. Tidak ada sahutan dari seberang.

"Sopo koe?" Pria paruh baya itu berkata dengan intonasi yang mulai meninggi.

Tetap tidak ada sahutan dari seberang.

"Sopo koe! Kalo punya nyali coba jawab!"

Masih hening.

"Bajingan!" Pria paruh baya itu mendesis. Kilatan tajam terlihat saat mata itu menyorot layar ponsel di tangannya.

"Ini mati apa hidup?" tanyanya dengan sebelah tangan memperlihatkan layar ponsel ke gadis di depannya.

"Hidup, Mbah."

Ia kembali menempelkan ponsel ke telinga.

"Oke, sekarang gimana?" tanyanya. Nadanya terdengar seperti tawaran.

"Mau berapa?" tantangnya.

"Berapa lagi uang yang kamu minta? Sini! Sini tak kasih berapa pun maumu!"

Tetap tidak ada sahutan.

"Berengsek!" umpatnya. Matanya menyorot tajam ke arah layar ponsel di tangannya.

"Oke, wes gini. Kamu ke sini sendiri. Tak kasih berapa pun! Berapa pun uang yang kamu minta!"

Tidak ada sahutan.

Pria paruh baya itu menghela napas. "Tapi ada satu syarat," lanjutnya.

Ia terlihat menatap layar ponsel itu dalam-dalam. Bibirnya tampak komat-komit, sebelum berkata, "Kalo uangnya udah dipegang, kamu harus siap kalo tubuhmu bakal pecah di bawah ban truk!"

Tut!

***

UwU gimana? Ada yang kenal sama part ini?

Punya kesimpulan apa di sini?

23/10/2021
©wishasaa

Jangan lupa vote ❤
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro