Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. KONTRAS 🍵

- Capek -

"Kalian ada masalah apa, sih?"

Laura bergeming. Pandangannya mengedar. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan cowok di hadapannya.

"Ra?"

Tetap tidak ada jawaban.

Ardhan menghela napas. Mulutnya mengembuskan asap rokok yang baru saja ia isap.

Sudah hampir setengah jam dirinya ada di rumah gadis berpipi chabi itu--setelah sebelumnya memaksa masuk--karena Laura sedang tidak ingin diganggu. Namun, selama itu pula, keheningan menyelimuti keduanya. Ardhan jadi merasa kalau dirinya benda tak kasat, di sini.

"Aku capek."

Atensi Ardhan seketika teralih. Dahinya mengernyit mendengar suara yang lebih mirip bisikan itu.

"Salahku sama dia, tuh, apa, sih, sebenarnya?" Laura ikut menatap mata Ardhan. Sorot cerah yang sering terlihat, kini sayu, seolah cahayanya terbawa buliran bening yang tadi tak henti-hentinya mengalir.

Namun, alih-alih menjawab, Ardhan malah balik bertanya, "Kamu percaya kalo Risha pelakunya?"

Gadis itu mengalihkan pandangan.

Lagi-lagi helaan napas lolos dari mulut Ardhan. "Kalo kamu nggak keberatan, coba ceritain hubungan kalian akhir-akhir ini," ujarnya hati-hati, "siapa tau ada dalang yang bikin kalian begini."

Laura tidak menjawab. Namun, gadis itu tampak mengembuskan napas berkali-kali, seolah tengah mempersiapkan diri.

Berbalik dengan Laura, senyum tipis malah terbit di bibir Ardhan. Dirinya tahu, Laura pasti akan bercerita. Hanya perlu waktu saja. Setidaknya dengan cerita itu, akan membuka sesuatu yang akhir-akhir ini tak dirinya ketahui sedikit pun.

"Oke."

Kata itu merupakan ibu dari kata setelahnya, membuat Ardhan menatap Luara penuh--menunggu sang anak dari kata itu--keluar dari mulut mungil di depannya.

Laura mulai bercerita, sampai tidak terasa, menit demi menit berlalu begitu saja.

Seolah kunci gerbang rahasia, kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Laura membuka semua gerbang yang telah terkunci rapat-rapat. Abu-abu yang sedari tadi menghalangi pandangan, kini mulai tampak warna aslinya.

Sejenak, Laura terdiam. Seolah teringat sesuatu, gadis itu menatap manik Ardhan serius.

"Aku nggak tau ini cuma kebetulan atau gimana, tapi, aku inget banget, kejadian foto ini, pas banget sama kejadian aku meringatin Risha supaya jauh-jauh sama Naufal."

Ardhan mengernyit. "Kamu ngomong apa?"

"Aku cuma bilang, kalo Risha masih percaya sama pacarnya itu ... hubungan persahabatan kita berakhir." Perkataan Laura melirih di akhir kalimat.

Ardhan tertegun. Pikirannya langsung menangkap bermacam spekulasi.

"Nggak cuma itu. Setelah kejadian rumah Risha yang kejual kesebar, aku juga udah meringatin dia, tapi Risha-nya malah ngeyel." Laura mengembuskan napas berat. "Dan ngeyelnya dia sampe sekarang."

Helaan napas kembali lolos dari mulut Laura. "Aku bingung. Aku percaya sama dia, tapi semua bukti malah ngarahnya ke dia."

Ardhan terdiam. Dari gelagat yang Laura tunjukkan, cowok itu bisa menyimpulkan, kalau gadis yang kini tengah memakai celana pendek itu tidak percaya dengan semua tuduhan yang mengarah ke Risha.

"Mau bantu?"

Laura mengernyit. "Bantu?" beonya. Pikirannya seketika ngeblank menyadari sang kakak kelas sudah kembali ke sifat aslinya.

Ardhan mangangguk. Dimatikannya rokok yang hanya tinggal seperempat itu ke asbak, lalu kembali menatap Laura.

"Aku ada beberapa dugaan, tapi buktinya belum kuat."

Kerutan di dahi Laura semakin dalam.

"Mau bantu ngumpulin bukti, kan?"

***

"Manuk iki nek dikasih pisang, wes rak gelem meneng cocote." (Burung ini kalau dikasih pisang, udah gak bisa diem mulutnya)

Naufal terkekeh mendengar penuturan Mulyadi. Celetukan frontal pria paruh baya itu selalu berhasil membuat dirinya tertawa.

"Monggo diminum." Risha datang dengan dua gelas kopi susu di nampan yang ia bawa.

"Weeeh, makasih, Risha."

"Mantep, Nduk!"

Sahutan bergantian itu membuat Risha tersenyum. Apalagi melihat raut antusias mereka saat ingin mencicipi kopi buatannya. Ada sensasi tersendiri di dadanya.

Namun, senyum itu tidak bertahan lama. Pesan singkat dari ibunya yang daritadi ia lupakan, seketika kembali melayang di pikirannya, membuat senyum itu luruh seketika.

Ditambah, Risha tak sengaja melihat pemandangan di depan rumah. Latihan barongan rutin itu lagi-lagi mengingatkan dirinya dengan sosok yang kini terasa asing di matanya.

"Sst ...."

Risha menoleh ke sumber suara. Di sana, Naufal terlihat mengangkat ponsel di tangannya.

Gadis itu yang tahu maksudnya pun mengangguk, lalu ikut mengangkat ponselnya. Senyum yang Naufal lemparkan berhasil membuat sudut bibir Risha ikut terangkat hingga menampilkan kurva serupa.

Risha mengembuskan napas. "Mbah ...," panggilnya.

Gumaman Mulyadi berikan sebagai respons. Pria paruh baya itu lebih memilih menikmati kopinya daripada mengalihkan atensi ke Risha.

"Mas Naufal meh ngomong."

Seketika kepala Mulyadi mendongak setelah mendengar itu. "Meh ngomong opo, Nang?" tanyanya.

Risha memejamkan mata rapat-rapat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa, firasatnya berubah buruk kali ini.

"Begini, Mbah. Sebelumnya, ngapuntene yen kula terkesan ikut campur." (Maaf kalau saya terkesan ikut campur)

Mulyadi mengernyit. "Lha ada apa, to?"

Naufal berdeham. "Begini, Mbah. Tadi di sekolah, ibunya Risha ngirim pesan di nomornya Risha." Cowok itu sedikit melirik Mulyadi. "Ibuk bilang, deweke tasih butuh arto, Mbah." (Dia masih butuh uang, Mbah)

Mulyadi bergeming. Sedikit lama, sampai beliau bertanya, "Berapa katanya?"

Detak jantung Risha semakin menggila mendengar nada dingin itu. Raut cerahnya kini tampak pias.

"Dua puluh, Mbah," cicit Risha.

Lagi-lagi keheningan menyelimuti mereka. Rahang Mulyadi tampak mengeras.

Tiba-tiba, Pria paruh baya itu beranjak. "Minta nomor yang mau minta duitnya. Biar nanti aku tak ngomong sendiri."

Setelah berkata demikian, Mulyadi berlalu begitu saja. Meninggalkan Risha dan Naufal dengan pikiran bingung mereka.

***

Risha melangkah ke kelas dengan raut biasa. Tampaknya, raut itu kini sudah menjadi ciri khasnya.

"Loh, Ra. Kamu mau kemana?" tanyanya saat melihat Laura mengemasi barangnya yang ada di bangku mereka.

Laura tidak menjawab. Gadis itu memilih beranjak ke bangku depan dan langsung meletakkan tasnya di sebelah kursi Putri--gadis pintar yang beberapa waktu lalu PR-nya diconteki keduanya.

Melihat hal itu, Risha tidak tinggal diam. Dirinya mengikuti langkah lebar Laura dan segera mencekal lengannya.

"Apa, sih?" ketus Laura sembari menyentak tangan Risha di lengannya.

Entah sudah ke berapa kalinya, Risha-Laura kembali menjadi sorotan para siswa akhir-akhir ini.

"Kok kamu malah pindah ke situ, sih, Ra?"

"Loh, kok iya. Kamu kok malah ke sini, sih, Ra! Ini, 'kan, bangkuku." Dini--pemilik bangku yang Laura duduki--menyerobot begitu saja.

"Nggak. Ini sekarang jadi bangkuku, ya, Din. Kamu tukeran sama aku, ya."

"Nggak! Nggak bisa! Kamu udah di sana ya udah di sana aja. Kenapa tuker-tuker segala, sih!" Dini mencak-mencak. Gadis itu kemudian melirik Risha di sampingnya. "Apalagi aku disuruh duduk sama maling ini? Bisa-bisa barangku habis semua dia juali."

"Asu." Risha mengumpat. "Maksudmu apa?"

"Apa! Emang bener kamu maling, kan?"

"Cangkemu belum pernah difitrah apa gimana?" Risha menyambar. Kilatan amarah terpancar jelas di kedua matanya. "Koe nek gak ngerti sing sebenere, ki, diem! Meneng!" (Kamu kalau enggak tahu yang sebenarnya, itu, diam! Diam!)

Dini terbahak mendengar itu. Lebih tepatnya tertawa sarkas. "Mana ada maling ngaku, kan?"

"Babi!"

"Stop!" Laura berdiri di antara keduanya. Gadis itu berteriak. Merasa capek sekaligus malu dengan kelakuan Dini-Risha. "Pergi, Ris."

Risha bergeming. Tidak menanggapi, tidak pula beranjak.

"Ck! Aku lupa. Omonganku, kan, enggak pernah didenger sekarang."

Apa yang bisa disimpulin dari part ini?

_____
To be continued!
Jangan lupa tap (⭐) biar jadi orange ya!

Selasa, 23/08/21
©wishasaaa

Di mulmed itu Laura, ya. Jangan lupa cek ig @wishasaaa buat liat visual Kontras lainnya ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro