Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. KONTRAS 🍵

- Diskriminasi -

Keadaan benar-benar berubah setelah kejadian beberapa waktu lalu. Kehangatan yang dulu terpancar, kini meredup entah ke mana. Tangan-tangan yang dulu merangkul, kini abai tak lagi memedulikan. Tak acuh. Mereka seolah tak pernah saling mengenal sebelumnya.

Canggung pun mendadak menyerang kala bertemu orang yang dikenal. Bingung antara ingin menyapa seperti biasa, atau abai seperti yang berlaku untuk yang lainnya. Akhirnya, rasa abai itu kini menguasai. Senyum yang diiringi sapa itu kini sirna entah ke mana. Yang ada hanya wajah datar dengan rasa takut yang terselubung di baliknya.

Rasa percaya itu kini telah pergi. Tak ada lagi kepercayaan yang tertaruh untuk orang asing. Bahkan untuk Laura, gadis yang entah kenapa beberapa waktu lalu tiba-tiba memeluk Risha dengan air mata yang sudah luruh dari pelupuknya.

Tidak ada kata panjang lebar yang biasa gadis itu lontarkan. Hanya satu kalimat. Sebuah kalimat yang sampai saat ini terngiang di kepala Risha.

"Ris, suatu saat, orang akan membuka topengnya masing-masing tanpa diminta." Laura menggenggam kedua tangan Risha erat. "Aku harap, kamu siap untuk waktu itu, ya, Ris." Laura tersenyum. Sebelum akhirnya, kembali memeluk Risha.

Kalimat itulah yang membuat Risha semakin hati-hati menaruh kepercayaan. Bahkan, hatinya sempat ragu dengan kekasihnya. Jika saja hari itu Naufal tidak berhasil meyakinkannya. Mungkin, sampai kini Risha akan menjadi orang yang lebih tertutup.

Namun, akhirnya Risha luluh. Pikiran kalutnya akhirnya berhasil ditenangkan oleh cowok pemegang tanggungjawab besar di ekskul Karate itu. Membuat gadis itu sadar, kalau Naufal-lah kini orang yang ia butuhkan. Orang yang akan tetap ada di sampingnya, bahkan di saat seperti ini.

Ternyata benar kalimatnya waktu itu.

Risha termenung di jendela kamar. Pikirannya yang sedang berkelana, memutar kepingan kejadian yang telah ia lalui akhir-akhir ini.

"Ya Allah ... sebenarnya apa yang tengah Engkau persiapkan? Aku capek ...."

Risha meraup wajah kasar, sebelum berlalu ke lemari pakaiannya. Tangannya membuka lipatan pakaian paling atas, lalu mengambil plastik yang ada di dalamnya.

"Sekarang cuma kamu yang bisa bikin aku tenang, teh," gumam Risha dengan teh di plastik yang ada di tangannya. Ia lalu membawanya ke depan jendela seperti posisinya tadi.

"Mbak!"

Secepet kilat Risha memasukkan plastik itu ke dalam bajunya. Bisa gawat jika adiknya itu melihat.

"Apa?" Risha membalik badan dengan malas. Sebelah tangannya memegang perut--tepatnya plastik teh yang ada di perut. "Ketuk pintu dulu kenapa, sih? Tuman banget."

"Mbak makan apa?"

Refleks, Risha yang tadi tampak mengunyah, kini terdiam. "Enggak ada. Mbak nggak lagi makan apa-apa, kok."

Bukannya menggubris, Tiara malah salah fokus dengan apa yang Risha kunyah. Padahal, Risha sudah mati-matian mengunyahnya dengan pelan.

Namun sayangnya, Tiara bukan seperti anak lain yang mudah dibohongi. Bukannya percaya, gadis kecil itu malah berjalan ke arah Risha.

"Mbak jongkok."

"Apa, sih?"

"Mbak jongkok duluuu ...," kata Tiara setengah merengek. Berbanding terbalik dengan Risha yang sudah dag-dig-dug tidak karuan.

Sial! Pasti ketauan ini, mah. Ah, Ya Allah ....

"Mbaaak!"

"Iya, iya. Ih! Sabar!" Akhirnya mau tidak mau Risha pun jongkok. Kepalanya memaling sembari mati-matian memindahkan teh yang ada di lidahnya ke dinding pipi sebelah kanan.

Tidak hanya sampai di sana, tangannya yang ada di perut juga tidak tinggal diam memegang plastik di dalamnya. Berusaha agar tidak berbunyi 'kresek-kresek' adalah bagian tersulit yang menjadi tantangannya.

Kampret! Menyembunyikan teh saja seperti menyembunyikan narkoba di depan polisi yang tengah razia! Argh! Kenapa Tiara kepo-nya melebihi Dora the Explorer, sih!

Gadis kecil itu kini berdiri di depan Risha. "Mbak mangap, coba."

"Mbak nggak makan apa-apa, Tiara ... astagfirullah ...."

"Enggak. Mbak mangap!"

"Nih." Risha mangap dengan lidah menjulur. "Enggak ada, kan?"

"Itu apa hitam-hitam?"

Deg!

"Mbak makan cokelat, ya?"

***

"Mbah mau ke mana?" Dahi Risha mengernyit saat melihat kedua simbahnya berpakaian rapi. Begitu pun dengan Tiara. Bocah cerewet itu sudah siap dengan setelan baju muslim berwarna pink putih kesayangannya.

"Itu mau beliin adikmu kalung." Mulyadi memoles rambutnya dengan minyak rambut. "Kata Mbah Uti-mu, dari kemarin malam udah ngerengek terus."

"Loh, piye, sih, Mbah. Rumah ibuk dijual, kan, buat bayar utang. Kok malah jadinya buat beliin Tiara kalung, sih, Mbah?"

"Kan masih ada sisa."

"Kenapa sisanya enggak ditabung aja? Atau dicicil buat beli rumah lagi nanti. Kenapa harus beliin Tiara kalung, sih?"

"Wes kadung janji. Kamu ngerti, sih, nek adikmu itu kalo ada orang ngomong diinget terus? Ini aja udah ditulis di buku itu." Mulyadi menunjuk buku di kursi samping Risha duduk.

Risha mengambil, dan membaca tulisan yang ada di sana.

Besok Mbah mau beliin kalung.

Tanggal 6 Juli Mbah Kakung mau beliin kalung.

Mbah Kakung udah janji mau beliin kalung.

Risha semakin kesal setelah membaca tulisan adiknya itu. Bukan hanya pada adiknya, tapi Risha juga kesal dengan kedua simbahnya.

"Kenapa enggak dibiarin aja? Toh nanti Tiara lupa sendiri."

"Udah jelas-jelas ditulis gitu mana bisa lupa."

"Tuh, kan. Mbah Kakung aja udah beneran niat mau beliin Tiara kalung. Mbah manjain adek terus. Coba aku yang minta. Flashdisk dari beberapa bulan lalu aja sampe sekarang belum dibeliin."

"Mbaaah, ayooo ... aku sama Mbah Uti dari tadi udah nungguin di depaaan!"

Teriakan Tiara membuat Mulyadi segera beranjak dari kursi. Pria paruh baya itu tidak merespons apa yang Risha katakan berusan.

Risha mendengkus. "Yo, wes, rono sakkarepe." Mata Risha seketika memanas. Tenggorokannya seperti diganjal oleh batu tak kasat mata.

"Nas, pintunya jangan lupa dikunci!" Suara Marsinah terdengar dari luar.

Risha tidak menjawab. Hanya kakinya yang beranjak ke arah pintu. Menuntun raganya agar melihat adik dan kedua simbahnya berangkat dengan raut cerah mereka.

Mata Risha menatap kepergian ketiganya sampai hilang di tikungan jalan. Saat dirinya hendak masuk, netranya tak sengaja menangkap sosok yang semakin membuat hati Risha seakan diremas.

Sial! Pertahanan Risha runtuh. Air mata berhasil luruh dari pulupuk matanya.

Risha tersenyum getir. Motor matic dengan empat penunggangnya itu kini sudah hilang di balik tikungan. Meninggalkan rasa iri yang membuncah di dada Risha.

"Udah bahagia, ya, Pak. Saking bahagianya sampe lupa kalo yang di sini juga anaknya."

***

Gimana part ini?

Siapa empat orang itu? 😳
.
.
.

6 Juli 2021
©wishasaaa

Jejaknya, Sayang ❤
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro